MPR Jadi Rumah Kebebasan dan “Gerakan 22 Agustus”

Budiman Tanuredjo, Jurnalis

“Mendengarkan suara rakyat adalah keniscayaan. Jangan pernah merasa karena rakyat telah memberikan pilihan pada saat pemilu dan setelah itu diabaikan. “Gerakan 22 Agustus 2024” haruslah jadi bahan refleksi agar elite politik tidak arogan,”

Belum ada kepastian kapan Ibu Kota Negara pindah dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur. Masih butuh Keputusan Presiden untuk “mengumumkan” bahwa ibu kota telah berpindah dari Jakarta ke Nusantara. Tidak cukup hanya dengan UU tentang Ibu Kota Negara dan UU tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Keputusan Presiden itu bisa ditandatangani Presiden Jokowi yang masih akan menjabat Presiden sampai 20 Oktober 2024 atau Presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan dilantik 20 Oktober 2024. Ketika tidak ada Presiden yang menandatangani, status ibu kota betul-betul menjadi “status quo”.

Di tengah ketidakpastian itu, Ketua Forum Aspirasi Konstitusi Jimly Asshiddiqie yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jakarta, melontarkan ide agar Gedung MPR yang ber-AC dingin dan masih bagus itu dijadikan sebagai Rumah Kebebasan. Rumah bagi siapapun untuk menyampaikan aspirasi konstitusional mereka terhadap kondisi negeri ini.

“Daripada demo dan teriak-teriak di jalan. Kan mendingan berada di dalam gedung untuk menyampaikan aspirasi rakyat, “ kata Jimly dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR di Gedung Nusantara IV, Kamis 12 September 2024.

Gagasan Jimly itu menarik. Mendengarkan suara publik punya landasan konstitutional. MK pernah mengatakan dalam penyusunan perundang-undangan butuh partisipasi bermakna (meaningful participation). MK merumuskan meaningful participation sebagai hak masyarakat untuk didengar pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Dalam kenyataannya, elite politik seperti mengabaikan suara masyarakat. Hak masyarakat dianggap selesai ketika telah memberikan suaranya di TPS. Setelah itu masyarakat seperti tak punya lagi hak politik. Elite politik terhenyak dan kaget saat mahasiswa bergerak dalam “Gerakan 22 Agustus 2024” menyelamatkan bangsa dari upaya penyelewengan konstitusi oleh Badan Legislasi DPR, minus PDI Perjuangan, dan Pimpinan DPR.

Pada saat itu, Baleg DPR, tentunya atas perintah Pimpinan DPR, mengadakan rapat kilat, untuk mengakali putusan MK demi untuk meloloskan seorang kandidat dalam kontestasi pilkada 2024. Beruntung persengkongkolan elite politik bersama dua menteri Presiden Jokowi itu bisa digagalkan “Gerakan 22 Agustus 2024”.

Kamis itu, Jimly mengundang sejumlah tokoh kritis yang kerap omon-omon di podcast. Hadir antara lain Refly Harun, Ubedillah Badrun (dosen Universitas Negeri Jakarta), Hatta Taliwang, Bivitri Susanti, dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Saya sendiri hadir dalam acara tersebut. Sayangnya, acara Forum Aspirasi Konstitusi, hanya dihadiri Jimly Asshiddiqie, Bambang Soesatyo dan Martin Hutabarat. Tak ada anggota MPR dan DPR lain yang hadir. “Banyak yang sedang berada di daerah,” ujar Jimly.

Meaningfull participation memang masih berupa slogan. Anggota DPR cenderung arogan terhadap suara rakyat. Misalnya dalam pembahasan RUU Kementerian Negara dan RUU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang minim partisipasi publik, anggota Baleg dari Partai Golkar Firman Subagyo dikutip Kompas, 13 September 2024 mengatakan, pembahasan yang diikuti masyarakat bukan hal signifikan. “Tak perlu melibatkan banyak orang karena menyangkut kewenangan Presiden.” (Kompas, 13 September 2024).

Pandangan Firman berbeda dengan UU No 13/2022 tentang Pembentukan Perundang-undangan. UU No 13/2022 dan juga putusan MK soal meaningfull participation jelas memberikan ruang kepada publik untuk memberikan masukan. Sebagian dari publik adalah para pembayar pajak. Undang-undang yang dibuat dan berkonsekuensi biaya tentunya akan menggunakan dana APBN yang salah satunya adalah pajak dari masyarakat.

Suara-suara kritis yang disampaikan dalam Forum Aspirasi Konstitusi itu sayangnya tak banyak didengar pemangku kepentingan. Jadi mirip belajar kelompok. Berbicara dalam echo chamber. Hanya Bambang Soesatyo dan Jimly yang mendengarkan. Bivitri Susanti misalnya menegaskan kembali pentingnya supremasi konstitusi bukan supremasi politik di DPR.

