Budiman Tanuredjo
Perintah Pimpinan DPR kepada Badan Legislasi (Baleg) untuk mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah “sabotase konstitusi”. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Gede Dewa Palguna menyebut langkah Baleg DPR mengabaikan putusan MK adalah pembangkangan terhadap konstitusi (constitutional disobedience). Sedang guru besar ilmu pemerintahan Djohermansyah Djohan menilai DPR telah “keblinger”.
Beruntunglah masih ada elemen masyarakat sipil tersadar bahwa ada percobaan untuk melakukan “sabotase” konstitusional. Peringatan darurat trending di media sosial. Early warning system yang telah dinyalakan. Rasanya kita patut berterima kasih kepada elemen masyarakat sipil, para guru besar di sejumlah kampus, para pendengung (influencer) yang terketuk nurani dan kewarasannya untuk menyelamatkan konstitusi dari “sabotase” elite DPR dan pemerintah.
Dalam waktu singkat, mereka bergerak di sejumlah kota, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Makassar dan kota kain. Korban berjatuhan karena bentrokan dengan kepolisian. Tapi mereka adalah martir terhadap upaya percobaan “sabotase” konstitusi oleh Baleg DPR atas perintah pimpinan DPR.
Putusan MK di hari Selasa 20 Agustus 2024 itu memang mengagetkan. MK memang tengah terpuruk karena putusan MK No 90/2023 – saat membukakan pintu bagi Gibran Rakabuming Raka – menjadi calon wakil presiden dengan terlebih dahulu mengubah syarat pencalonan. Akibat putusan itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberikan sanksi etik kepada Ketua MK Anwar Usman (paman Gibran) dan Anwar dicopot sebagai Ketua MK. Namun lewat putusan PTUN Jakarta, Anwar Usman dibersihkan namanya dan dikembalikan harkat dan martabatnya. PTUN Jakarta membatalkan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK.
Mahkamah Konstitusi banding atas putusan PTUN Jakarta.
Putusan MK di hari Selasa 20 Agustus 2024 boleh jadi merupakan “penebusan dosa” MK – dalam bahasa awam –atas blunder konstitusional yang dilakukan MK atas putusan MK No 90/2023 yang menjadikan Gibran memenuhi syarat sebagai calon wapres. Putusan MK No 90 memicu kontroversi dan kemarahan publik. Namun, semua pihak masih mempunyai kewarasan politik, bahwa putusan MK itu final dan mengikat. Pertama dan terakhir. Tidak ada sikap lain, selain menghormati putusan MK. Menghormati putusan MK adalah penghormatan pada konstitusi. Satjipto Rahardjo mengibaratkan putusan MK sebagai idu geni atau ludah api. Sekali diucapkan, dia berlaku.
Putusan MK No 60/2024 adalah jawaban atas uji materi yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Partai Gelora kini adalah bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Putusan MK No 60/2024 itu membongkar soal pasal ambang batas yang diselaraskan dengan persyaratan calon perseorangan. Jadi, dalam putusan MK No 60/2024, ambang batas pencalonan kepala daerah diturunkan dari 20 dan 25 persen menjadi 6,5 hingga 10 persen tergantung jumlah pemilih.
Putusan MK itu memang sejalan dengan aspirasi banyak partai politik. Penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah (dan tentunya Presiden) adalah aspirasi sejumlah partai politik menengah. Sementara partai politik besar ingin mempertahankan ambang batas yang tinggi. Di negeri ini tampaknya sedang menuju tren “democrary incorporated” dimana pemerintahan dan partai politik tak ubahnya dikelola sebagai kumpulan politisi dengan berbagai kepentingan yang dikomandani seorang CEO. Partai dikelola seperti perusahaan politisi dengan prinsip, “siapa, dapat apa, dan kapan”.
Sebenarnya, putusan MK No 60/2024 menguntungkan semua partai politik. Paling tidak untuk Jakarta, delapan partai politik, bisa mengajukan calonnya sendiri. Baik itu, PKS, Golkar, PDIP, Gerindra, Demokrat, PSI, PKB, dan PAN bisa mengusung calonnya sendiri. Dan, itu tentunya akan lebih baik. Sayangnya, partai-partai itu sudah terlanjur terikat koalisi dengan KIM Plus. Akibatnya, ketika MK memutuskan pembongkaran ambang batas, mereka gamang dan kaget, termasuk juga pemerintah.
Adapun putusan MK No 70/2024 semata-mata hanyalah soal syarat umur cagub atau cawagub. Apakah usia 30 tahun itu pada saat penetapan calon atau pada saat pelantikan. Peraturan KPU telah merumuskan 30 tahun pada saat pencalonan. Peraturan KPU diuji materi ke Mahkamah Agung. Uji materi di bawah Undang-undang memang menjadi domain Mahkamah Agung. Kebetulan Mahkamah Agung memberi penafsiran bahwa syarat 30 tahun itu pada saat pelantikan kepala daerah.
Mengapa syarat calon gubernur ini diotak-atik karena ada suara-suara atau aspirasi Kaesang Pangarep (putra Presiden Jokowi) akan maju di pilkada. Ada yang menyebut di Jakarta atau di Jawa Tengah. Persyaratan administrasi telah disiapkan. Tapi Kaesang belum cukup umur.
MK pun diminta menguji pasal dalam UU Pilkada khususnya soal syarat umur pencalonan cagub. Dan putusan MK bulat delapan orang hakim – karena Anwar Usman tak ikut memutuskan – menyatakan, usia 30 tahun saat penetapan calon. “itu sudah ceto welo-welo,” kata hakim konstitusi Saldi Isra.
Dengan putusan MK itu, peluang Kaesang Pangarep untuk menjadi cagub atau calon wagub menjadi tertutup. Kaesang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024. Padahal, pencalonan sudah akan dimulai 27-29 Agustus 2024. Beruntunglah, Sekjen PSI Raja Juli Antoni memberi penegasan Kaesang tidak akan maju di pemilihan gubernur. Kita apresiasi penegasan itu. Jika penegasan itu muncul jauh-jauh hari tak perlu ada kehebohan.
Kedua putusan MK itu bisa mengubah konstelasi politik. Baleg pun diperintah untuk segera bersidang merevisi UU Pilkada pada hari Rabu 21 Agustus 2024 dan ditargetkan di paripurnakan pada Kamis 22 Agustus 2024. Padahal, pada saat MK mengubah syarat menjadi calon wapres, tidak diikuti revisi UU Pemilu Presiden.
Rapat Baleg yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Ahmad Baedowi (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan) dan dihadri Mendagri Tito Karnavian (mantan Kapolri) dan Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas (Mantan Ketua Baleg dari Gerindra), berupaya mengkondisikan untuk mengedit putusan MK. Revisi UU Pilkada adalah hak inisiatif DPR. Tapi bukan berarti pemerintah tidak terlibat. Kalau pemerintak tak bersetuju, pembahasan RUU Pilkada juga tak bisa jalan. Alasan pembahasan RUU adalah domain legislatif, tidak sepenuhnya benar.
Soal syarat umur cagub dan cawagub, demikian argumen Pimpinan Baleg, Baleg memilih mengacu kepada putusan MA yang mengatakan, syarat 30 tahun pada saat dilantik. Sedang putusan MK mengatakan, 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon. Cara pikir Baleg jelas keblinger. Revisi UU Pilkada – jika memang harus dilakukan – bukan dengan multiple choice: boleh mrmilih putusan MA atau boleh memilih putusan MK sebagaimana diargumenkan Pimpinan Baleg.
Revisi UU Pilkada sebenarnya tidak diperlukan. Sudah banyak preseden soal itu. Perubahan syarat calon wapres yang meloloskan Gibran juga tidak diikuti perubahan UU Pemilu. Perubahan masa jabatan Pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun atas putusan MK, juga tak diikuti revisi UU KPK.
Jadi, ketika MK membongkar soal ambang batas dan memperteguh soal syarat calon, dan diikuti dengan langkah revisi UU Pilkada, tentunya memunculkan pertanyaan. Paling tidak ada dua alasan yang masuk akal. Pertama, upaya meloloskan Kaesang Pangarep dengan cara revisi UU dan alasan kedua tetap ingin menyolidkan koalisi KIM Plus untuk menguasasi daerah-daerah?
Langkah Baleg DPR atas perintah Pimpinan DPR dan mungkin Pimpinan lainnya bisa dikonstruksikan “sabotase” konstitusional yang bisa mengarahkan bangsa ini pada krisis konstitusional. Bisa terjadi sengketa antara lembaga negara antara DPR, Mahkamah Konstitrusi, dan Mahkamah Agung, termasuk Presiden. Jika itu terjadi lalu siapa yang akan menyelesaikan? Dengan memahami cara berpikir itulah langkah masyarakat sipil mengobarkan “peringatan darurat” melalui media sosial dan tekanan publik ke DPR untuk membatalkan revisi UU Pilkada, sangat berjasa. Masyarakat sipil telah menyelamatkan bangsa ini dari kesepakatan elite politik , khususnya Baleg DPR dan Pimpinan DPR yang berkehendak untuk mengangkangi konstitusi.
Sedang soal ambang batas, Baleg DPR mencoba mengedit putusan MK. Baleg merumuskan hanya parpol yang tak punya kursi di DPRD berlaku ambang batas sama dengan calon perseorangan 6,5-10 persen. Sedang bagi parpol punya kursi di DPR ambang batas tetap 20-25 persen. Itu mengubah substansi putusan MK yang merupakan pelanggaran konstitusi. Agak menyedihkan kalau anggota Baleg DPR punya pemahaman konstitusionalitasnya seperti itu, dimana putusan MK bisa diedit semaunya.
Pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dari Partai Gerindra bahwa DPR akhirnya membatalkan pengesahan RUU Pilkada dan akan mengikuti putusan MK, belum sepenuhnya bisa dipercaya elemen masyarakat sipil. Sama halnya dengan pernyataan Kantor Komunikasi Kepresidenan juga belum sepenuhnya bisa dipercaya. Pernyataan elite belum bisa dipercaya karena rekam jejak pernyataannya, juga kerap berubah-ubah. Ini soal kepercayaan publik.
Tidak ada jalan lain bagi KPU untuk segera menerbitkan Peraturan KPU untuk mengkomodasi putusan MK. KPU adalah lembaga mandiri sesuai teks konstitusi, meski dalam praktiknya juga tidak mandiri-mandiri amat. Salah satu ketidakmandirian lembaga KPU adalah keharusan konsultasi dengan Komisi II DPR dan Pemerintah. Konsultasi dijadwalkan Senin 26 Agustus 2024 atau sehari sebelum pendaftaran pilkada.
Momen konsultasi itu masa kritis karena dilaksanakan satu hari jelang pendaftaran pilkada 27 Agustus 2024. Momen konsultasi itu harus dikawal agar tidak meleset dari waktu atau kembali diakali dengan berbagai cara. Kewaspadaan harus ditingkatkan agar publik bisa mengawasi. Sangat mungkin terjadi (tapi jangan sampai terjadi) terjadi dead-lock karena urusan teknis atau apapun – yang membuat Peraturan KPU tidak terbit pada 26 Agustus 2024. Peraturan KPU setelah putusan MK dan hasil konsultasi dengan DPR, masih harus diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Jangan sampai terjadi karena alasan teknis adminitratif, Peraturan KPU tidak terbit atau tetap terbit tapi karena persiapan teknis tapi pelaksanaan Pilkada harus bergeser dari 27 November 2024, menuju Desember 2024. Skenario kecurigaan (yang sebetulnya tidak perlu) harus dipikirkan karena publik terlalu sering dimain-mainkan atau merasa dibohongi.
Upaya “sabotase” konstitusi adalah sejarah hitam bangsa ini. Beruntung langkah keblinger sebagian elite bangsa ini – tanpa permintaan maaf apapun kepada publik – bisa digagalkan masyarakat sipil yang harus menjadi korban ditangkap polisi. Sejarah bangsa ini perlu mencatat dengan tinta hitam tebal, siapa-siapa saja elite yang kesetiaannya pada konstitusi sebenarnya patut diragukan. Pola ini mirip dengan rekam jejak hukum yang selama ini jadi alat tekan politik.
Mencermati berbagai dinamika di media sosial yang dipenuhi dengan berbagai hujatan personal, saya membayangkan Ibu Pertiwi sedang meneteskan air mata. Ibu Pertiwi sedang bersedih karena melihat elite mabuk kekuasaan. Kekuasaan itu memang memesona dan menggentarkan. Tapi ingat kekuasaan itu juga memabukkan….eling lan waspada.
Leave a Reply