“Pertemuan antara politisi rabun ayam dengan pengusaha tuna moral ini yang akan berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia. Buya Syafi Maarif sudah mengingatkan kita kalau misalnya politisi rabun ayam dan pengusaha tuna morural ini yang berkuasa memimpin kita maka tahun 2050 kita enggak tahu anak cucu kita nanti bagaimana nasibnya. Sekarang saja kita sudah merasakan kegelisahan yang luar biasa apalagi nanti,”
Politisi rabun ayam dan pengusaha tuna moral adalah istilah yang digunakan Buya Syafii Maarif, pendiri Maarif Institute dalam salah satu artikelnya yang dimuat di harian Kompas.
Politisi rabun ayam dapat dimaknai sebagai politisi yang hanya bisa melihat kepentingan jangka pendek, politisi yang hanya berpikir bagaimana bisa mendapatkan kekuasaan dalam tempo secepat mungkin. Sementara pengusaha tuna moral adalah pengusaha yang hanya berpikir tentang keuntungan pribadinya, tanpa peduli apa dampak yang akan terjadi pada masyarakat luas.
Dalam siniar Back to BDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo, Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo menjelaskan penggunaan dua istilah itu dilatarbelakangi oleh kegelisahan seorang Buya Syafii Maarif melihat kondisi negeri. Mengapa setelah perjuangan reformasi yang membuka pintu demokrasi, justru lahir politisi-politisi juga pengusaha-pengusaha yang hanya mementingkan urusan diri sendiri, bukan bangsa.
“Ini menjadi pengingat kita bahwa politisi-politisi kita itu bukan orang yang visioner, bukan orang yang punya moralitas yang adil uhung. Tetapi justru politisi yang hanya bertungkus lumus dengan kekuasaan yang kekuasaan itu hanya untuk kekuasaan sendiri, bukan untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Andar.
Banyak yang mengritik Buya Syafii sebagai sosok yang pesimis karena melihat tulisan-tulisannya tentang Indonesia. Namun, menurut Andar, Buya menulis itu sebagai bentuk nalar kritis dan kegelisahaannya melihat kondisi negara. Ia gelisah membayangkan apa yang akan terjadi pada negara ini, meski ketika menuliskan opini-opini itu usianya sudah sepuh, 76 tahun.
Lulusan UIN Sunan Kalijaga itu bahkan menyebut sesungguhnya kegelisahan Buya Syafii adalah kegelisahan kita semua, namun kemampuan berpikir kita tidak sama dengan daya berpikir kritis yang dimiliki Buya yang kerap ia tunjukkan melalui tulisan-tulisan atau ceramah-ceramahnya.
Andar melihat, politisi rabun ayam dan pengusaha tuna moral ini masih ada sampai hari ini, bahkan mereka bekerja sama, menyatu menjadi satu kekuatan besar, bergabungnya kekuatan politik dan kekuaran ekonomi yang tidak memiliki batas. Batas-batas demokrasi bisa dengan mudah mereka terabas berbekal sumber daya kekuasaan dan kapital yang mereka miliki. Apapun bisa mereka tempuh, selama kekuasaan ekonomi dan politik bisa dipastikan ada di genggaman tangan.
“Pertemuan antara politisi rabun ayam dengan pengusaha tuna moral ini yang akan berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia. Buya Syafi Maarif sudah mengingatkan kita kalau misalnya politisi rabun ayam dan pengusaha tuna morural ini yang berkuasa memimpin kita maka tahun 2050 kita enggak tahu anak cucu kita nanti bagaimana nasibnya. Sekarang saja kita sudah merasakan kegelisahan yang luar biasa apalagi nanti,” ungkap Andar.
Trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang semestinya memiliki otoritas indepensi masing-masing, kini justru dikuasai atau dikontrol oleh satu tangan saja. Ditambah dengan kekuatan pengusaha yang juga tergabung di dalamnya. Kondisi seperti ini dinilai sebagai satu kondisi yang berbahaya. Demokrasi sudah berubah menjadi otoriter, pemerintah memiliki sifat-sifat diktator dan totaliter.
Andar yang merampungkan pendidikan master dan doktoral di bidang Ilmu Politik di Perancis mengatakan Indonesia saat ini tengah mengalami pergeseran dari negara demokrasi menuju ke arah negara neototalitarianisme.
“Paling tidak sejak 2016-207 itu kita sedang mengalami regresi demokrasi. Bagaimana kekuasaan itu menggunakan cabang-cabang hukum untuk memperkuat otoritarianisme, untuk kepentingan elit oligarki dan plutokrasi,” kata Andar.
Tak hanya itu, kekuasaan juga mencoba menundukkan masyarakat sipil, termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Padahal, dalam negara demokrasi seperti Indonesia, mestinya dikenal konsep division of labor (adanya pembagian tugas) juga check and balancies (mengecek dan menyeimbangkan).
“Ada kekuasaan tapi juga ada oposisi. Kalau kita lihat sejarah, sejarah kekuasaan di Nusantara itu kental juga dengan oposisi. Oposisi tetap ada dalam setiap rezim kekuasaan. Tetapi yang menarik adalah bagaimana di Indonesia itu oposisi selalu digerus, selalu diberangus dengan berbagai cara,” jelas Direktur Eksekutif ke-7 Maarif Institute ini.
Apa yang terjadi sekarang adalah contoh bagaimana kekuasaan mengontrol oposisi dan masyarakat sipil dengan cara sehalus mungkin. Cara semacam ini membuat kita merasa seolah semuanya baik-baik saja, namun ketika tersadar kita sudah ada di tengah pusaran masalah besar. Tanpa disadari demokrasi kita sudah dalam kondisi sakit berat, kebebasan dalam berbagai hal sulit didapatkan.
Contoh bagaimana kekuasaan mengontrol kita dengan cara yang amat sangat halus, misalnya kelompok masyarakat bawah dicukupi kebutuhan dasarnya dengan pemberian bantuan sosial, kelas menengah disodori jabatan dan posisi tertentu. Kemudian ormas-ormas diberi konsesi tambang, partai politik ditawari masuk kekuasaan dengan iming-iming kasus hukumnya dilindungi, dan sebagainya.
Kesadaran yang utuh akan adanya bahaya demokrasi sangat dibutuhkan dalam kondisi seperti sekarang ini. Jika tidak memiliki kesadaran tersebut atau ketika kita menormalisasi semua ketidaksesuaian yang terjadi, maka menjadi dipertanyakan apakah kita masih waras sebagai seorang publik?
Kondisi semacam ini, di mana kekuasaan dikontrol oleh satu tangan sebenarnya pernah dialami Indonesia di masa Orde Baru dan reformasi muncul sebagai bentuk koreksi terhadap sejarah itu.
“Sebenarnya kita sudah benar ketika dua dekade lalu bersepakat mengadopsi demokrasi supaya terjadi pembagian kekuasaan kewenangan, tidak terpusat satu kekuasan pada satu tangan. Tetapi yang terjadi sekarang itu memang tidak mudah untuk kita terus bersetuju dan bersetia pada demokrasi yang sudah kita pilih,” ucap pria kelahiran Wonosobo, 12 Mei 1980 itu.
Namun kondisi hari ini memang menuntut kita untuk merasa gelisah. Jika kita merasa semua baik-baik saya, menurut Andar justru kita dipertanyakan kadar intelektualitasnya dalam konteks kehidupan demokrasi. Berkaca pada pengalaman masa lalu, pemerintahan yang semacam, yang kekuasaan terpusat pada satu tangan ini tidak akan bisa bertahan lama.
Seperempat Abad Pasca Reformasi
Dua dekade setelah reformasi, begitu banyak perubahan dalam hal bagaimana negara dijalankan, bagaimana demokrasi perlahan berbelok arah. Andar melihatnya sebagai sesuatu yang memang sudah dirancang, sudah didesain sedemikian rupa.
Misalnya pada tahun 2005 militer yang berdasarkan hasil reformasi tak boleh masuk ke ranah sosial politik justru mulai memasukinya. Ketika itu organisasi sipil dan keagamaan juga LSM-LSM masih meyakini bahwa Indonesia tidak mungkin berjalan mundur ke masa sebelum reformasi, demokrasi sudah disepakati menjadi cara bernegara.
“Demokrasi itu tentu ada aturan-aturan mainnya, bahwa sipil itu tetap menjadi penting dalam konteks panggung kekuasaan kita, bukan militer lagi. Maka pada saat itu masih ada konter balik,” ujar Andar.
Hal serupa lagi-lagi terjadi di tahun 2012 ketika RUU Keamanan Nasional akan dihadirkan kembali. Beruntungnya, 12 tahun lalu masih ada perlawanan dari kelompok sipil dan LSM Sehingga RUU itu gagal disahkan di Parlemen.
Yang sangat disayangkan, kekuaran-kekuatan sipil itu terasa lumpuh dalam beberapa tahun terakhir.
“Jadi ketika kelompok-kelompok sipil ini sudah kehilangan induknya (tokoh-tokoh intelektual yang bisa menjadi jembatan untuk menggagalkan upaya penerabasan demokrasi) yang dulu memberikan pedoman atau kompas ini loh bangsa harusnya ke sana, kelompok-kelompok civil society, kelompok-kelompok intelektual akademisi ya mereka punya suara-suara kritis tapi hanya ngomel saja, tidak ada gerakan yang menyatu yang bisa melawan apa yang disebut dengan musuh-musuh demokrasi itu,” kata Andar.
Selain itu, 6 tuntutan reformasi yang dulu digaungkan: pengadilan terhadap Suharto, berantas KKN, tegakkan supremasi hukum, amandemen konstitusi, otonomi daerah, dan akhiri dwifungsi ABRI, kini nampak tak lagi dijalankan. Satu persatu tuntutan itu nampaknya mulai terabaikan di hari-hari ini, sehingga kondisinya cenderung kembali ke masa-masa sebelum reformasi.
Lantas, apakah hal ini menandakan reformasi sudah berakhir?
Andar menyebut semuanya tergantung pada kita.
“Sekarang ini mungkin mirip seperti di Perancis setelah 10-20 tahun (menganut demokrasi) kemudian kembali kepada otoriterianisme. Kita juga sekarang sedang menuju ke sana. Nah ini tergantung pada kita, tergantung pada kaum intelektual,” ujar Andar
Kaum intelektual yang dimaksud adalah mereka dengan latar belakang profesi apapun yang mau berteriak lantang menyuarakan kebenaran dan memihak kepada kepentingan masyarakat luas. Jika mereka diam, maka kira akan kembali ke masa-masa pemerintahan otoriter sebelum era reformasi.
“Jadi sekarang sebenernya adalah kuat-kuatan. Ketika kaum intelektual terpecah belah, dispersal, tercerai-berai, mereka hanya ngomel, ngedumel tetapi dumelannya tidak menyatu menjadi sebuah gerakan yang positif bagi penegakan demokrasi dan bagi peningkatan kesejahteraan publik, nanti kekuatan-kekuatan yang anti demokrasi ini akan memenangkan pertempuran. Kira-kira seperti itu. Jadi tergantung pada pada kaum intelektual, tergantung pada kita semuanya,” jelas Andar mengakhiri penjelasannya terkait demokrasi di Indonesia.
Diskusi Budiman Tanuredjo bersama Andar Nubowo terkait demokrasi di Indonesia bisa disimak melalui tautan video berikut ini:
Leave a Reply