Bivitri Susanti berbicara dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR, 12 September 2024.

Hatta Taliwang punya aspirasi agar UUD 1945 yang sudah empat kali diubah dikembalikan ke UUD 1945 dengan cara adendum. Ia mengingatkan bagaimana Presiden Jokowi tiba-tiba mau memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Nusantara. Padahal, membaca Nawa Cita dan masa-masa kampanye, tidak pernah ada gagasan memindahkan ibukota negara. “Memindahkan ibukota seharusnya kewenangan MPR, bukan Presiden,” ujar Hatta Taliwang.

Ubedillah Badrun, dosen Universitas Negeri Jakarta, mengaku sempat malas hadir ke acara Forum Aspirasi Konstitusi. Ia mengaku beberapa kali berpikir sebelum hadir. “Apa ada manfaatnya,” katanya. Sedang Refly Harun juga sempat frustrasi dengan situasi yang ada. Amandemen konstitusi dibangun dengan sejumlah asumsi. Misalnya, untuk rekrutmen hakim agung melibatkan Komisi Yudisial. Namun, nyatanya ada juga hakim agung yang terjerat kasus korupsi.

Saya sendiri mengangkat isu soal perlunya RUU Lembaga Kepresidenan. Bangsa ini telah memiliki tujuh presiden, Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Namun, tidak ada UU Kepresidenan yang melandasi bagaimana Presiden bekerja.

Padahal, dalam diri seorang Presiden, melekat posisi sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, penguasa tertinggi atas angkatan, ketua umum partai politik, pejabat publik, politisi dan kepala keluarga. Presiden Jokowi pernah mengatakan, statusnya bukan hanya sebagai kepala negara melainkan juga pejabat politik. “Tolonglah mengerti kita ini politisi, kita ini pejabat publik,” kata Presiden Jokowi seperti dikutip CNN Jumat 5 Mei 2023.

Lalu bagaimana mencegah terjadinya conflict of interest atau konflik kepentingan? Bagaimana membedakan posisi Presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan kepala keluarga, dan juga politisi. Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944) pernah mengatakan: “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.“ Kalimat yang sama pernah pula diucapkan oleh Presiden AS; John F Kennedy (1961-1963). Jika diterjemahkan secara bebas bisa diartikan, loyalitas kepada partai berakhir, ketika loyalitas pada negara dimulai. Namun, Indonesia rasanya masih jauh dari itu.

Mendengarkan suara rakyat adalah keniscayaan. Jangan pernah merasa karena rakyat telah memberikan pilihan pada saat pemilu dan setelah itu diabaikan. “Gerakan 22 Agustus 2024” haruslah jadi bahan refleksi agar elite politik tidak arogan. Saya teringat pandangan Prof Dr Azyumardi Azra saat memberikan pengantar dalam buku saya, Negara Bangsa di Simpang Jalan (2021). Azyumardi mengingatkan berbagai kondisi bisa memunculkan ketidakpuasan masyarakat menengah dan kelas bawah. Kejengkelan sosial (social resentment) yang bisa tak terkendali dapat menimbulkan peningkatan kekerasan dan mungkin juga “revolusi sosial” (social revolution).

Meminjam istilah Mahfud MD di Kompas. Semua teori politik dan hukum telah habis di gudang diterapkan di negeri ini, tapi kondisi negeri masih seperti ini. Teori mengatakan perlu dibangun Komnas HAM, namun pelanggaran HAM tetap terjadi dan pelanggaran HAM masa lalu juga tak terselesaikan. Teori mengatakan, perlu dibangun KPK, namun korupsi juga tetap terjadi dan malah kian marak. Teori mengatakan perlu Komisi Yudisial untuk mengawasi dan menyeleksi hakim hakim agung. Namun tetap ada juga hakim agung yang terjerat kasus suap. Belakangan, hasil seleksi hakim agung oleh Komisi Yudisial malah ditolak DPR.

BDM bersama Jimly Asshidiqie, Refly Harun, dan Martin Hutabarat.

Mungkin inilah zaman edan yang pernah ditulis dalam Surat Kalatidha yang ditulis 1860 Masehi:

Amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu édan nora tahan,
yén tan milu anglakoni,
boya kaduman mélik,
kaliren wekasanipun,
dilalah kersa Allah,
begja-begjane kang lali,
luwih begja kang éling lawan waspada
.

(Berada pada zaman gila,
serba salah dalam bertindak.
Ikut-ikutan gila tidak akan tahan,
tetapi kalau tidak mengikuti arus, tidak kebagian,
(lalu) jatuh miskin pada akhirnya.
Tetapi Allah Mahaadil.
Sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada)

Tetaplah jadi orang waspada saja…


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *