Anomali Politik Indonesia Hari Ini

“Meskipun Pak Anies Baswedan itu punya magnet elektoral yang luar biasa tetapi ketika Pak Anies Baswedan tidak direstui oleh partai politik atau bertentangan dengan kepentingan partai politik ya tidak akan maju,”

Dunia perpolitikan Tanah Air hari ini sedang menghangat jelang diselenggarakannya Pilkada Serentak November mendatang. Partai-partai politik berkongsi menyusun strategi untuk mengusung dan memenangkan jagoannya masing-masing di setiap daerah pemilihan.

Di tengah berbagai dinamika politik yang terjadi, ada hal-hal yang berhasil menarik perhatian khalayak luas terkait anomali-anomali atau hal-hal yang sulit dilogika terkait peristiwa-peristiwa politik mutakhir. Misalnya soal Airlangga Hartarto yang tiba-tiba dengan suka rela mundur dari jabatan Ketua Umum Golkar di tengah capaian prestasinya untuk partai berlambang pohon beringin itu.

Direktur Eksekutif Maarif Institute, Andar Nubowo saat berdialog dengan Budiman Tanuredjo dalam podcast Back to BDM, melihat mundurnya Airlangga sebagai hasil dari praktik politik ekonomi berwajah Leviatan (monster yang disebut dalam Alkitab). Ia menjadi korban dari monster yang menghisap semua pihak.

“Sekarang kekuasaan ini berubah menjadi monster yang menakutkan di mana seorang Ketua Umum Golkar pun terpaksa harus menyerah, ‘saya mundur dan kemudian silakan digelar Munaslub’,seperti itu tafsir dalam level yang lebih empirik,” kata Andar.

Apa yang terjadi pada Golkar dan Airlangga disebutnya sebagai sesuatu yang aneh, pasalnya Airlangga terbukti berhasil membawa Golkar memeroleh suara legislatif yang meningkat secara signifikan pada Pemilu 2024. Meski demikian, karier politiknya sebagai Ketum justru berakhir begitu saja, secara tiba-tiba.

Terlebih, Golkar adalah partai besar yang sudah menjejaki dunia politik Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Pada masa Orde Baru Golkar berkuasa, di era reformasi dengan berbagai tantangan politik yang ada Golkar juga berhasil bertahan dan menjadi 3 partai terbesat di Indonesia.

“Ada sesuatu yang besar di sana, yang kita tahu Partai Golkar itu kan banyak galaksi-galaksi yang bertarung. Dalam kontestasi politik memperebutkan Golkar 1 itu kan tidak mudah. Bukan sesuatu yang ditunjuk, tapi ada kontestasi yang luar biasa. Pak Airlangga ketika menjadi Ketua Umum itu kan beliau berdarah-darah berjuang, tapi di tengah-tengah kekuasaan dia yang sedang merona-ronanya itu tiba-tiba mundur. Ini kan sesuatu yang membuat tanda-tanda besar bagi kita semuanya, bagi rakyat,” ujar Andar.

Politik menurutnya bukanlah apa yang tampak di panggung depan, tapi apa yang tersembunyi di belakangnya.

Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo berbincang di Back to BDM episode 16.

Anomali lain adalah sulitnya jalan Anies Baswedan memeroleh dukungan partai politik untuk maju di Pilgub Jakarta 2024. Padahal semua badan survei menempatkan nama Anies di posisi pertama dengan elektabilitas tertinggi. Jika pada umumnya partai-partai politik akan berebut sosok yang memiliki tingkat keterpilihan tinggi, maka tidak dengan nasib Anies di Pilkada 2024.

Jelang pendaftaran calon yang tinggal beberapa hari lagi, baru Partai Buruh, partai nonparlemen, yang berani mengusung Anies menjadi calon gubernur di Jakarta. Sisanya, semua partai politik merapat mendukung Ridwan Kamil. Kecuali PDI Perjuangan yang belum memutuskan sikap.

Apakah partai politik tak lagi menjadikan survei sebagai acuannya memilih kandidat kepala daerah?

Menyikapi realitas ini, Andar menyebut apa yang terjadi pada Anies adalah akibat dari partai politik yang menjadi supremasi dari kekuasaan yang hampir tanpa batas. Partai politik berkuasa atas banyak, termasuk menentukan siapa-siapa yang bisa menduduki jabatan di KPK dan sebagainya.

“Dalam konteks politik elektoral sekarang partai politik itu menjadi hal yang paling dominan, paling determinan. Pak Anies Baswedan misalnya, beliau bukan dari partai politik, dia tidak punya partai politik, sehebat apapun tentu yang menentukan adalah partai politik,” sebut Andar.

“Pak Anies Baswedan yang konon katanya sekarang tidak punya dukungan dari partai politik maju ke Pilkada Jakarta saya kira itu adalah buah dari sistem kepartaian kita atau demokrasi kita yang cenderung menyerahkan segalanya kepada partai politik untuk menentukan,” lanjutnya.

Selain kekuatan partai politik, apa yang terjadi pada Anies juga akibat dari pemusatan ekonomi politik pada satu orang atau salah satu kelompok elit tertentu yang disebut dengan oligarki dan plutokrasi.

Oligarki adalah elite-elite yang menentukan hajat hidup orang banyak sementara plutokrasi adalah kelompok-kelompok kapital besar yang juga menentukan hajat hidup orang banyak. Ketika mereka bersatu, maka ini lah yang terjadi.

“Meskipun Pak Anies Baswedan itu punya magnet elektoral yang luar biasa tetapi ketika Pak Anies Baswedan tidak direstui oleh partai politik atau bertentangan dengan kepentingan partai politik ya tidak akan maju,” kata dia.

Krisis Kaum Intelektual

Indonesia hari ini disebut mengalami kekurangan kaum intelektual. Kaum Intelektual adalah orang-orang dari latar belakang apapun yang bisa berpikir kritis dan menyampaikan kritikannya terhadap keadaan negara yang dirasa tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.

Jika dulu Indonesia memiliki sosok intelek seperti Nurcholish Madjid seorang intelektual Islam, pemikir dan juga seorang aktivis, kemudian Buya Syafii Maarif seorang pimpinan ormas, intelektual, dan aktivis juga. Lalu ada Profesor Azyumardi Asra, Gus Dur, dan lain-lain.

Kini sangat sulit ditemukan sosok-sosok dengan kapasitas berpikir seluas nama-nama tersebut.

Andar melihat akademisi hari ini hanya terfokus pada lingkungan akademis saja, menyebarkan ilmu pengetahuan juga terbatas di dalam kelompoknya saja.

Tidak seperti kaum cendekiawan sebelumnya di masa-masa perjuangan. Mereka adalah kalangan intelek yang dengan tulisan-tulisannya bersatu dan berserikat untuk menyuarakan suara kebenaran hingga akhirnya kemerdekaan berhasil direngkuh.

“Sekarang ini kaum intelektual berada dalam ruang dingin laboratorium, mereka mengisolasi diri untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Padahal ilmu pengetahuan yang penting adalah bermanfaat bagi masyarakat, untuk humanisme. Kalau ilmu pengetahuan untuk diri sendiri itu bukan ilmu pengetahuan,” ujar Andar.

Para ilmuwan menurutnya tak hanya dibutuhkan hasil penelitiannya, namun juga energi dan tenaga mereka untuk membantu memecahkan persoalan bangsa.

Dalam kacamata Andar, dunia pendidikan kita sekarang ada dalam situasi di mana para intelek dibuat terkungkung di dalam ruang-ruang pendidikan saja dan disibukkan dengan segala macam tambahan tugas administratif, sehingga ilmu dan kebenaran yang mereka miliki hanya di sampaikan di kelompok terbatas, tidak mencapai ke lingkup sosial yang lebih luas.

“Saya yakin intelektual itu masih berpihak pada kebenaran, tetapi mengalami dispersel, mengalami keterceraiberaian. Sebenarnya sekarang kita perlu adanya seorang bridger atau bounder seperti Cak Nur, Gus Dur, Buya Syafi’i, Mas Azyumardi Azra, itu adalah bridger sekaligus bounder. Jadi mereka menyatukan, kemudian menyuarakan, dan bisa menjembatani keragaman pandangan-pandangan di antara kaum intelektual menjadi sebuah gerakan,” jelas pria kelahiran Wonosobo, 12 Mei 1980 itu.

Menyikapi situasi saat ini dimana kaum intelektual sebagai informal leader begitu sulit ditemukan, Andar menyebut Maarif Institute akan melanjutkan posisi intelektual Buya Syafii Maarif sebagai pendirinya. Buya yang baru saja berpulang beberapa waktu yang lalu merupakan seorang ulama yang kritis, namun bisa menjadi bridger sekaligus bounder sebagaimana dibutuhkan oleh negara dan bangsa.

Buya Syafii adalah seseorang yang memilikj kedekatan tertentu dengan tokoh-tokoh nasional, seperti Presiden Joko Widodo maupun Jusuf Kalla. Meski dekat, namun Buya disebut Andar tetap bisa menyampaikan sikap kritisnya terhadap tokoh-tokoh politik nasional itu.

“Maarif Institute akan mencoba menjadi muadzin sebagaimana Buya Syafii Maarif sambil terus melakukan upaya bridging, meskipun Maarif adalah lembaga kecil, tapi kita mencoba melakukan bridging sekaligus bonding bagi kekuatan-kekuatan atau elemen-elemen yang ada di masyarakat kita untuk tujuan kemasyarakatan publik,” ungkap Andar.

Indonesia Belum Sepenuhnya Merdeka

Berbicara soal kemerdekaan suatu bangsa, Indonesia baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-79 pada 17 Agustus kemarin. Suasana kemerdekaan bahkan masih hangat bisa dirasakan di gang-gang perkampungan, perumahan, atau di tengah area pemukiman warga. Bendera merah putih berkibar di mana-mana, termasuk di kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya.

Meski demikian, Maarif Institute sebagai sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan ini menilai sesungguhnya negara ini belum sepenuhnya merdeka.

“Sebagian mungkin iya, tapi belum rata,” jawab Andar.

Indonesia mengalami kemerdekaan namun sifatnya parsial. Ia menjelaskan, merdeka tidak bisa hanya dimaknai secara sempit: terbebas dari penjajahan kolonisl. Lebih luas lagi, kemerdekaan juga harus dilihat dari konteks kebebasan berpikir manusia-manusia di dalamnya. Misalnya, apakah setiap bangsa sudah merdeka untuk bisa bermimpi, berkeyakinan, berasosiasi, berkumpul, dan sebagainya.

Jika belum, maka Andar tidak bisa mengatakan Indonesia sudah merdeka.

“Sekarang ini kita semakin menuju kepada ketidakmerdekaan. Ketidakmerdekaan kita untuk berimajinasi, bermimpi saja kita takut sekarang. Jangan-jangan mimpi saya ini tidak akan terwujud, ini kan di kita belum merdeka. Jangan-jangan misalnya anak saya saya pengin menjadi insinyur atau ingin menjadi seorang politisi yang baik, tetapi dalam situasi ruang sosial, politik, dan ekonomi seperti sekarang ini mimpi-mimpi tadi menjadi sesuatu yang mustahil untuk dicapai,” jelas dia.

BDM menyerahkan beberapa buku karyanya kepada Andar Nubowo.

Tak hanya di pihak masyarakat, Indonesia yang belum merdeka sepenuhnya juga terlihat dari apa yang dilakukan oleh pemerintahnya. 79 tahun sejak proklamasi dikumandangkan dan 26 tahun sejak reformasi dicapai, elite-elite pemerintahan Indonesia justru kerap mempertontonkan hasil kerja yang bertentangan dengan aspirasi atau keinginan rakyat.

Rakyat hanya dijadikan raja 5 tahun sekali ketika pemilihan umum akan tiba. Mereka diberikan “sesajen” berupa sedikit uang, sembako, atau fasilitas lainnya dengan tujuan memberikan suaranya. Selebihnya, rakyat akan dibiarkan bertahan hidup sendiri-sendiri menghadapi segala macam tantangan hidup yang banyak di antaranya berasal dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

“Itu kan sesuatu yang sifatnya bertentangan dengan tujuan dari dari politik itu. Tujuan dari politik pada dasarnya kan sesuatu yang adiluhung, politik itu sesuatu yang bersifat value, moral, kesejahteraan umum, jadi kemaslahatan  atau kebaikan publik. Tapi dengan praktik-praktik yang kita temui jelang-jelang elektoral misalnya  pemilu 2024 terus sekarang ini kita menghadapi pilkada, lagi-lagi rakyat kita itu hanya diberi sesajen-sesajen saja, bukan sesuatu yang bersifat fundamental bagi kesejahteraan dan juga kemakmuran publik,” terang Andar.

Anda dapat menyaksikan dialog selengkapnya antara Andar Nubowo dan Budiman Tanuredjo di Back to BDM melalui video berikut ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *