Aturan Pilkada Berubah, KIM Plus Pecah?

“Bukan chaos, jadi perhitungan ulang, ditata ulang. Sehingga wajar kalau timbul banyak langkah dan gerak, karena pada intinya partai politik kan ingin menang,”

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan aturan baru pelaksanaan Pilkada di Indonesia melalui putusan 60 dan 70 yang dibacakan pada 20 Agustus lalu. Melalui dua putusan itu, syarat ambang batas bagi partai politik untuk bisa mengusung calon kepala daerah (cakada) turun signifikan menjadi 6,5-10 persen suara sah parpol/gabungan parpol dari aturan sebelumnya 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah dan syarat batas usia kandidat calon kepala daerah adalah 30 tahun dihitung sejak pencalonan, bukan pada saat pelantikan.

Sempat ditolak oleh Badan Legislasi DPR 21 Agustus 2021, dua putusan MK itu akhirnya diakomodir oleh DPR setelah aksi demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat pecah di kawasan Gedung DPR Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia pada 22 Agustus 2024.

Perubahan ini menjadi kejutan besar bagi demokrasi di Indonesia yang tengah dirisaukan dengan isu kartelisasi partai politik dalam bentuk koalisi gemuk bernama Koalisi Indonesia Maju Plus. Di mana terdapat kurang lebih 12 partai politik parlemen dan nonparlemen bergabung di bawah KIM Plus menjadi satu kekuatan besar untuk kepentingan pilkada serentak di banyak daerah di Indonesia.

Partai-partai tersebut sebelumnya tak memiliki cukup kursi sehingga harus membangun koalisi dengan partai lain, namun menemukan kebuntuan hingga akhirnya merapat pada naungan koalisi pemenang Pilpres 2024, KIM.

Namun, dengan adanya keputusan terbaru dari MK, partai-partai tersebut kini banyak yang dinyatakan memenuhi syarat untuk mengajukan kandidat cakada, bahkan tanpa perlu menjalin koalisi dengan partai lain. Ya, karena syaratnya hanya harus memiliki suara kumulatif sebesar 6,5-10 persen suara sah, tak peduli apakah partai tersebut palemen atau nonparlemen.

Lantas bagaimana nasib KIM Plus pasca putusan MK, masihkah partai politik-partai politik itu bulat suara bekerja memenangkan calon bersama? Atau justru bergerak masing-masing mengusung kader atau tokoh terbaik yang ada?

Dalam program Satu Meja The Forum Kompas TV (28/8/2024) yang mengangkat tema Putusan MK Berlaku, Bagaimana Nasib Koalisi Indonesia Maju? sejumlah narasumber hadir untuk membahasnya.

Pertama, ada politisi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, ia menjelaskan sikap Golkar yang kembali mendukung Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi di Pilgub Banten, setelah sebelumnya mengusung Andra Soni-Dimyati Natakusumah sebagaimana diusung oleh KIM.

Ia menyebut partainya sudah menyiapkan Airin untuk menjadi cagub Banten sejak 3-4 tahun yang lalu.

“Airin ini sudah kita persiapkan lama sebenarnya untuk calon gubernur di Banten, bahkan sudah ikut ujian sampai ikut Pileg menang dapat 300.000 suara secara elektronal, bagus,” kata Doli.

Terlebih kini pasangan Airin-Ade juga mendapat dukungan dari PDI Perjuangan, sehingga kans memenangkan pertarungan di Banten menjadi semakin lebar. Ini menjadi salah satu alasan Golkar kembali mendukung Airin. Partai politik pasti mau menang.

Tidak diusung sebelumnya, karena Golkar memiliki sikap teguh untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran 5 tahun ke depan dengan tetap berada di KIM dan mendukung calon-calon yang KIM usung. Ini penting menurut Doli, untuk mendapatkan pemimpin daerah yang satu visi dan juga tidak berseberangan dengan pemimpin pusat. Sehingga program-program nasional akan lebih mudah dilaksanakan.

Doli juga menyebut DPP Partai Golkar menerima banyak rekomendasi dan aspirasi dari tokoh-tokoh masyarakat di Banten, mereka meminta Golkar mendukung Airin. Sosok Airin dinilai memiliki kedekatan dengan Golkar dan masyarakat Banten. Selain itu, ia juga dinilai kapabel dan cukup berhasil menjadi kepala daerah di Tangerang Selatan sebelumnya.

Beralih ke PKS yang juga mencabut dukungan politiknya terhadap calon wali kota Tangerang Selatan Ahmad Riza Patria-Marshel Widianto yang diusung KIM. Kini PKS di Tangsel mendukung kadernya sendiri, yakni pasangan Ruhama-Shinta.

“Dengan keputusan MK kita melihat ada peluang untuk membuat soliditas partai di Tangsel menjadi kuat, karena kita bagus suara di Pileg maka kita majukan kader kita. Tidak ada urusan dengan partai lain, ini peluang. Partai yang baik kan memang mengajukan kadernya untuk menjadi calon kepala daerah,” ujar Politisi PKS Mardani Ali Sera.

Bersama kelima narasumber: Nusirwan Sujono, Andi Malarangeng, Ahmad Khoirul Umam, Mardani Ali Sera, dan Ahmad Doli Kurnia.

Perubahan dukungan di Tangerang Selatan juga dilakukan oleh Partai Demokrat. Dukungan politik yang sebelumnya dibedikan kepada Ariza-Marshel dialihkan kepada pasangan Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan.

Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Malarangeng menjelaskan Demokrat akan mengusung calon dari KIM jika di daerah itu tidak memiliki kader yang potensial.

“Persoalnya kita ada beberapa daerah tidak ada tokoh yang kuat untuk jadi calon bupati atau wakil bupati. punya kursi tapi tidak punya calon yang kuat, sehingga biasanya kita mendukung siapa yang dicalonkan KIM, ungkap Andi.

Sebaliknya, jika di suatu daerah Demokrat memiliki kader dengan nama besar, itu lah yang akan diusung, walaupun tidak mendapat teman koalisi. Putusan terbaru MK sudah membukakan jalan bagi partai-partai untuk itu.

Sedikit berbeda dengan PKS, Golkar, dan Demokrat yang tergabung dengan KIM, PDI Perjuangan juga baru saja memutuskan untuk mengusung dua kadernya Pramono Anung-Rano Karno di Pilgub Jakarta. PDI P sebelumnya disebut-sebut sebagai partai yang potensial bisa memberikan tiket cagub Jakarta kepada Anies Baswedan. Komunikasi intens dilakukan, isu Anies-Rano juga sudah terdengar, bahkan Anies sudah mendatangi Kantor DPP PDI P juga berbincang dengan Rano Karno, sehari sebelum pasangan Pramono-Rano resmi mendaftar ke KPU.

Ketua DPP PDI Perjuangan Nusirwan Sujono menganggap tidak ada yang aneh ketika partainya batal mengusung seseorang meski komunikasi politik sudah dilakukan.

“Proses biasa saja ya. Perjumpaan itu terjadi di banyak daerah, kebetulan ini ada di Jakarta sehingga menjadi pusat perhatian. Sebelum keputusan itu terjadi komunikasi politik tidak hanya antar pribadi yang calon alternatifnya 1, 2, 3, 4, tapi juga dengan partai-partai yang lain,” sebut Nusirwan.

Ia menyebut di saat-saat terakhir pendaftaran biasanya lumrah terjadi perubahan-perubahan keputusan. Soal sudah menjalin komunikasi namun tak jadi mengusung, menurutnya adalah proses demokrasi yang ideal, karena menunjukkan ada banyak pilihan yang harus dijajaki.

