Paus Fransiskus Bicara Ketimpangan Sosial, Relevan dengan Kondisi Indonesia?

“Kurangnya komitmen sejati berorientasi ke depan untuk menerapkan prinsip keadilan sosial mengakibatkan sebagian besar manusia terpinggirkan. tanpa sarana menjalani hidup yang bermartabat dan tanpa perlindungan dari ketimpangan sosial yang serius bisa memicu konflik parah. Perdamaian adalah buah karya dari keadilan. Opus Justitiae Pax,”

Paus Fransiskus tengah menjalani perjalanan apostolik di Indonesia sejak 3-6 September 2024. Dalam kunjungannya kali ini ia membawa banyak pesan, mulai dari hidup dalam kesederhanaan, keberpihakan terhadap kelompok marginal dan miskin, hingga menyerukan bahaya ketimpangan sosial yang bisa memicu konflik.

Apa yang disampaikan Bapa Suci terdengar relevan dengan kondisi bangsa Indonesia yang saat ini tengah disuguhi perilaku hidup bermewah-mewahan keluarga pemimpin negara  dan kelompok atas, di tengah kesulitan-kesulitan hidup yang terus menekan masyarakat kelas menengah dan bawah. Demikian juga soal kesenjangan atau ketimpangan sosial yang jurangnya semakin lebar menganga di negeri ini, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Pesan-pesan Paus menjadi begitu mudah untuk diterima bangsa kita, bukan hanya bagi umat Katolik saja.

Sejumlah narasumber hadir dan berdialog di Satu Meja The Forum Kompas TV (4/9/2024) yang mengangkat tema “Perkuat Kerukunan, Hapus Ketimpangan”. Salah satunya adalah Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Romo Simon Lili Tjahjadi.
Romo Simon menilainya dari dua kacamata, pribadi dan ajaran sosial gereja. Secara pribadi, apa yang disampaikan Paus menurutnya adalah keresahan pribadi seorang Paus. Sesuai nama kepausannya, Fransiskus yang memiliki kerisauan terhadap kemiskinan, ekologi dan lingkungan hidup, serta persaudaraan agama sesama umat Tuhan. Jadi pesan-pesan Paus terkait kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah benar-benar datang dari hati dan pikirannya.

Kemudian dari kacamata tradisi ajaran sosial gereja, kemiskinan mengancam martabat manusia.

“Dia berada dalam tradisi ajaran sosial gereja kontemporer tapi modern, bahwa kemiskinan itu merupakan ancaman untuk martabat manusia. Karena itu berarti orang tidak punya sesuatu untuk bisa bangkit, bisa hidup dalam level yang wajar, dan itu persis merupakan ancaman terhadap martabat manusia,” ungkap Romo Simon.

Pemikir Kebinekaan Sukidi Mulyadi menyebut lebih dari 25 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Ia pun teringat pada pesan Kardinal Claudio Hummes dari Brazil,  yang pernah disampaikan kepada Paus Fransiskus, “jangan lupakan orang miskin” atau “don’t forget the poor“.

Menurutnya pesan itu benar-benar bersemayam dalam benak pikiran Sri Paus.

Nama Fransiskus yang ia pilih untuk nama kepausannya, diambil dari seorang Fransiskus Assisi di Italia sekitar abad ke 8. Ia meninggalkan seluruh kemewahan duniawi dengan menyumbangkan seluruh hartanya. Ia memilih hidup memperjuangkan orang miskin.

“Dan itulah yang sebenarnya memberikan satu inspirasi menarik bagi Paus Fransiskus untuk panggil nama saya dengan Fransiskus. Dengan menyebut nama dia sebagai Fransiskus itu memberikan satu pesan bahwa beliau adalah Paus bagi orang miskin,” ujar Sukidi.

Paus bagi orang miskin mengandung dua makna. Pertama adalah sesuai dengan ajaran Yesus itu sendiri yang begitu peduli pada kelompok miskin dan marginal. Kedua adalah sesuai ajaran sosial gereja yang mengedepankan prinsip solidaritas dalam konteks kemiskinan.

“Solidaritas itu adalah wujud kasih untuk menjiwai penderitaan kaum rakyat miskin menjadi bagian dari penderitaan kita, sehingga kita hidup sebagaimana yang diderita oleh rakyat miskin. Dan itu dijiwai betul oleh Paus Fransiskus. Paus Fransiskus sebelum Dia diangkat menjadi Paus dia tidak memanfaatkan fasilitas kemewahan dia hidup di apartemen, dia tidak pakai sopir, tapi betul-betul hidup sebagai rakyat miskin, membersamai kaum miskin, dan sekaligus memperjuangkan orang miskin,” jelas Sukidi.

Ia menegaskan, kesederhanaan Sri Paus yang kita lihat hari-hari ini- terbang menggunakan pesawat komersil, selama di Indonesia meminta menggunakan mobil biasa, dan memilih menginap di Kedutaan Besar Vatikan yang ada di Jakarta- adalah kesederhanaan yang memang otentik, bukan kesederhanaan palsu supaya mendapat simpati pihak lain, sebagaimana banyak dipertontonkan di negeri ini.

Ketimpangan di Indonesia

Narasumber lain yang juga hadir adalah Ekonom dari Universitas Indonesia Teguh Dartanto. Ia membenarkan ketimpangan yang disampaikan Paus adalah isu global yang juga terjadi pada Indonesia. Meski ketimpangan sosial di Indonesia menurut data BPS 2024 ada di tingkat moderat, namun jika ditelisik lebih lanjut perbedaan kesejahteraan masyarakat itu begitu nyata signifikan.

“Studi saya terkait dengan ketimpangan aset tanah di Indonesia ini cukup miris ya, ternyata sekitar 56 persen petani di Indonesia itu merupakan petani gurem di mana luas tanahnya hanya 1.800m², itu enggak cukup untuk hidup. Dan selebihnya yaitu sekitar 6 persen petani kaya menguasai tanah sekitar rata-rata 5,4 hektar. Dari kepemilikan aset tanah ini sudah timpang sekali, sehingga orang miskin yang petani gurem ini enggak akan bisa bangkit dan tumbuh karena memang aset tanahnya kecil,” kata Teguh menjelaskan hasil studinya.

Aspek ketimpangan lain yang lebih berkaitan dengan martabat manusia sebagaimana dikatakan Paus adalah dilihat dari gap kepemilikan aset finansial masyarakat. Masih dari hasil studi Teguh, diketahui 305 juta rekening (98,2 persen) hanya menguasai 14 persen total tabungan. Namun, 103 ribu rekening (0,03 persen) menguasai 47,5 persen total tabungan.

Namun di luar ketimpangan kepemilikan tanah dan finansial, Teguh menyebut ada yang lebih parah dan perlu segera dicarikan solusi, yakni ketimpangan kesempatan.

“Banyak anak-anak kita atau orang di Indonesia kesempatannya tidak setara, kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas di Jabodetabek dengan saudara-saudara kita di (daerah lain) sudah timpang. Sehingga hasilnya yang dapat pendidikan berkualitas akan semakin bisa mengakumulasi pengetahuan dan aset ke depannya,” sebut Teguh.

Ketimpangan sosial di berbagai aspek yang terus melebar hingga hari ini diakibatkan oleh banyak hal. Teguh menyebut pandemi Covid-19 yang terjadi pada 2019-2021 lalu menjadi salah satunya.

“Karena Covid ini terjadi sehingga kelas menengah ‘kesejahteraannya menurun’, makan tabungan. Sedangan yang kelompok atas itu karena sifat pekerjaannya bisa work from home, bisa jarak jauh sehingga sebenarnya pendapatannya tetap, tetapi pengeluarannya menurun. Sehingga gap dari aset finansial itu semakin lama semakin naik, itu yang pertama,” sebut Teguh.

Adapun yang kedua adalah ketimpangan terkait kesempatan. Pada masa pandemi, sebagian besar proses belajar dilakukan secara daring yang membutuhkan akses digital selama prosesnya. Padahal, terjadi ketimpangan pada konteks akses digital ini. Kelompok 10 persen termiskin disebut hanya memiliki akses sebesar 30 persen. Sementara kelompok kaya aksesnya hingga 85 persen.

Ketimpangan ini membuat si kaya bisa tetap belajar pada masa pandemi dan si miskin tidak. Ini menjadi salah satu pangkal terjadinya kesenjangan dalam hal pengetahuan, yang kaya semakin pintar, yang miskin tidak berkembang.

“Ketika akumulasi knowledge-nya sudah timpang maka ke depannya adalah kesempatan kerjanya juga berbeda, yang miskin enggak akan pernah bisa bekerja di pekerjaan yang layak,” kata dia.

Pemerintah harus turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini, negara harus bisa menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua pihak, khususnya dalam hal mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang berkualitas.

Bersama keempat narasumber: Tirta Sutedjo, Sukidi Mulyadi, Teguh Dartanto, dan Romo Simon Lili Tjahjadi.

Merespons hal itu, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas Tirta Sutedjo menyebut untuk mengatasinya, Pemerintah melakukan integrasi beberapa program, bukan hanya bantuan sosial semata, namun juga perlindungan sosial, pemberdayaan, penyediaan infrastruktur dan layanan dasar pada masyarakat, khususnya kelompok miskin dan rentan.

“Kalau ini bisa terjadi, diharapkan masyarakat yang benar-benar membutuhkan bisa mendapatkan akses terhadap layanan kemudian pendidikan, maupun kesempatan bekerja,” kata Tirta.

Tirta menjelaskan upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan Pemerintah guna menangani kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia.

“Berbagai program yang sudah dilakukan oleh Pemerintah, baik reguler seperti PKH kemudian BPNT, maupun ketika terjadi Covid pogram-program yang dilakukan cukup responsif, seperti pemberian bantuan langsung tunai, kemudian juga perluasan dari program PKH dan BPNT yang sudah ada,” kata Tirta.

Ia menyebut, dalam 5 tahun terakhir, Pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan, dari 9,41 persen di tahun 2019 menjadi 9,03 persen di bulan Maret 2024.

Romo Simon menjelaskan soal kemiskinan dan ketimpangan yang ada di Indonesia sesungguhnya bisa didekati secara individual maupun struktural. Ia mencontohkan, jika dalam satu kelas berisi 20 siswa kemudian ada 1 siswa yang tidak naik kelas, maka persoalan ada di individu tersebut, mungkin dia malas, tidak memiliki cukup waktu untuk belajar karena harus membantu orangtua bekerja, dan sebagainya. Namun, jika siswa tidak naik kelas ada dalam persentase yang cukup besar, maka dimungkinkan terjadi persoalan strukrural.

“Mungkin struktur kita menjamin hanya orang yang mempunyai akses itu orang-orang yang memiliki kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan. Itu yang bisa membuat dia bisa sekolah atau bisa memiliki banyak akses. Persoalan struktural itu yang menurut saya baik diperhatikan dalam konteks Indonesia,” ujar Romo Simon.

Sukidi Mulyadi mencoba menjelaskan apa yang ada dalam pikiran Paus Fransiskus soal penyebab ketimpangan yang ada hari ini. Salah satunya adalah kesalahan sistem ekonomi.

“Ada satu teori yang mengatakan ada kebijakan trickle down economic policy, bahwa pertumbuhan yang ditopang pasar bebas itu akan menimbulkan kesejahteraan pada rakyat luas. Bagi Paus ini adalah kesalahan fatal dalam melihat dan mendiagnosis ekonomi, ini justru menimbulkan ketimpangan yang semakin besar. Bukan hanya soal ketimpangan aset, ketimpangan yang lain, tetapi terutama ketimpangan pendapatan itu sendiri,” sebut Sukidi.

Dalam pidatonya di Amerika, Paus menyebut ekonomi yang didasarkan pada kapitalisme adalah bentuk tirani baru terhadap keadilan sosial dan kemanusiaan.

Selain sebab kesalahan sistem ekonomi, ketimpangan sosial di mata Paus juga merupakan refleksi adanya krisis yang lebih besar, bukan hanya krisis ekonomi atau kebudayaan saja, tapi is menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan.

“Paus akan menyebutnya sebagai a crisis of humanity, krisis kemanusiaan. Karena apa, karena rakyat miskin tidak memperoleh penghidupan yang bermartabat, tidak memperoleh pendidikan yang terhormat, dan juga tidak memperoleh akses pendidikan yang berkualitas,” jelas Sukidi.

Itu adalah pandangan Paus soal penyebab ketimpangan sosial secara global. Sementara dalam konteks Indonesia, Teguh melihat pertumbuhan ekonomi negara ini kurang inklusif, atau tidak bisa dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat.

Kelompok ekonomi atas lah yang disebut lebih banyak menikmati pertumbuhan ekonomi kita saat ini, lalu kelompok miskin turut menikmati sedikit dalam bentuk berbagai bantuan dari Pemerintah, sementara kelompok menengah disebut Teguh sebagai kelompok yang paling berdarah-darah.

“Data laporan BPS terakhir juga menunjukkan bahwa kelas menengah kita menurun secara jumlah. Kalau kita biarkan yang seperti ini, yang  top 20 sangat melejit pertumbuhannya, yang tengah enggak berkembang, yang bawah berkembang tapi enggak bisa naik, nanti saya khawatir terjadi divided society, di mana enggak ada yang di tengah, tetapi hanya yang di bawah sama yang di atas,” papar Teguh.

Demi mempersempit kesenjangan dan menghindari devided society sebagaimana disampaikan Teguh, Tirta Sutedjo menjelaskan Pemerintah fokus pada kelompok masyarakat terbawah dengan terus melaksanakan program-program bantuan. Sehingga mereka yang ada dalam kategori kelompok miskin perlahan bisa naik kelas menjadi kelompok rentan, kemudian akhirnya masuk ke kelompok menengah.

“Jadi ada integrasi antara program perlindungan sosial dan program pemberdayaan. Ini diharapkan bisa memperkuat kemandirian masyarakat, dari sisi ekonominya supaya bisa tergraduasi dan benar-benar lepas dari kemiskinan,” sebut Tirta.

Dialog dalam lengkap dari keempat narasumber Satu Meja The Forum episode “Perkuat Kerukunan, Hapus Ketimpangan” dapat disaksikan melalui tautan video berikut ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *