“…Tidak ada pilihan bagi DPR untuk tidak mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi. Jadi enggak ‘bisa bas bis bus pisang rebus saya pilih MA saja deh’. Itulah yang namanya inkonstitusional. … ternyata anggota DPR tidak paham apa itu (keputusan MA dan MK) dan bagaimana menjalankan konstitusi sebagai legislator,”
Isu politik nasional hari-hari ini dipenuhi dengan pemberitaan langkah cepat Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI menganulir putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pilkada.
MK melalui putusan nomor 60 dan 70 yang dibacakan pada 20 Agustus lalu menurunkan ambang batas suara/kursi bagi partai politik untuk bisa mencalonkan kandidat calon kepala daerah dan memastikan usia minimal bagi calon kandidat dihitung pada saat penetapan calon, bukan pelantikan.
Akibat dari putusan itu, partai-partai politik yang sebelumnya tidak bisa mengusung calon sendiri karena terhalang threshold, kini bisa melakukannya dengan lebih leluasa. Misalnya PDIP di Jakarta yang kehabisan kawan koalisi karena semua partai politik lain masuk dalam Koalisi Indonesia Maju Plus mengusung Ridwan Kamil-Suswono, dengan putusan MK bisa mengusung kandidatnya sendiri.
Lainnya, bakal calon kandidat kepala daerah yang pada 27-29 Agustus 2024 belum berusia cukup (25 tahun untuk bupati/wali kota dan 30 tahun untuk gubernur), maka dipastikan tidak bisa ikut berkontestasi. Dalam hal ini Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi menjadi orang yang terdampak.
Putusan-putusan MK itu nampaknya tidak disetujui oleh Baleg DPR, sehingga keesokan harinya, 21 Agustus 2024 Baleg DPR langsung menggelar rapat dan memutuskan tidak menerima keputusan MK. Mereka lebih memilih untuk mengimplementasikan keputusan MA sebelumnya, di mana ambang batas partai politik untuk mengajukan calon adalah menguasai 20 persen kursi DPRD dan usia calon dihitung pada saat pelantikan.
Praktisi Pemilu Titi Anggraini menilai Baleg DPR secara terang-terangan tidak mengindahkan putusan MK, disinyalir karena ada kepentingan partisan yang sangat kuat dan dominan.
Ia mempertanyakan, jika ingin menganulir putusan MK, mengapa tidak semua putusannya ditolak. Mengapa hanya hal-hal tertentu saja yang dikritisi. Misalnya dicabutnya larangan kampanye di perguruan tinggi yang tidak dibicarakan sama sekali dalam rapat.
“Memang orientasinya jelas ada kepentingan yang terganggu dan itu kepentingan mayoritas dari partai-partai yang ada di Parlemen. Sehingga putusan yang mestinya kalau memang serius untuk mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi kan diambil semua, tapi kemudian dua putusan ini (batas suara dan batas usia) tidak diakomodir. Itu kan kemudian menandakan bahwa intensi untuk tidak melaksanakan putusan MK sangat terlihat,” jelas Titi.
Sebagaiman diketahui, keputusan MK adalah bersifal final dan mengikat. Artinya begitu dibacakan maka keputusan sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.
Namun, dalam konteks ini Baleg DPR RI justru bisa tidak menerimanya dan lebih memilih mengimplementasikan putusan MA.
“Ya itulah, jadi kenapa pembangkangan konstitusi, karena harusnya putusan MK itu begitu dia dibacakan dan tidak ada ketentuan lain dalam putusan itu sendiri maka dia langsung berlaku, tidak boleh ditafsirkan secara berbeda, apalagi diputarbalikkan,” kata Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti.
Menurutnya adalah hal hang tidak wajar ketika DPR menjadikan putusan MA dan MK sebagai opsi. Karena konteksnya dua putusan itu berbeda tataran, tidak bisa dihadap-hadapkan.
Sementara itu, Said Iqbal Assegaf Presiden Partai Buruh melihat apa yang dilakukan Baleg merupakan bentuk ketakutan terhadap adanya pesaing-pesaing kompetitif di luar kandidat calon yang sudah mereka usung di berbagai daerah, terutama Jakarta.
“Takut baleg itu, ngapain dia ngurus-ngurusin tafsir terhadap keputusan MK, kalau emang berani udah ikutin aja kepusan MK, nanti yang memilih rakyat. Ketakutan kalah,” ujar Said.
Ia menilai partai-partai politik yang bersekongkol di DPR ini takut jika Anies Baswedan berhasil mendapat tiket di Pilgub Jakarta. Hal ini membuat mereka melakukan berbagai cara untuk menjegalnya.
“Kalau memang kamu berani para partai politik yang merasa besar itu, yang merasa menguasai negeri ini bisa diatur dengan kekuatan mereka dan kekuatan uang, kenapa takut, ayo mari kita bertarung,” tantang Said.
Said mengatakan, jika DPR berani melawan konstitusi artinya DPR berani berhadapan dengan rakyat.
“Kita akan demo terus setiap hari sampai kekuatan itu menjadi besar. Baru mereka sadar bahwa mereka enggak ada apa-apanya,” kata dia.
Sebagai salah satu partai yang ada di Parlemen dan menjadi bagian dari KIM Plus, Partai Gerindra mengaku mengapresiasi gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap MK juga keputusan MK terkait gugatan tersebut.
“Kita sangat apresiatif sebenarnya terkait dengan masalah permintaan dan permohonan daripada Partai Buruh dan Gelora. Gayung bersambut, artinya apa yang diminta sudah dikabulkan,” sebut Ketua DPP Gerindra Hendarsam Marantoko.
Dampak mengangkangi konstitusi
MK adalah lembaga negara yang bertugas untuk menjaga ideologi dan memastikan seluruh perundang-undangan berjalan satu napas dengan konstitusi. Lantas, jika apa yang dilahirkan MK tidak ditaati, apa saja dampak yang bisa terjadi?
Titi Anggraini menyebut pembangkangan DPR terhadap MK bisa memicu terjadinya efek yang buruk, yakni pembangkangan publik atau perlawanan massa. Publik memiliki kekuatan besar untuk berontak dan menunjukkan ketidakpuasannya terhadap keputusan para elite pemerintahan atau DPR.
Dan terkait dengan revisi UU Pilkada yang direncanakan oleh DPR sebagai bentuk pembangkangan terhadap MK, menurut Titi itu bisa berujung pada gerakan publik untuk memboikot Pilkada Serentak 2024.
“Ketika masyarakat melihat betapa disparitas hukum begitu luar biasa, apa yang menjadi kehendak konstitusi, apa yang menjadi kehendak publik, pertama pasti akan ada gerakan yang tidak percaya pada konstitusionalitas dan legitimasi Pilkada serentak 2024. Kalau ini terus terbiarkan ada gerakan-gerakan yang akan melakukan boikot terhadap Pilkada Serentak 2024 dan itu buruk sekali,” jelas Titi.
Dan dampak terburuk yang bisa terjadi menurut Titi adalah ketika masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan hukum, mereka akan mengabaikan proses ketatanegaraan yang akan membawa kita pada kekacauan yang sedemikian hebat.
Melanjutkan Titi, Bivitri Susanti juga menyebut jika hal semacam ini terus dibiarkan, jika keputusan MK tidak dihormati, maka Indonesia bisa mengalami krisis konstitusional.
“Bisa terjadi krisis konstitusional menurut saya. Ini krisis konstitusi loh, karena ini kita serba mentok ya. Saya sendiri sebagai orang hukum itu merasa kesulitan, karena semua yang dibolak-balik yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan adalah produk hukum, persis seperti yang sekarang ini tengah dilakukan,” kata Bibip.
Menurutnya, jika ada pihak yang tidak setuju dengan produk keluaran MK, maka itu hal yang sah saja dan disediakan jalur untuk menyampaikan ketidaksetujuannya, yakni dengan cara menyampaikan kritik secara akademik dan mengajukan gugatan ulang untuk MK melakukan koreksi secara mandiri. Jadi bukan lembaga legistatif yang mengoreksinya.
Dan satu hal yang menurutnya tindakan DPR yang paling membuat rakyat merasa sakit hati, yakni melakukan segala hal secara suka hati dan menganggap rakyat bisa dikelabui, bisa dibodohi.
“Kami itu dianggap seperti bodoh semua, seenak-enaknya diputar-putar dan akal sehat kita diputarbalikkan. Misalnya pendaftaran calon. Jelas-jelas pendaftaran calon, kenapa ini jadi pelantikan. Itu kan logika dasar, gak usah belajar hukum 4 tahun sudah tahu itu salah. Tapi kan malah ‘Oh putusan MA saja deh jangan putusan MK’, itu kan seperti menganggap kita semua warga ini bodoh-bodoh. Itu yang bikin sakit hati dan bikin banyak orang yang marah,” ujar dia.
Kemarahan ini menurutnya sudah sampai ke kelompok masyarakat bawah, tidak hanya menjadi perbincangan para akademisi, atau obrolan di media massa saja. Masyarakat sudah bisa merasakan ada sesuatu yang salah dengan penyelenggaraan negara sekarang.
Melengkapi pandangan Titi dan Bibip, Maruarar Siahaan menyebut krisis kosntitusi itu akan terjadi ketika para pejabat negara yang melanggar sumpah jabatannya tidak mendapat sanksi. Padahal seseorang yang ada di posisi sebagai saksi perkara hukum saja diancam penjara sekian tahun jika terbukti melanggar sumpahnya.
“Itulah yang kita katakan akan muncul nanti krisis konstitusi. Siapa yang menghukum mereka yang melanggar sumpah jabatan, itu menjadi persoalan besar di dalam sistem kenegaraan kita,” sebut Maruarar.
Karena keputusan MK 60 dan 70 tidak dilaksanakan oleh DPR, Partai Buruh sebagai salah satu pihak yang mengajukan gugatan tersebut ke MK mengaku akan menggelar aksi demo hingga DPR bisa melaksanakan keputusan MK. Demonstrasi adalah aksi yang diperbolehkan oleh konstitusi, untuk rakyat bisa menyampaikan aspirasinya.
MK adalah jalan yang disediakan untuk rakyat bisa menguji apakah undang-undang yang diberlakukan benar atau salah. Jadi sudah selayaknya DPR tidak menerapkan standar ganda dalam menilai putusan MK. Putusan 90 setuju, sekarang tidak.
“Enggak ada yang salah kok, kamu tetap boleh maju dengan pilihanmu, kamu boleh koalisi. Tapi kata MK, di sini juga boleh dong. Misal calon kami Hanok enggak punya uang, gara-gara enggak punya uang dia enggak bisa cari partner partai koalisi, padahal orang yang baik, kepala suku di Paniai sana, misal yang di Membramo. Mereka sekarang bisa maju sendiri, Partai Buruh bisa memajukan,” ungkap Said.
“Kalau memang itu ruangnya sama memilih dan dipilih, kesetaraan, diberi kesempatan yang sama, Kenapa mesti takut? Kenapa kamu panik? Buat sebuah aturan yang sangat begitu cepat sim salabim seolah-olah menggunakan semua kekuatan daya, ada apa sih?” lanjut Said yang heran dengan DPR.
Dialog lengkap kelima narasumber dalam Satu Meja The Forum Kompas TV (21/8/2024) dapat disaksikan melalui video berikut ini:
Leave a Reply