“Letakkanlah integritas sebagai hal yang dasar. Dalam proses seleksi, pansel itu sempat meloloskan seseorang yang pernah diberitakan oleh banyak media pernah ingin membunuh pegawai KPK, mudah masyarakat untuk men-tracking siapa orang yang saya maksud, dia lolos,”
Kepengurusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2024 akan segera berakhir pada 20 Desember mendatang. Para petinggi yang saat ini bertugas memimpin KPK tinggal menghitung waktu mengakhiri masa jabatannya. Mempersiapkan pergantian kepengurusan, panitia seleksi (pansel) calon pimpinan KPK hingga saat ini masih melakukan proses seleksi dan menjaring nama-nama yang dianggap layak untuk memimpin lembaga anti rasuah itu.
Pansel yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo masih menyeleksi puluhan nama hingga akhirnya akan mengerucut menjadi 10 orang yang akan ditetapkan sebagai pemimpin dan dewan pengawas KPK periode 2024-2029.
Calon pimpinan dan dewan pengawas KPK yang baru nanti diharapkan dapat menumbuhkan optimisme baru terkait pemberantasan korupsi di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, KPK mengalami begitu banyak gejolak, khususnya setelah dilakukan revisi UU KPK di tahun 2019 yang diyakini telah menyunat kewenangan dan melemahkan kegarangan KPK dalam memberantas kejahatan korupsi di Indonesia.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhani membagikan perspektifnya mengenai calon pimpinan KPK periode 2024-2029 dalam perbincangan di podcast Back to BDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo yang tayang Rabu (18/9/2024).
Ia menyampaikan pesimismenya terhadap seleksi capim dan dewas KPK yang tengah berlangsung. Pesimisme itu didasari pada banyaknya pendapat keliru yang diyakini banyak pihak. Ia mencontohkan pendapat keliru itu adalah KPK harus diisi oleh aparat penegak hukum tertentu, perwakilan institusi tertentu, dan sebagainya.
“Padahal di undang-undang KPK clear bunyinya siapun sepanjang memenuhi syarat boleh menjadi pimpinan KPK. Tidak ada syarat di undang-undang KPK harus kepolisian, harus kejaksaan,” ujar Kurnia.
Kurnia menyebut hal ini sebagai sesuatu yang penting untuk menghindari adanya perlakuan khusus kepada institusi tertentu, sebagaimana terjadi pada proses seleksi pimpinan KPK 2019. Jika penegak hukum masih diberi karpet merah untuk jadi pimpinan KPK, ada banyak permasalahan yang akan timbul kemudian. Misalnya soal independensi dan konflik kepentingan.
“Sederhana, logikanya seandainya ada perwakilan institusi penegak hukum A menjadi komisioner KPK dan ketika KPK mengusut perkara korupsi di institusi A, apakah dia akan objektif di tengah realita jiwa korsa yang seringkali berlebih di Indonesia? Hal-hal itu yang kita mitigasi. Kita tidak anti dengan penegak hukum, tapi jangan asumsikan bahwa KPK itu harus diisi oleh penegak hukum,” jelas aktivis berusia 32 tahun itu.
Dari 20 nama yang saat ini masuk dalam daftar calon pimpinan KPK 2024-2029, Kurnia menyebut kebanyakan berasal dari penegak hukum. Ia berharap seleksi dilakukan secara objektif dan tidak ada penilaian istimewa terhadap sosok penegak hukum yang saat ini masuk radar.
Di luar sana, banyak yang mengatakan calon pimpinan KPK adalah titipan pihak-pihak tertentu. Untuk menampik isu ini, independensi pansel harus dibuktikan. Pansel harus menemukan sosok-sosok yang paling tepat sebelum nama-nama itu diserahkan kepada Presiden kemudian DPR.
Kekhawatiran tak bisa dihindari oleh Kurnia, terlebih pada saat 40 besar kemarin sempat ada nama-nama yang disinyalir telah melakukan pelanggaran kode etik namun tetap dimasukkan oleh pansel. Meski, pada tahap 20 besar nama itu sudah tersingkir.
“Iya sudah dibuang, akan tetapi kenapa dibuangnya itu ketika akhir-akhir. Logikanya gini, ada banyak orang yang diberikan kesempatan memimpin lembaga pemberantasan korupsi terbukti gagal, masih masuk di 20 besar, orang-orang internal KPK. Kan ada komisioner (KPK) yang masih diloloskan oleh pansel,” ungkap dia.
Kurnia mengingatkan, dalam mencari calon pemimpin dan dewan pengawas KPK, pansel tidak cukup hanya menilai aspek kompetensi calon dari secarik kertas hasil tes saja. Perhatikan juga integritas dan rekam jejak mereka.
“Letakkanlah integritas sebagai hal yang dasar. Dalam proses seleksi, pansel itu sempat meloloskan seseorang yang pernah diberitakan oleh banyak media pernah ingin membunuh pegawai KPK, mudah masyarakat untuk men-tracking siapa orang yang saya maksud, dia lolos,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.
Meski nama tersebut telah tersingkir, namun adanya nama calon yang jelas-jelas memiliki rekam jejak negatif terkait penanganan korupsi masuk dalam proses seleksi menunjukkan bahwa pansel tidak menaruh perhatian lebih pada aspek rekam jejak. Padahal, menurut Kurnia rekam jejak itu pasti bisa dengan mudah diakses oleh pansel jika mereka mau, terlebih ada BIN dan kepolisian yang siap memberikan informasi yang dibutuhkan. Dan jika calon berasal dari internal KPK, ada dewan pengawas yang bisa dipanggil dan dimintai informasi.
Dalam 20 besar capim yang terjaring, 4 di antaranya adalah pengurus lama KPK yang berasal dari jajaran strukrural. Padahal, menurut Kurnia kontinuitas kepemimpinan dari KPK saat ini untuk KPK mendatang tidak dibutuhkan. Ha itu karena KPK yang ada saat ini merupakan lembaga yang penuh dengan masalah.
“Refleksinya adalah, misal ada komisioner yang saat ini masih lolos, apa yang Anda kerjakan di tengah KPK sekarang porak-poranda? Apa kontribusinya?” tanya Kurnia.
Mereka adalah bagian dari KPK yang rusak itu dan harus mempertanggungjawabkannya. Lebih lanjut, mereka tidak semestinya ikut dalam seleksi calon pimpinan yang baru. Kurnia berpandangan lebih baik pimpinan dan dewas nanti diisi oleh wajah-wajah baru yang memiliki integritas, rekam jejak, juga kompetensi.
Pimpinan KPK 2024-2029 Ditentukan Jokowi atau Prabowo?
Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), satu periode kepemimpinan KPK saat ini adalah 5 tahun, durasi ini sama dengan lama periode pemerintahan. Waktu pelantikannya pun berdekatan, jika pimpinan KPK dilantik pada 20 Desember, pemerintahan baru dilantik 2 bulan sebelumnya, 20 Oktober.
Jadi, pimpinan KPK periode 2024-2029 akan mengawal 5 tahun masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Terkait dengan hal itu, Kurnia berpendapat pimpinan baru dipilih oleh Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih.
Namun, mengingat pansel yang ada sekarang dibentuk melalui Keputusan Presiden (kepres) Presiden Jokowi, maka pansel tetap harus menyerahkan hasil seleksinya kepada Jokowi. Selanjutnya, Jokowi lah yang harus dengan legowo memberikan daftar nama itu kepada Presiden Prabowo agar diserahkan ke DPR setelah ia dilantik.
“Dia (Prabowo) kemudian yang memberikan ke Komisi III, karena nanti Komisi III-nya juga Komisi III yang baru. Kabarnya minggu pertama Oktober bola sudah berpindah dari pansel ke Presiden, jadi harusnya enggak usahlah Pak Jokowi cawe-cawe lagi dalam isu pemilihan seleksi KPK,” jelas Kurnia.
Mengapa Prabowo lebih tepat yang menyerahkan pada DPR, bukan Jokowi, karena pemerintahan Prabowo lah yang nantinya akan dikawal oleh KPK baru ini. Rezim Prabowo pasti memiliki rencana tersendiri untuk pemberantasan korupsi 5 tahun mendatang yang harus diintegrasikan dengan KPK sebagai koordinator utama pemberantasan korupsi. Sementara Jokowi tak lagi punya kepentingan.
Dari segi waktu, hal ini masih sangat dimungkinkan. Prabowo dilantik 20 Oktober 2024, sementara pengurus KPK baru akan berakhir 20 Desember 2024.
Jika penyerahan nama-nama ini dipaksakan dilakukan oleh Jokowi, justru saat itu DPR belum sepenuhnya siap. Alat kelengkapan dewan belum selesai dibentuk, DPR masih sibuk dengan UU MD3, dan fokus menentukan komposisi setiap komisi.
“Kenapa enggak sabar dulu, menunda, biarkan Pemerintahan ke depan yang menyerahkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang kita dorong pertimbangan-pertimbangan yang baik,” sebut Kurnia.
Hasi seleksi calon pimpinan dan dewan pengawas KPK saat ini nantinya akan menjadi menara gading untuk mengawasi jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, jika Prabowo merasa tidak cocok dan memiliki pendapat lain soal jajaran pimpinan baru KPK, ia masih memiliki kesempatan untuk memeriksa kembali calon-calon lain yang tersedia untuk ia pilih.
“Iya sepertinya mungkin, namun yang kita lihat adalah apakah ada kesesuaian waktu atau tidak dengan pendeknya 21 Oktober menuju 30 Desember pelantikan pimpinan KPK. Jadi memang dalam rentang waktu itu masih dimungkinkan, namun cukup atau tidak waktunya,” pungkas Kurnia.
Simak dialog lengkap bersama Kurnia Ramadhana di Back to BDM episode 19 melalui tautan video berikut ini:
Leave a Reply