Namun, Ahmad Khoirul Umam selaku Pengamat Politik menganalisis adanya kecenderungan partai-partai ini mengajukan calon sendiri bukan mencarii kemenangan, tapi berorientasi mencari jaminan keamanan.

Misalnya PDI P yang memilih mengusung Pramono di Jakarta, bukan Anies. Pramono merupakan Sekretaris Kabinet di pemerintahan Jokowi. Padahal, jika partai itu berorientasi mendapatkan kemenangan, Anies Baswedan menjadi jawaban.
“Kalau orientasinya menang maka hitung-hitungannya tidak seperti ini, harusnya PDI P mengusungnya bukan Pak Pramono. Anies Baswedan memiliki basis pemilih loyal yang sama dengan PKS. Kalau diusung oleh PDIP maka berpotensi menciptakan split ticket voting di dalam basis internal PKS itu sendiri,” jelas Umam.

Juga PKB yang mengusung kadernya Lulu di Jawa Timur, padahal di provinsi itu KIM telah mengusung Khofifah Indar Parawansa yang notabene merupakan representasi kuat dari PBNU. Diketahui, PKB memiliki sejarah yang kurang baik dengan PBNU. Dalam pandangan Umam, jika PKB ingin menang maka semestinya bergabung dengan PDI P yang mengusung Tri Rismaharini.

“Di saat yang sama kita cermati pergerakan dari PKB di Jawa Timur, kalau orientasinya menang harusnya bersatu dengan PDIP karena dalam tanda kutip memang ada relasi konflik antara PKB dengan PBNU di mana Mbak Khofifah adalah representasi PBNU. PKB tidak mungkin berada di Mbak Khofifah, maka opsinya adalah dengan PDIP yang potensi menangnya ada,” kata dia.

Orientasi cari aman ini juga menghinggapi putusan DPR terkait peraturan Pilkada yang akhirnya “manut” dengan MK. Umam mengatakan ada spekulasi bahwa kegagalan di Paripurna itu adalah bagian dari proses negosiasi dan kompromi. Jadi, PDI P tidak mati dalam berbagai pilkada, sebagai gantinya partai itu tidak mengajukan Anies Baswedan di Jakarta.

KIM Plus Bubar?

Melihat banyaknya perubahan sikap dari partai-partai anggota KIM Plus, Umam tidak bisa begitu saja menyimpulkan bahwa KIM Plus bubar setelah adanya putusan MK.

“Kalau bubar rasanya belum, karena beberapa titik terlihat cukup solid ya, misalnya di Jawa Tengah, kemudian Jawa Timur. Tetapi memang putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi ujian bagi Iman politik Koalisi Indonesia Maju apakah tetap solid, ataukah akan terfragmentasi,” kata Umam.

Ia mencermati bagaimana partai-partai politik amggota KIM satu suara menolak putusan MK saat di tahap pertama Baleg DPR, namun berubah saat memasuki tahap selanjutnya di Paripurna.

Perubahan sikap itu tidak bisa ia pastikan, apakah karena faktor teknis terkepung oleh massa pendemo, atau memang dikarenakan faktor strategis. Jika jawabannya dikarenakan faktor strategis, maka Umam menganalisis telah terjadi intra elite konflik di tubuh KIM. Terjadi perbedaan cara pandang, perspektif, dan kepentingan.

Intra elite konflik ini menurutnya terjadi antara dua kubu berbeda, yakni kubu Prabowo sebagai Presiden terpilih yang memiliki “saham” besar di dalam KIM dan kubu Jokowi, Presiden yang selama ini memberi dukungan dan kontribusi besar dalam memenangkan Prabowo.

“Pak Jokowi tentu memiliki agenda kepentingan ekonomi politik tertentu. Pak Prabowo barangkali juga memiliki potensi agenda kepentingan politik yang lain. Kalau (kepentingan dua kubu) ini ternyata tidak sama, maka bisa saja ini menjadi awal dari fragmentasi ataukah ini sekedar ujian soliditas dari KIM itu sendiri,” kata Umam.

Kembali kepada perbedaan sikap parpol-parpol di DPR. Jika gagalnya pengesahan RUU Pilkada di proses Paripurna ini diakibatkan oleh faktor strategis, maka ada kemungkinan terjadi evaluasi pada level okrestrator yang selama ini memainkan langgam politik nasional

“Kalau memang ada evaluasi, maka ini menjadi sebuah kesempatan yang sangat baik bagi partai-partai politik di dalam KIM, terutama yang merasa selama ini ada baku atur, ada kawin paksa. Inilah kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan kedaulatan partainya,” papar Umam.

Bersama kelima narasumber: Nusirwan Sujono, Andi Malarangeng, Ahmad Khoirul Umam, Mardani Ali Sera, dan Ahmad Doli Kurnia.

Menanggapi analisis Umam, Doli menyebut apa yang terjadi tidak demikian, tidak ada konflik di dalam KIM. Sebaliknya, koalisi super besar itu ia klaim masih tetap solid.

“Pilkada 2024 ini memang agak unik, karena berdekatan dengan Pilpres. Sebetulnya di lapangan ini kita sudah biasa (masuk atau berpisah dari koalisi), bukan hanya dengan KIM, dengan partai politik yang lain termasuk dengan PDI P segala macam itu komunikas kita baik-baik saja. Ini yang saya katakan narasinya bukan perpecahan, tapi berlomba-lomba dalam kebaikan,” ujar Doli.

Hal senada juga diutarakan oleh Andi Malarangeng. Ia menegaskan bahwa urusan Pilpres KIM solid mendukung Prabowo. Namun untuk Pilkada maka akan ada perbedaan kepentingan antar partai, karena sifatnya lebih praktis dan setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

“Di mana kita sama, kita sama. Di mana kita bisa berbeda, mungkin kita terpaksa harus bilang ‘sorry boss kita di sini punya kader sendiri’,” kata dia.

Sementara itu, PKS melihat ini sebagai koinsiden. Pasalnya MK membacakan putusan hanya seminggu sebelum masa pendaftaran sehingga membuat partai politik menghitung ulang apa yang sebaiknya mereka lalukan.

“Bukan chaos, jadi perhitungan ulang, ditata ulang. Sehingga wajar kalau timbul banyak langkah dan gerak, karena pada intinya partai politik kan ingin menang,” sebut Mardani.

Ia pun meyakini bahwa Prabowo maupun teman-teman di KIM memahami situasi Pilkada yang diadakan serentak dan adanya putusan MK, ini berbeda dengan Pilpres yang sudah usai.

Dari PDI P justru beranggapan bahwa pisahnya partai-partai politik itu memiliki makna yang baik dalam konteks demokrasi. Setiap partai politik berani menempuh jalan berbeda untuk mengusung calon berbeda. Hal ini akan menguntungkan rakyat, karena mereka akan memiliki lebih banyak pilihan, lebih banyak opsi. Tinggal mereka mencari mana pasangan yang dirasa paling mewakili kepentingan mereka.

“Kerja sama (koalisi), selama itu mampu merepresentasikan suara-suara, gema-gema urat syaraf rakyat, ya itu baik, aspirasi itu tersalurkan. Kalau Bang Mardani dengan Bang Doli sebentar berpisah begitu dianggapnya aneh, padahal sebetulnya berdasarkan regulasi partai politik itu memang (fungsinya) menyalurkan aspirasinya rakyat. Termasuk sampai Pilkada, ya berikan dong pilihan,” tegas Nusirwan.

Dialog selengkapnya dapat Anda simak dalam tayangan Satu Meja The Forum episode “Putusan MK Berlaku, Bagaimana Nasib Koalisi Indonesia Maju?” melalui tautan video berikut ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *