“…Dari sebagai teladan politik yang sederhana, yang mendengar, berubah enggak lagi seperti yang dulu diperlihatkan atau harapan yang diberikan kepada masyarakat. Terus terang ada kecewanya lah, menyayangkan,”
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago diketahu sebagai salah seorang yang “menemukan” Joko Widodo dari Kota Solo sehingga bisa tampil di panggung politik Jakarta bahkan nasional.
Dalam podcast bersama Budiman Tanuredjo di program Back to BDM, Andrinof menceritakan bagaimana awal mula ia tertarik membawa Jokowi ke Pilgub Jakarta, hingga akhirnya kini merasa kecewa karena Jokowi yang disebut sudah banyak berubah dari karakter awal ketika masih menjadi Wali Kota Surakarta.
Kepada BDM, Andrinof menceritakan pernah memiliki kegelisahan yang amat sangat melihat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ketika itu yang jauh dari kata good governance dan dipenuhi dengan praktik korupsi. Ia pun berkeinginan untuk menghadirkan perubahan dengan menghadirkan sosok yang tepat sebagai pemimpin di lingkungan koruptif tersebut.
“Niatnya adalah untuk bagaimana supaya ada perubahan yang radikal, yang signifikan, untuk tata kelola pemerintahan di DKI. ketika itu saya pesimis kalau Bang Foke yang tetap maju, terpikirlah kemudian untuk mencari siapa yang cocok dimajukan jadi Gubernur DKI,” kata Andrinof.
Dari pemberitaan-pemberitaan positif tentang Joko Widodo di media massa, akhirnya Andrinof tertarik dengan sosok mantan Wali Kota Solo itu. Ia pun pergi ke Solo untuk menyampaikan ketertarikannya terkait Jokowi menjadi DKI Jakarta-1. Namun, kata Andrinof Jokowi menolaknya.
“Beliau waktu itu menolak, enggak mau selama 1 tahun. Alasannya ‘saya ini kelasnya kelas ketua RT, Bang. Jakarta itu kan besar’, walaupun saya yakinkan bahwa masalah Jakarta itu metodenya sama (dengan So) cuma skala volumenya saja yang besar, urusannya kan sama,” ujar Andrinof kepada Jokowi.
Selang 1 tahun, akhirnya Jokowi pun mulai tertarik untuk mau maju ke Jakarta.
Dalam salah satu bukunya berjudul “Evolusi Mimpi Menata Indonesia”, Andrinof Chaniago menuliskan sejumlah keunggulann karakter dari seorang Jokowi. Di antaranya adalah ia merupakan sosok yang tidak mementingkan keluarga dan diri sendiri ia mampu memisahkan urusan bisnis keluarga dan jabatan politik; kemudian memiliki niat baik untuk menyenangkan masyarakat; dan memiliki pendekatan dialogis dalam menyelesaikan permasalahan.
Itu adalah karakter Jokowi yang ia buktikan sendiri dan telah terkonfirmasi benar ketika masih ada di Solo. Misalnya ketika anak keduanya mendaftar CPNS dan gagal dalam tes, Jokowi yang sudah menjabat Presiden tidak melakukan intervensi, Kahiyang Ayu tetap gagal menjadi CPNS. Kemudian anak sulungnya, Gibran bisnis katering dan saat ayahnya menjaadi Wali Kota Solo ia tidak mau menerima pesanan atau proyek dari Pemerintah Kota Surakata.
Belum lagi soal bagaimana dialogisnya Jokowi ketika memindahkan PKL-PKL di Kota Solo, jangankan kekerasan, memaksa pun tidak. Yang dilakukan adalah dengan telaten mendatangi para PKL hingga puluhan kali dan mengajak mereka berbincang dengan santai hingga akhirnya berhasil dipindahkan.
“Sampai di DKI pun saya lihat masih sama, konsisten. Bagaimana kesungguhan untuk membenahi anggaran. Kesungguhan untuk menerapkan good governance itu tetap terlihat.
Namun, melihat Jokowi hari ini Andrinof mengaku heran dan bertanya-tanya. Mengapa karakter baik itu bisa berubah signifikan. Sejauh yang ia ketahui, perubahan itu dimungkinkan karena adanya konstelasi dan kebutuhan dukungan politik.
“Saya lihat ketika melakukan reshuffle pertama dan kedua itu sudah kepentingan untuk menjaga atau mendapatkan dukungan politik yang lebih luas, yang lebih kuat. Maka yang profesional itu agak minggir, masuklah yang representasi politik. Kemudian lanjut lagi tambah pos-pos Wamen segala macam, ya itu politik,” ungkap Andrinof yang merupakan pengamat kebijakan publik.
Faktor lain yang menurutnya mengubah sifat Jokowi adalah orang-orang yang menjadi teman dialognya. Jokowi disebut sebagai sosok pemimpin yang banyak mendengarkan masukan dari orang-orang yang ia percaya. Dari banyaknya masukan-masukan yang ia terima, kemudian Jokowi rumuskan sendiri hingga akhirnya lahir keputusan tertentu. Andrinof menyebut, apa yang diputuskan Jokowi tidak mutlak berasal dari masukan satu orang saja. Sebagai salah satu orang yang menjadi teman dialog Jokowi, ia sering menemui keputusan Presiden yang tidak sama dengan apa yang ia sampaikan dalam dialog.
“Jadi orang-orang di sekitar tentu berpengaruh. Apakah itu pertimbangan politik atau memang murni kebijakan yang teknokratis, itu banyak mempengaruhi keputusan-keputusan, langkah-langkah beliau,” sebut Andrinof.
Selain faktor lingkungan, Andrinof juga melihat perubahan Jokowi datang dari dalam dirinya sendiri. Sebelumnya, ia mengenal sosok Jokowi sebagai seorang pemimpin yang menunjukkan ciri-ciri ingin menjadi seorang negarawan. Namun hal itu berubah, Andrinof menyebutnya mundur, Jokowi kini menjadi seorang politisi.
Jokowi adalah seorang politisi, bahkan menurut Andrinof hal itu pernah disampaikan secara langsung oleh yang bersangkutan.
“Ketika menonton (pernyataan) itu saya kaget. Enggak saya bayangkan ciri-ciri yang ada sebelumnya ktika jadi Wali Kota Solo, ketika jadi Gubernur DKI, bahkan di awal-awal pemerintahan kabinet pertama itu enggak kelihatan, yang kelihatan adalah calon negarawannya. Tapi ketika 2 tahun yang lalu keluar pernyataan ‘saya kan juga politisi’, itulah saya lihat perubahan drastisnya ada di situ,” ungkap pria kelahiran 3 November 1962 itu.
Andrinof melihat ada hal-hal yang terjadi secara simultan, selain lingkungan politik dan kebutuhan praktis untuk menjalankan kekuasaan, juga dimungkinkan ada niat tersembunyi Jokowi.
“Ada juga mungkin soal niat tersembunyi mengambil kesempatan untuk lebih berkuasa atau peluang untuk mendapatkan posisi. Misalnya ada orang menyebut ketika tahun 2014 itu (Jokowi masih menjabat Gubernur DKI Jakarta) terlalu cepat jadi presiden, muncul pikiran bisa jadi kalau enggak diambil kesempatan itu nanti 5 tahun lagi belum tentu peluang sebesar itu,” papar Andrinof
Hal yang sama diasumsikan terjadi ketika Gibran dipaksakan maju sebagai calon presiden. Sebagai seorang ayah, seharusnya Jokowi bisa menahan atau bahkan melarang anaknya memasuki gelanggang yang belum semestinya bisa dimasuki. Tapi yang terjadi adalah Jokowi mengatakan orangtua hanya bisa merestui dan mendoakan.
“Padahal sebulan sebelumnya (Jokowi mengatakan) sebaliknya ‘belum cukup umur, baru 2 tahun (menjadi Wali Kota Solo), enggak logis, yang benar saja’ kata-kata itu kan di diingat dengan baik,” sebut akademisi asal Padang ini.
Kesimpulan yang bisa ia ambil mengapa Jokowi berubah adalah karena Jokowi sebagai seorang pemimpin negara, tidak memiliki basis dukungan politik yang kuat, sekalipun secara formal ia didukung oleh PDI Perjuangan.
Oleh karena itu, Jokowi mencoba membangun basis-basis dukungan politik agar pemerintahannya bisa berjalan stabil dan mendapatkan tingkat kepuasan yang tinggi. Andrinof menyebut, misalnya dengan melakukan barter-barter kepentingan, barter politik, barter materi. Selain itu, Jokowi juga menata kekuatan sendiri dengan mempromosikan petinggi-petinggi TNI/Polri.
Dan hari-hari ini, Jokowi dipandang sebagai seorang pemimpin di akhir masa jabatan yang takut kehilangan pengaruh di panggung politik dan masyarakat.
“Belakangan kok nampak takut kehilangan pengaruh. Masa jabatan sudah enggak lama, tapi manuver-manuver yang dilakukan beliau ini seperti takut kehilangan pengaruh, maka terus menata sumber-sumber dukungan,” begitu analisis Andrinof.
Padahal semestinya, Jokowi siap-siap untuk pensiun, menjadi seorang negarawan yang menasihati dan membagikan pengalaman-pengalamannya kepada para penerusnya.
Atas semua perubahan sikap Jokowi, ia pun tak segan untuk menyatakan bahwa apa yang ia tuliskan sebelumnya tentang karakter-karakter Jokowi, harus dilakukan koreksi.
“Kalau fakta empirisnya sudah berubah tentu harus dikoreksi. Ini kan lagi hangat-hangatnya soal Kaesang, tidak hanya itu tapi kan nyerempet-nyerempet bisnis yang tadinya Itu juga salah satu yang dijaga oleh Pak Jokowi, beliau kan enggak mau ikut campur keluarganya dalam bisnis, tetapi ternyata ikut juga. Sampai sekarang kan belum di bantah kalau Bobi ikut urusan tambang,” ujarnya.
Sebagai orang yang “menemukan” Jokowi, Andrinof mengaku tidak bisa menutupi kekecewaannya. Bukan hanya karena sikapnya yang berubah, tapi juga karena kebijakann-kebijakannya yang tidak sesuai dengan harapan.
“Ya tentu ada kecewanya, karena dari sisi kebijakan sendiri kan juga ada yang tidak sesuai dengan harapan. Tidak sesuai harapannya kalau itu ada alasan yang kuat dari beliau sendiri enggak apa-apa, tapi kalau karena ada kekuatan lain, karena kepentingan sempit ya tentu di situ kita harus kecewa ya,” kata Andrinof.
Kekecewaan juga dilatari oleh adanya inkonsistensi dalam menjalankan norma-norma politik. Jokowi yang semula menjadi pemimpin tauladan atas kesederhanaan dan kemauan mendengarkannya, kini telah berubah.
Selain membahas soal perubahan sikap Jokwowi, Andrinof juga berbicara soal kebijakan pembangunan dan tata kelola sumber daya alam di era rezim Jokowi yang ia sebut lebih parah dari Orde Baru.
Ya enggak sepuhnya bisa Jalan, banyak ya yang belum. yang jalan ada ya soal pemerataan wilayah pembangunan infrastruktur yang menyebar itu harus kita akui ya
Leave a Reply