Budiman Tanuredjo
Tradisi politik baru dimulai di Republik ini. Transisi kekuasaan dari Presiden ke-7 Joko Widodo kepada Presiden Prabowo Subianto berlangsung mulus. Presiden Prabowo mengantarkan Presiden Jokowi sampai Bandara Halim untuk pulang ke Solo. Transisi 20 Okotber 2024 itu melegakan.
Waktu bergerak cepat. Ekspektasi publik terhadap Presiden Prabowo begitu tinggi. Menurut Litbang Kompas, kepercayaan publik pada Presiden Prabowo berada di angka 84,7 persen. Sebuah angka yang tinggi. Pidato Presiden Prabowo di depan MPR begitu heroik dan menunjukkan posisi ideologisnya. Kekuasaan untuk rakyat. Bukan untuk kerabat. Kemiskinan masih banyak. Jangan terlalu percaya pada statistik. Korupsi masih menjadi ancaman bangsa.
Retorika itu memberikan angin segar. Berbicara soal “Tahta untuk Rakyat” saya teringat buku yang ditulis Sultan Hamengku Buwono IX. Tahta untuk Rakyat berbicara soal menyatunya pemimpin dengan rakyatnya. Itu diwujudkan dalam langkah konkret. Mohammad Hatta, Hoegeng Iman Santoso, Agus Salim merupakan beberapa contoh pemimpin yang menunjukkan bagaimana kekuasaan itu didedikasikan untuk rakyat. Mereka adalah sosok bersih. Integritasnya tak diragukan.
Kualitas moral telah ditunjukkan saat Hatta pensiun sebagai Wakil Presiden. Setelah pensiun sebagai wapres tahun 1956, Hatta tak punya uang pensiunan. Ia kesulitan membayar iuran listrik. Keinginannya untuk membeli sepatu Bally pun, Hatta tak mampu mewujudkan sampai akhir hayatnya.
Sukidi menulis esai di Harian Kompas, 30 September 2021. “Jalan Penderitaan Pemimpin.” Sukidi mengutip Meutia Hatta, putri pertama Hatta, pernah membacakan wasiat yang ditulis Hatta pada tahun 1975. ”Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta tempat diproklamasikan Indonesia merdeka. Saya tidak ingin dikubur di makam pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa, yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.”
Pesan wasiat ini tentu menggetarkan hati nurani kita, karena kita disadarkan tentang spirit pengabdian dan keteladanan hidup Hatta yang didedikasikan sepenuhnya untuk negara dan rakyatnya. Hatta menjiwai sepenuh hati tentang arti kehidupan rakyat biasa, dengan penuh sadar dalam memilih jalan hidup yang sangat sederhana sebagaimana yang dialami oleh rakyat biasa.
Kualitas moral ditunjukkan Kapolri Hoegeng Iman Santosa yang dipecat Presiden Soeharto karena integritasnya menegakkan keadilan. Dia menolak ditawari menjadi Duta Besar. Ia mengadu kepada ibunya bahwa dia tak punya pekerjaan dan ibunya menjawab, “Selesaikan tugas dengan kejujuran karena kita masih bisa makan dengan nasi garam.”
Figur pendiri bangsa yang sederhana adalah Agus Salim. Ia hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya, pernah hidup tanpa listrik, dan tidak pernah punya rumah sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1925, Mohammad Roem pernah diajak oleh Kasman dan Soeparno,
keduanya pelajar Stovia, ke rumah Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Kasman berkata, ”Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita.” Menurut Mohammad Roem, ”Ucapan Kasman tidak mempunyai arti sastra kalau dikatakan dalam bahasa Belanda. Dalam bahasa Belanda, ada dua kata yang berbunyi sama, tapi ditulis berbeda: leiden (memimpin) dan lijden (menderita)” (Mohammad Roem, Prisma, No 8, 1977). Testimoni Mohammad Roem ini merefleksikan arti penting makna kepemimpinan sebagai jalan penderitaan yang dijalani oleh Agus Salim. (Sukidi, Kompas, 30 September 2021).
Narasi “Tahta untuk Rakyat” harus diwujudkan dalam langkah dan kebijakan nyata. Memang tidak bisa dibandingkan antara zaman kemerdekaan dengan zaman reformasi seperti sekarang. Namun, nilai keluhuran pemimpin pada masa lalu, tetaplah menjadi nilai universal.
Kedatangan Paus Fransiskus saat datang ke Indonesia relevan untuk dipetik. Tanpa banyak protokoler, tanpa banyak “dayang-dayang”, Paus Fransiskus menolak menggunakan mobil mewah. Ia memilih mobil yang biasa dipakai rakyat Indonesia. Paus Fransiskus menawarkan orisinalitas, genuinitas, dan apa adanya. Kesederhanaan dan apa adanya dan dekat rakyat. Kedekatan dengan rakyat yang genuine, bukan hiperrealitas yang dikreasikan oleh “sutradara” media sosial.
Apakah Kabinet Merah Putih yang jumlahnya lebih dari 100 orang bisa mengambil nilai-nilai dari pendiri bangsa ini? Bukan harus miskin atau pura-pura miskin, tapi tidak harus rakus dengan kekayaan. Bukan tidak boleh menikmati kenikmatan sebagai penyelenggara negara, tetapi dengar dan lihatlah suasana kebatinan rakyatnya. Jika seorang menteri mempunyai staf khusus, jika staf khusus akan memiliki tenaga ahli, dan tim media. Jika setiap wamen akan punya tenaga ahli dan semuanya membutuhkan pengawalan, entah berapa besar dana dihamburkan. Padahal, kata Presiden Prabowo Subianto, kekuasaan untuk rakyat, bukan untuk kerabat.***
Leave a Reply