Penangkapan Hakim Surabaya, Perdagangan Hukum Itu Kian Nyata

Budiman Tanuredjo

”… dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada di puncak kekuatannya. Hanya dengan keterbukaanlah, pengawasan terhadap segala ketidakadilan di lembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim ’diadili’ saat ia mengadili.”

Kalimat di atas saya petik dari pandangan Filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832). Kutipan filsuf penganut unilateralinisme menjadi relevan saat kejaksaan menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas terdakwa Ronald Tanur. Ketiga hakim itu, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo kini ditahan Kejaksaan. Seorang advokat juga terkait dengan kasus itu. Majelis hakim membebaskan Ronald Tannur atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap Dini Sera Afrianti.

Keberanian majelis untuk bersepakat membebaskan Ronald Tanur, bagi saya luar biasa. Dengan atensi publik yang demikian tinggi terhadap kasus itu, ditambah dengan viralnya CCTV peristiwa “pembunuhan berencana”, “kesepakatan” membebaskan Ronald telah melampaui standar keberanian seorang hakim.

Lebih dari 20 tahun saya meliput dunia pengadilan. Selama meliput persidangan selalu ada jadwal sidang yang janggal. Jadwal sidang pagi-pagi sekali atau menjelang maghrib adalah persidangan yang patut diduga telah “ditukangi”. Persidangan seperti itu akan menghindarkan sorot mata wartawan yang meliput persidangan. Karena itu, berbekal pengalaman saya di persidangan, langkah majelis hakim PN Surabaya: di luar kebiasaan dari sisi keberanian. Entah apa di baliknya…

Musyawarah hakim untuk membebaskan Ronald Tanur memang mengejutkan dan mengagetkan dan penuh keberanian. Keputusan bebas itu dilakukan dalam sebuah musyawarah tertutup. Publik tidak mengetahui apa yang terjadi dalam musyawarah tertutup itu. Seperti dikatakan Bentham, “..,dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada di puncak kekuatannya.”

Pada tingkat kasasi, Selasa 22 Oktober 2024, MA mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa yang menjatuhkan hukuman lima tahun kepada Ronald Tanur. Vonis MA jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut 12 tahun penjara. Yang menarik dalam putusan MA ini adalah Ketua Majelis Kasasi Soesilo punya pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan dua hakim anggota lainnya: Ainal Mardiyah dan Soetarjo. Dua hakim anggota itu memutuskan membatalkan putusan bebas PN Surabaya.

Sebagaimana dikutip Kompas, 25 Oktober 2024, di dalam satu laci, penyidik menemukan tumpukan uang dollar AS. Kemudian salah seorang penyidik menyebut, “Ada tulisan diambil buat kasasi.” Publik tentunya masih akan menunggu penyelidikan lebih jauh dari kejaksaan tentang jual-beli putusan bebas di lingkungan pengadilan termasuk “diambil untuk kasasi”. Entah apa petunjuk, “diambil untuk kasasi”.

Uang suap untuk hakim yang memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur. Foto: Dok. Kejaksaan Agung.

Litani prahara di lingkungan kekuasaan kehakiman bukanlah untuk pertama kalinya. Sebelumnya, praktik jual beli perkara sudah kerap terjadi dengan melibatlkan para hakim biasa maupun hakim agung. Terakhir publik mendengar bagaimana hakim Gazalba Saleh dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara. Sekjen MA juga pernah terjerat kasus jual-beli perkara.

Saya pernah menulis di Harian Kompas. “Sudah menjadi obrolan warung kopi, hukum Indonesia bisa dibeli. Jika butuh kutipan, mungkin bisa dibaca dari Gary Goodpaster dalam Tim Lindsey dalam Law Reform In Developing and Transitional States tahun 2007. Kutipannya demikian, ”Today, the Indonesian legal system cannot be trusted—indeed, cannot be used to render honest decision—but may be trusted to protect corrupt activities. By all accounts, the Indonesian legal system…is wretched (sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya—sungguh, tidak bisa digunakan untuk memberikan keputusan jujur—tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan korup.”

Pada tahun 2019, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 126 negara berdasarkan World Justice Project, Rule of Law Index. Pada tahun 2024, peringat Indeks Negara Hukum Indonesia merosot dari peringkat 66 menjadi peringkat 68 dari 142 negara. Lalu mau apa?

Ketika negara hukum ambruk, ketika hukum tak bisa lagi dipercaya karena vonis hakim bisa dibeli, apakah negara ini masih pantas bisa disebut sebagai negara hukum demokrasi konstitusional. Beban itu kini ada di Pundak Presiden Prabowo Subianto yang sedang melakukan retret di Lembah Tidar bersama para pembantunya.

Boleh jadi ini juga momentum bagi Wakil Menko Hukum Otto Hasibuan. Otto adalah pemimpin organisasi advokat yang selama ini jinak dan tak pernah bersuara atas tren keambrukan negara hukum, menjadi tantangan untuk membenahi negara hukum. Dunia advokat Indonesia juga kehilangan sosok berintegritas seperti Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution, Suardi Tasrif, Haryono Tjitrosubono yang gigih membela Indonesia sebagai negara hukum. Bangsa ini juga rindu dengan advokat Yap Thiam Hien. Saya ingat ucapan Yap, ”Jika Saudara ingin menang perkara jangan pilih saya sebagai pengacara Anda karena kita pasti kalah. Tapi jika Saudara merasa cukup puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau jadi pengacara Saudara.”

Ketika Indeks Persepsi Korupsi IPK) stagnan di angka 34 pada akhir pemerintahan Presiden Jokowi, ketika Indeks Negara Hukum merosot dari peringkat 66 ke 68, ketika indeks demokrasi juga merosot dan masuk dalam demokrasi cacat, bangsa ini masuk dalam “democratic transition trap” berkepanjangan pada satu sisi. Dan pada sisi lain, “continuing corruption”, korupsi bekelanjutan.

Lalu apa? Bangsa ini menunggu langkah “bigbang” Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan fondasi bangsa ini pada konstitusi dan negara hukum dimana korupsi adalah musuh utama bangsa ini.

Ada kisah Georgia yang menarik diikuti. Aktivis Indonesia pernah menyuarakan penyelesaian korupsi model Georgia. Georgia dikenal sebagai salah satu negara yang berhasil melakukan reformasi pemberantasan korupsi, terutama sejak Revolusi Mawar pada tahun 2003 yang menggulingkan presiden Eduard Shevardnadze. Reformasi anti-korupsi yang diterapkan pemerintahan baru di bawah Presiden Mikheil Saakashvili dianggap sebagai salah satu kisah sukses di wilayah bekas Uni Soviet.

Presiden Saakashvili memulai dengan melakukan reformasi radikal di berbagai institusi, terutama di kepolisian dan pelayanan publik. Pada awal 2000-an, polisi di Georgia terkenal korup, sehingga salah satu langkah awal adalah memecat sekitar 30.000 petugas polisi dalam waktu singkat dan merekrut orang baru melalui proses yang lebih transparan. Hal ini menciptakan standar integritas yang lebih tinggi di lembaga kepolisian.

Langkah ini bisa saja ditawarkan oleh Presiden Prabowo dengan dukungan mayoritas partai politik kepada kekuasaan yudikatif dibawah Ketua MA Sunarto. Seperti pernah disampaikan kepada anggota Kabinet Merah Putih, “tidak mau ikut, silakan keluar”. Terapi kejut perlu dilakukan untuk membenahi negeri ini dari industrialisasi hukum. Terhadap kekuasaan yudikatit pendekatannya bisa berbeda dengan prinsip yang sama.

Sebagai hasil dari reformasi yang agresif, Georgia mengalami perubahan signifikan dalam persepsi dan tingkat korupsi. Dalam beberapa tahun, Georgia melonjak dalam peringkat Transparency International’s Corruption Perceptions Index (CPI). Pada periode 2000-2003: sebelum reformassi CPI Georgia berada di angka 20-30. Indonesia berada di 34. Pada periode 2004-2012, setelah reformasi CPI Georgia 52 pada 2012. Pada kurun waktu 2016-2020: Georgia CPI 55 and 58. Pada kurun waktu, 2021-2023, CPI Georgia stagnan pada angka 53-56 dan merosot menjadi 53 pada tahun 2023, karena kemunduran reformasi dan gejala konsentrasi kekuasaan.

Sinyalemen Garry Goodpaster dalam Tim Lindsey dalam Law Reform In Developing and Transitional States tahun 2007, bahwa sistem hukum Indonesia tak bisa dipercaya dan praktik jual beli vonis hakim di Surabaya merupakan pemasaran yang buruk terhadap negeri ini. Dan, butuh respons Prabowo Subianto sebagai Kepala Negara. ***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *