“Putusan MK telah membongkar kesakralan ambang batas pencalonan yang selama ini dijaga partai politik besar. Politik menjadi bergairah karena muncul banyak calon pemimpin daerah. putusan MK membawa manfaat bagi publik dan Republik. Saatnya penurunan ambang batas diterapkan dalam pemilu presiden nanti,”
Selain membahas soal nasib Koalisi Indonesia Maju Plus pasca keputusan Mahkamah Konstitusi No 60 dan 70, lima narasumber yang hadir dalam Satu Meja The Forum Kompas TV (28/8/2024) juga mendiskusikan soal perlunya revisi presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang saat ini masih di angka 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen suara sah.
Menurunkan threshold untuk Pilpres adalah satu hal yang dianggap perlu oleh Politisi PKS Mardani Ali Sera. Menurutnya, Pilpres dan Pilkada memiliki kesamaan, sama-sama memilih pejabat eksekutif. Jadi tidak ada salahnya apabila aturan ambang batas yang diterapkan pada Pilkada, yakni 6,5-10 persen suara sah, juga diberlakukan pada Pilpres.
Ia menilai penurunan ambang batas yang diberlakukan pada Pilkada melahirkan dinamika demokrasi yang sehat dan membuka pintu kontestasi. Itu semua membuat publik lebih tertarik untuk berartisipasi dalam Pilkada dan secara tidak langsung meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.
“Kita melihat ada dinamika yang sehat, ada kontestasi yang membuat engagement publik meningkat, sehingga efeknya kualitas demokrasi kita membaik termasuk di antaranya adalah kita melihat peluang money politic melemah. Kenapa ada money politic karena tidak ada engagement, karena orang enggak kenal,” jelas Mardani.
Permasalahannya, presidential threshold sudah berulang kali, terhitung sudah 33 kali dilakukan Judicial Review di MK dan selalu ditolak. Hanya saja dengan putusan MK terakhir soal Pilkada dan dampaknya yang baik terhadap demokrasi, nampaknya bisa menjadi novum atau bukti baru betapa perlunya ambang batas Pilpres untuk juga diturunkan.
Mardani bersikeras, dengan disamakannya ambang batas pencalonan presiden dan wakilnya menjadi 6,5-10 persen suara sah parpol, akan ada lebih banyak calon yang bermunculan, tidak hanya 1 atau 2 calon saja.
“PKS juga pernah mengajukan biar turun, tidak nol ya kalau nol susah, tapi 6,5 sampai 10 persen itu sehat. Sehingga ada kontestasi, tidak satu atau dua pasang calon. Kemarin sudah bagus tiga, tapi empat jauh lebih baik sehingga masyarakat melihat bahwa semua aspirasi terwujudkan,” jelasnya.
Sependapat dengan PKS, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Malarangeng menyebut harus ada kesetaraan threshold antara calon independen, calon kepala daerah, dan calon presiden, yakni dari 6,5-10 persen.
Soal threshold rendah yang dikhawatirkan akan memunculkan terlalu banyak calon yang berlaga di Pilpres dan menjadikan proses demokrasi itu menjadi lebih rumit, menurut Andi tidak relevan.
“Di Pilkada ini dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi (yang baru), setelah kita lihat 500 lebih kabupaten/kota dan 37 provinsi itu yang paling tinggi adalah lima pasang dan itu hanya hitungan jari, sedikit juga. Kebanyakan 2, 3, 4 calon. Jadi tidak ada alasan dengan presidential threshold-nya turun jadi 6,5-10 lalu jumlah calon presiden begitu banyak. Paling banyak lima dan lima pun sudah pernah terjadi yaitu tahun 2004 ketika presiden SBY pertama kali jadi. Pemilihan langsung pertama itu lima pasang dan fine fine saja enggak ada masalah,” terang Andi.
Di pihak lain, Golkar menilai tak hanya mengubah presidential threshold saja yang perlu dilakukan ke depan. Ahmad Doli Kurnia Politisi Partai Golkar mengatakan partainya konsisten berpendapat bahwa harus ada penyempurnaan sistem, baik itu sistem pemilu, sistem politik, bahkan sistem ketatanegaraan.
“Jadi dinamika yang sekarang, terutama seminggu ini terjadi ini menambah alasan kita untuk melakukan penyempurnaan revisi undang-undang dan banyak bukan hanya soal presidential threshold baik itu di Pilpres maupun di Pilkada, tapi juga yang lain ada parlement threshold, ada sistem pemilu kita sampai misalnya soal posisi Mahkamah Konstitusi,” ungkap Doli.
Sementara itu, PDI Perjuangan yang selama ini bersikukuh menjaga ambang batas tinggi- karena memang menguntungkannya sebagai partai besar- menganggap ada yang lebih penting dari menurunkan ambang batas, yakni kesiapan dan keberanian partai politik untuk mau mengusung calon secara berdaulat.
Nusirwan Sujono Ketua DPP PDI Perjuangan mencontohkan apa yang terjadi pada Pilkada sekarang, dengan ambang batas yang diturunkan nyatanya masih banyak parpol yang bergerombol dalam koalisi, bukannya memajukan kadernya sendiri di berbagai daerah, padahal memiliki suara yang cukup.
“Apakah kalau sudah diturunkan itu terus calonnya menjadi banyak, enggak juga. Ambil contoh yang sekarang kita bahas DKJ, apakah tidak bisa itu menjadi tiga atau empat (paslon)? Bisa sekali. Jadi sebetulnya tidak relevan kalau mau dinaikkan atau turunkan (threshold), kembali lagi partai politik mampu tidak memberikan jalan untuk menjadi aspirasi rakyat? Itulah yang kita perlukan,” jelas Nusirwan.
Di pihak netral, Ahmad Khoirul Umam sebagai seorang pengamat politik menganggap ambang batas di Pilpres memang perlu diturunkan. Putusan MK terbaru disebutnya cukup menjadi yurisprudensi untuk melakukan evaluasi terhadap presidential threshold di Pemilu 2029.
“10 persen cukup moderat saya pikir,” kata Umam.
Ia berharap partai-partai dengan suara besar seperti PDIP dan Golkar yang selama ini terkesan menjaga threshold tetap tinggi, menunjukkan political will untuk hal ini. Partai-partai besar harus menjadikan penurunan ambang batas ini sebagai sebuah komitmen nyata untuk perbaikan demokrasi ke depan.
Selain itu, ia sependapat dengan Nusirwan yang menyebut perlunya keberanian atau kedaulatan partai politik untuk akhirnya bisa melahirkan banyak calon pemimpin. Tidak seperti sekarang, di mana banyak partai hanya membebek, ikut dengan kekuatan besar.
“Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah panggung yang menjadi etalase bagaimana partai-partai tadi orientasinya memang untuk menang, karena memang percaya diri tapi tidak sedikit yang orientasinya hanya sekedar untuk aman,” sebut Umam.
Misalnya PKB di Jawa Timur, dengan mengajukan kadernya sendiri yang tidak begitu kuat di Jawa Timur, partai Kakbah itu dinilai hanya cari aman. Betapa tidak, sudah ada nama Khofifah Indar Parawansa sebagai calon inkumben yang merepresentasikan PBNU. Diketahui, PKB dan PBNU memiliki permasalahan sejak waktu yang cukup lama. Seharusnya, jika orientasinya menang maka PKB bergabung dengan PDIP mengusung Tri Rismaharini untuk mengalahkan Khofifah.
“Cari aman. Karena ini bukan hanya soal kedaulatan politik dari sebuah partai, tetapi juga keselamatan politik,” ujarnya.
Melemahnya kekuatan Jokowi
Hal lain yang juga dibahas adalah soal memudarnya kekuatan Joko Widodo di dua bulan sisa jabatannya.
Selama menjabat RI-1, Jokowi dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengaruh begitu tinggi dalam berbagai hal di lingkup politik pemerintahan dan urusan kenegaraan. Seolah memiliki daya wibawa yang begitu kuat, Jokowi juga masih mendapatkan tingkat kepercayaan dan kepuasan yang begitu tinggi dari masyarakat Indonesia secara umum di tahun terakhir masa jabatannya.
Bukan hal sulit bagi Jokowi untuk membuat orang lain menuruti permintaanya. Entah atas dasar suka rela, ada tekanan, atau pamrih berharap menerima imbalan dari sang pemegang kuasa.
Salah satu bentuk kekuatan Jokowi memengaruhi orang yang paling jelas adalah bagaimana ia berhasil membuat Prabowo Subianto menjadi Presiden terpilih dengan raupan suara yang signifikan dengan cara menunjukkan keberpihakannya mendukung Ketua Umum Partai Gerindra itu. Tidak bisa dipungkiri, dari 58 persen suara yang masuk untuk Prabowo, ada banyak di antaranya yang memilih karena mengikuti pilihan Jokowi.
Namun, kini kekuatan itu disinyalir perlahan mulai melemah. Ia tak lagi bisa meminta semua orang untuk menuruti kemauannya. Contohnya MK yang tiba-tiba membacakan putusan baru soal Pilkada. Putusan itu praktis memupuskan rencana pencalonan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep untuk maju di Pilgub Jawa Tengah.
Sebelumnya, sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka telah sukses melenggang ke kursi Wakil Presiden, berkat MK yang diketuai Anwar Usman (ipar Jokowi) mengubah aturan syarat usia minimum untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden melalui Putusan No 90 di tahun 2023.
Contoh lain memudarnya kekuatan Jokowi adalah tidak diturutinya permintaan pengesahan revisi UU TNI oleh Badan Legislasi DPR.
Andi Malarangeng tidak menjawab dengan gamblang soal menurunnya daya pikat Jokowi di akhir masa jabatannya sebagai seorang Presiden. Namun ia menjelaskan secara teori, dalam ilmu politik terdapat istilah lame duck atau bebek lumpuh.
Istilah itu kerap digunakan di Amerika Serikat untuk menggambarkan posisi presiden, di saat presiden baru telah terpilih namun belum dilantik.
“Tetapi Indonesia kan tidak ada istilah itu, dalam konstitusi itu juga tidak ada istilah itu. Cuma orang melihat riil politiknya bagaimana ya tergantung dari bagaimana orang menafsirkan, kira-kira begitu,” jelas Andi.
Dalam periode ini, Jokowi memang diharapkan sudah tidak mengambil keputusan-keputusan strategis, karena masa pemerintahannya sudah di ujung senja. Keputusan strategis yang dibuat, dikhawatirkan hanya akan menjadi beban bagi penerusnya nanti. Sikap untuk tidak membuat keputusan strategis di akhir masa jabatan juga sekaligus menjadi bentuk memperlancar proses transisi kekuasaan dari dirinya ke Prabowo yang sudah dinyatakan memenangkan Pilpres dan akan segera dilantik 20 Oktober nanti.
Simak dialog selengkapnya di tayangan Satu Meja The Forum (28/8/2024) melalui tautan video berikut ini:
Leave a Reply