Amien Sunaryadi Bicara Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Niat Ada, Tapi Tak Tahu Caranya

“Kalau ditanya serius, keinginannya serius. How to-nya enggak tahu. Artinya banyak orang yang ingin berantas korupsi, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Jadi kalau keinginan semua ingin, tapi caranya gimana enggak tahu,”

Masih dari rangkaian dialog Budiman Tanuredjo bersama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007 Amien Sunaryadi di podcast Back to BDM, kali ini Amien menceritakan banyak hal soal perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia. Mulai dari awal mula adanya operasi tangkap tangan (OTT), suap yang tidak banyak diketahui merupakan bagian dari korupsi, hingga Indonesia yang dinilai punya niat memberantas korupsi namun tak tahu bagaimana caranya.

Soal OTT, Amien menyebut pada awalnya kegiatan tersebut dikenal sebagai “tangkap tangan”. Tangkap tangan KPK yang pertama kali dilakukan terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W. Kusumah yang diduga melakukan suap terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2005.

Mengingat ini sebagai yang pertama kalinya, sehingga jajaran pimpinan KPK termasuk Amien juga turut turun ke lokasi penangkapan untuk memberikan arahan pada tim apa yang harus dilakukan.

“Saya harus di lapangan ngasih tahu nanti kalian lakukan ini, ini, ini, ini. Saya kasih tahu, soalnya kalau enggak belum ngerti. Bahkan pada waktu itu personil KPK tidak tahu, tidak paham bahwa suap itu adalah korupsi,” kenang Amien menceritakan pengalamannya saat awal kali bertugas di KPK.

Setalah tangkap tangan Mulyana Wijaya ini terjadi barulah dipahami bahwa ternyata suap adalah bagian dari korupsi itu sendiri.

Kembali ke kegiatan tangkap tangan KPK, nama “tangkap tangan” muncul karena tersangka korupsi ditangkap langsung oleh tangan tim dari Pengaduan Masyarakat KPK. Dirasa efisien, tidak perlu melalui banyak tahap dan langsung masuk tahap penyidikan, KPK pun beberapa kali melakukan hal yang sama dan menuai keberhasilan. Meski Amien tak menyangkal ada kalanya tangkap tangan KPK juga mengalami kegagalan.

“Waktu itu yang paling aktif itu almarhum Pak Andoyo Sudrajat. Dia mencoba, tertangkap tangan juga. Oh ternyata bisa. Dicoba lagi, bisa lagi. Akhirnya berkali-kali terus disebutnya operasi tangkap tangan,” papar Amien.

OTT disebut Amien menjadi pintu masuk untuk bisa masuk ke dalam sebuah sistem untuk membenahi celah-celah korupsi di dalamnya. Jika hanya menyampaikan dengan cara konvensional, biasanya KPK tidak didengarkan. Berbeda ketika ada seorang anggota yang tertangkap melakukan korupsi, di Mahkamah Agung misalnya, maka pimpinan lembaga yang bersangkutan baru mau mendengarkan saran perbaikan atau usulan reformasi yang disampaikan KPK.

“Ternyata Pimpinan Mahkamah Agung itu juga pengin reform, cuma enggak tahu caranya. Sayangnya komunikasi ini enggak muncul, jadi ‘digebuk’ dulu baru muncul,” jelas Amien.

Meski tidak semua pihak setuju dengan metode OTT, namun Amien menjelaskan OTT bukanlah satu-satunya pekerjaan KPK. Seperti ia sebutkan sebelumnya, OTT dilakukan untuk menjadi pintu masuk menemukan dan menyelesaikan akar permasalahan di dalam suatu lembaga yang menyebabkan terjadinya korupsi. Akar permasalahan ini penting untuk dicarikan solusi, agar kasus-kasus korupsi tak lagi terulang dalam jangka waktu yang panjang.

“OTT itu bagaimana yang punya sistem atau yang terkait dengan sistem diajak ngomong susah, jadi digebuk dulu pakai OTT. Setelah bisa diajak ngomong kita reform kan, kita betulin. Kalau mereka sudah mau gerak untuk memperbaiki, ya enggak usah OTT, tapi kalau masih ngeyel OTT lagi. Jadi OTT itu bukan tujuan, OTT itu alat untuk masuk,” sebut pria kelahiran Malang, 23 Januari 1960 ini.

Masalah Indonesia Memerangi KPK

Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang sudah diakui secara internasional. Semua negara pasti ingin menghilangkan praktik korupsi di wilayahnya agar kesejahteraan benar-benar dapat diwujudkan, tak terkecuali dengan Indonesia.

Amien sebagai salah satu orang pertama yang menjabat pimpinan di KPK menilai sesungguhnya bangsa ini memiliki niatan dan keinginan yang serius untuk memerangi kejahatan korupsi. Masalahnya, Indonesia masih tidak tahu bagaimana caranya, apa yang harus dilakukan, dan sebagainya.

“Kalau ditanya serius, keinginannya serius. How to-nya enggak tahu. Artinya banyak orang yang ingin berantas korupsi, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Jadi kalau keinginan semua ingin, tapi caranya gimana enggak tahu,” ujar dia.

Lebih spesifik Amien bicara soal ketidaktahuan yang ia maksud, misalnya terbatasnya pengertian korupsi di pikirran para penegak hukum. Korupsi hanya dimaknai sebatas tindakan yang merugikan keuangan negara. Padahal definisi dan jenis dari korupsi itu masih bisa dijabarkan dalam bentuk-bentuk yang lebih spesifik.

Amien Sunaryadi, Wakil Ketua KPK periode 2003-2007 dalam podcast Back to BDM.

Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan setidaknya ada 30 jenis korupsi, mulai dari tindakan yang merugikan negara, suap, hingga gratifikasi. Sayangnya, masih banyak pelaku penegak hukum yang hanya memahami korupsi sebagai tindakan yang merugikan keuangan negara, sementara memandang suap tidak sebagai tindak korupsi. Padahal, jumlah kasus korupsi suap jauh lebih besar daripada jumlah tindak korupsi yang merugikan keuangan negara.

“Dia (penegak hukum) nembak-nembaknya ke merugikan keuangan negara, tapi kalau sebagai seorang strategis nembak-nembaknya kan harusnya tergantung fakta. Fakta di lapangan, saya survei tahun 2015-2024 awal, jawabannya praktik korupsi di lapangan paling banyak suap,” kata Amien.

Dengan demikian, sesungguhnya selama ini ada banyak kasus suap yang tidak tersentuh hukum. Amien meringkas ada 3 permasalahan utama mengapa penegak hukum sulit memberantas korupsi di Indonesia. Pertama, kurang memahami jenis-jenis korupsi, karena kurang membaca UU. Masalah kedua, tidak tahu jenis korupsi apa yang paling banyak terjadi di lapangan. Terakhir, para penegak hukum di bidang korupsi tidak dilatih atau dilengkapi kemampuan untuk melawan korupsi suap yang notabene merupakan jenis korupsi terbanyak tadi.

Selain tidak memahami jenis-jenis korupsi, hal yang banyak ditemukan adalah adanya konflik kepentingan atau conflict of interest di pihak petugas lembaga yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik.

“Jadi misalnya gini saya orang BPK, kalau saya berantas suap wah rezeki saya berkurang. Saya polisi, saya memberantas suap rezeki saya berkurang juga. Saya jaksa, saya memberantas suap rezeki saya berkurang juga. KPK juga gitu,” sebut Wakil Komisaris Utama PT Freeport Indonesia 2018-2019 ini.

“Kalau diundang untuk sosialisasi anti korupsi atau bareng-bareng kampanye anti korupsi semua semangat ‘kita ganyang korupsi’, tapi kalau ditanya korupsi itu apa selalu jawabnya merugikan keuangan negara, selalu begitu. Jadi mungkin perlu cara pikir yang lebih strategik lah untuk bisa memberantas korupsi itu,” imbuhnya.

Tindakan suap itu misalnya terjadi di balik bisnis tambang ilegal atau yang merusak lingkungan juga merugikan masyarakat. Bisnis tersebut bisa terus beroperasi dalam jangka waktu yang panjang, karena suap ini. Amien menyebutkan, si pemilik tambang ini memberi bagian kepada banyak pihak, termasuk pihak yang memiliki kekuatan dan kekuaasaan sehingga operasional bisnisnya tetap terjamin dan terus berjalan.

