“Saya kira lebih baik kita meng-create teori baru gitu, ketimang kita memaksakan cara berpikir itu dan menyebabkan terjadi kesalahan berpikir. Apalagi kalau yang memaksakan itu, yang bicara itu kan para pengamat yang mungkin mereka tetap memaksakan teori itu….”
Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, di mana kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, sementara Presiden hanyalah orang yang diberi mandat tertinggi untuk memimpin negara juga pemerintahan.
Dalam sebuah negara demokrasi, pada umumnya dikenal sejumlah ciri umum, seperti adanya sistem kepartaian dan perwakilan rakyat, kebebasan berpendapat, memiliki lembaga konstitusional, adanya pembatasan kekuasaan, dan diselenggarakan pemilihan umum untuk menentukan orang-orang yang akan menjabat di ranah eksekutif dan legislatif.
Namun dalam skop yang lebih spesifik, ada hal-hal yang membedakan praktik demokrasi di Indonesia dengan demokrasi di negara lain, khususnya di negara-negara barat.Hal itu dibenarkan oleh Politisi sekaligus anggota DPR RI dari PDIP Andreas Hugo Pareira. Misalnya saja konsep koalisi dan oposisi, Indonesia tidak sepenuhnya menerapkan dikotomi tersebut secara saklek.
“Koalisi dan oposisi, dikotomi seperti itu enggak berlaku untuk Indonesia. Mungkin kita harus leu memformulasikan ya, akademisi politik itu perlu memformulasikan, that’s Indonesian politic,” kata Andreas dalam podcast Back to BDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo.
Ia menyebut di Indonesia hubungan antar elit partai jauh lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antar partai itu sendiri dalam konteks posisi politik. Ini sangat berbeda dengan politik di dunia barat.
“Different. Kenapa, hubungan antar elit itu, perkawanan politik, lebih kuat daripada entah apa ada di dalam (koalisi) atau di luar (oposisi) gitu,” kata politisi juga akademisi yang merampungkan pendidikan S2 dan S3 di Jerman itu.
Di Indonesia, partai maupun tokoh politik yang semula berhadap-hadapan saat Pemilu, bisa tiba-tiba masuk dan bergabung dengan koalisi lawan yang memenangkan pemilihan. Tak hanya masuk dan bergabung, mereka juga mendapatkan kursi di kabinet.
Misalnya, Prabowo yang masuk ke kabinet Jokowi periode ke 2 dan diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Padahal mereka merupakan rival di Pemilihan Presiden 2014 juga 2019. Setelah 5 tahun menjabat Menteri Jokowi, di Pilpres 2024 hubungan itu bahkan terus berlanjut, Prabowo kembali maju dalam pemilihan umum, dan kali ini ia didukung penuh oleh Jokowi.
Terbaru, Muhaimin Iskandar dari PKB yang semula merupakan calon wakil presiden dari Anies Baswedan yang notabene ada rival Prabowo-Gibran, kini partainya masuk ke dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) pendukung Prabowo. Cak Imin sendiri diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Republik Indonesia.

Hal yang demikian sungguh berbeda dengan praktik demokrasi di negara lain, dimana pemenang pemilu akan berkuasa sementara pihak yang kalah akan menjadi pengawas di luar pemerintahan.
“Indonesia ya Indonesia, dalam hal ini kita coba untuk menemukan formula. Kalau mau bilang ini kuasi teori untuk sistem bentuk pemerintahan. Dan ini kalau saya melihat kedekatan hubungan emosional antar elite politik itu berpengaruh,” sebut Andreas.
Kedekatan hubungan antar elite itu menurutnya menjadi faktor yang tidak kalah dominan, selain rasionalitas politik yang ada. Kedekatan itu juga berpengaruh dalam proses membangun komunikasi dan kerjasama-kerjasama politik.
“Waktu Pilpres waktu Pilkada kita bisa berbeda kubu, tapi setelah itu kita masuk gabung lagi. Kalau dilihat dari kacamata teori politik barat, seolah-olah kita menelan sendiri semua omongan kita ketika kampanye kemarin kan, ketika kita kembali bergabung di dalam kubu yang memenangkan kontestasi baik itu Pilpres atau di Pilkada,” ungkap dia.
Memang, di dalam undang-undang tidak ada aturan yang membatasi atau melarang pihak-pihak yang saling bertanding di Pemilu untuk masuk dalam kekuasaan ketika mereka kalah. Tidak ada juga yang mengharuskan pihak kalah untuk tetap berada di luar dan menjadi oposan. Hal itu menyebabkan pindah gerbong ke koalisi pemenang adalah hal yang lumrah terjadi di Indonesia.
Ada kompromi-kompromi yang dilakukan, dan kedekatan hubungan antar elite partai mempermudah itu semua.
Tidak semua orang menganggap bergabungnya partai-partai ke dalam kekuasaan sebagai hal yang negatif. Namun, tidak sedikit yang mempermasalahkannya, bahkan merasa percuma diadakan pemilu. Toh siapapun yang menang, pihak kalah bisa tetap ada dalam kekuasaan.
Dosen Fisip Universitas Parahyangan Bandung ini menyebut bisa saja dibuat aturan yang merinci hak-hak yang akan diperoleh para pihak peserta pemilu, mulai dari pemenang, peringkat kedua, ketiga, dan seterusnya. Misalnya pemenang menjadi Presiden dan Wakil Presiden, posisi kedua mendapat jatah sekian posisi menteri koordinasi, dan seterusnya.
“Sama seperti di DPR, di DPR juga dulu sulit kita (menentukan pimpinan). Tapi kemudian ditemukan formula partai pemenang menjadi pimpinan, menjadi Ketua DPR. Kemudian membagi AKD-nya (Alat Kelengkapan Dewan) sesuai dengan prosentase. Sehingga dengan demikian memudahkan. Padahal di DPR itu lebih sulit to, dalam arti begitu banyak partai, begitu banyak kepentingan, di situ juga memang jabatannya posisinya tuh banyak,” papar Andreas.
Adanya perbedaan-perbedaan praktik demokrasi itulah yang membuat teori-teori demokrasi dari barat tidak akan pernah sepenuhnya sesuai untuk menilai politik di Indonesia.
Oleh karena itu, Andreas berpendapat lebih baik Indonesia membuat teori baru tentang sistem politiknya, sehingga tidak terus-menerus dibandingkan dan dianggap berbeda dari demokrasi barat yang selama ini kerap dijadikan acuan.
“Saya kira lebih baik kita meng-create teori baru gitu, ketimbang kita memaksakan cara berpikir itu dan menyebabkan terjadi kesalahan berpikir. Apalagi kalau yang memaksakan itu, yang bicara itu kan para pengamat yang mungkin mereka tetap memaksakan teori itu. Sementara saya sebagai, ya background saya kan akademisi juga, sebagai dosen, belajar ilmu politik, saya melihat di lapangan tidak seperti itu,” jelas Andreas.
Fenomena bergabungnya partai-partai non pemenang ke dalam gerbong partai-partai pemenang, diakui atau tidak pasti mencederai masyarakat sebagai pemilih.
Selama masa kampanye, publik disuguhi pertarungan-pertarungan keras di antara mereka. Pertarungan itu bukan sekadar di tataran ide, tapi juga aspek-aspek lain yang lebih sensasional sehingga menantikan emosi publik. Tapi pada akhirnya pihak-pihak yang berseberangan itu justru masuk ke dalam kolam yang sama.
Oleh karena itu, Andreas berpesan kepada semua pihak, khususnya masyarakat, agar tidak terlalu mengedepankan emosi dalam konteks berpolitik. Dukung sewajarnya, begitu pula dalam memandang pihak lain, tidak perlu benci secara berlebihan.
“Kita tidak terlalu terjebak di dalam emosi di dalam Pemilu, karena toh nanti setelah Pemilu selesai juga dengan cara-cara seperti ini (bergabung). Ya sudah kita pilih secara rasional saja, dalam arti bahwa yang mana yang baik yang kita pilih, tapi kalau misalnya tidak, jangan,” pesan Wakil Komisi XIII DPR RI 2024-2029 ini.
Tidak ada kawan dan lawan abadi dalam semua hal, termasuk dalam politik. Sehingga jangan menempatkan diri kita sebagai pihak yang benar-benar memuji atau membenci satu pihak.
Leave a Reply