Saran untuk Pemberantasan Korupsi

Untuk menghilangkan atau setidaknya menekan praktik suap dan konflik kepentingan, Amien menyebut diperlukan adanya arahan dari pimpinan puncak. Jika pemimpin sudah menyatakan demikian, maka semua yang ada di bawahnya akan memiliki kecenderungan untuk mengikutinya.

Meski korupsi dan segala turunannya terlihat rumit dan mustahil untuk bisa diberantas, namun Amien memiliki usul agar tindak penyuapan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari tindak korupsi launnya bisa lebih banyak mendapat perhatian.

“Nomor satu, pasal merugikan keuangan negara itu dicabut saja supaya nanti fokusnya ke suap. Bayangkan, dari tahun 1971 pasalnya sudah ada, suapnya ada, merugikan keuangan negara ada, tapi penegakan hukum maupun auditor senangnya (membidik kasus korupsi) merugikan keuangan negara saja. Suapnya enggak diurus, bahkan sebagian dari mereka (penegak hukum) terlibat suap,” ujar Amien yang merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara 1988.

Menurutnya, kasus korupsi yang merugikan keuangan negara tidak bisa mengembalikan kerugian negara secara signifikan, sementara kasus korupsi jenis suap bisa dikenai denda besar dan menarik aset-aset negara dalam jumlah besar pula.

Di bawah pemerintahan Prabowo Subianto nanti, Amien berharap pencabutan pasal merugikan keuangan negara benar-benar dilakukan. Atau minimal diberlakukan kuota dalam proses penegakan hukum pidana korupsi.

“Beliau perintahkan saja ke misalnya Kapolri, nanti ke Kabareskrim, juga ke Jaksa Agung perintahnya kira-kira gini ‘eh penyidikan korupsi berbasis merugikan keuangan negara hanya boleh maksimum 50 persen dari semua perkara, sisanya suap’. Terus tahun berikutnya yang berbasis merugikan keuangan negara hanya 30 persen, sisanya suap. Tahun berikutnya lagi 10 persen. Jadi kan pelan-pelan bergesar ke suap,” terang Amien.

“Tapi mengendalikan penyidik di Polri ini Kan jumlahnya ribuan, penyidik di kejaksaan jumlahnya ribuan, kan enggak mudah. Jadi enggak reasonable perintah itu, paling gampang di amandemen, dicabut,” imbuhnya.

Hal lain yang kini tengah menjadi sorotan publik adalah RUU Perampasan Aset yang tengah didesak oleh Jokowi kepada DPR agar segera disahkan. Jika benar disahkan, RUU itu dinilai sebagian pihak bisa membantu menyelesaikan permasalahan korupsi di Indonesia, karena akan menimbulkan efek jera dan takut pada pelaku atau calon pelaku.

Namun Kepala SKK Migas 2014-2018 iu tidak setuju dengan upaya yang tengah dicoba Presiden.

“Oh enggak, jadi RUU Perampasan Aset mungkin ada juga ide pembuktian terbalik, itu sebaiknya jauh-jauh. Enggak usah diurus itu,” kata Amien.

Menurutnya, jika perampasan aset dan pembuktian terbalik benar diterapkan maka akan membuat aparat penegak hukum kita menjadi semakin cepat kaya.

Logika yang ia kemukakan, aparat penegak hukum paling riskan menerima suap demi keselamatan orang yang tersandung kasus. Jadi, jika ada ancaman perampasan aset, bisa dibayangkan berapa besar suap yang akan disodorkan ke petugas?

Suap merupakan tindak pidana korupsi yang paling banyak dilakukan di tengah masyarakat Indonesia. Dan satu-satunya cara untuk memberantas suap itu adalah dengsn menghapus jenis korupsi merugikan keuangan negara sebagaimana ia jelaskan di awal.

“Supaya orang itu enggak ngomongin kerugian keuangan negara, jadi orang itu cuma ngomongin anti suap. Kalau semua ngomongin anti suap kan equal level playing field-nya ada. BPK anti suap, polisi anti suap, jaksa anti suap, KPK anti suap, kita masyarakat juga anti suap, kan enak. Kalau ini sudah terjadi barulah power (perampasan aset dan pembuktian terbalik) itu diberikan. Jangan diberikan kalau risiko suapnya masih tinggi,” jelas dia.

Berikut ini adalah dialog lengkap antara Budiman Tanuredjo bersama Amien Sunaryadi saat membahas upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *