DPR Respons Berbeda Putusan-Putusan MK, Bukankah Final dan Mengikat?

“Konstitusi mengatakan putusan MK itu final dan mengikat. Final artinya tidak ada lagi upaya hukum lain yang bisa mengubahnya. Satjipto Rahardjo pernah mengatakan bahwa putusan hakim konstitusi ibarat idu geni atau ludah api. Kita bisa saja tidak suka dengan putusan MK, tapi konstitusi memerintahkan kita harus taat dan menghormatinya. Jika konstitusi dikangkang, bayangan runtuhnya negara hukum sudah di depan mata,”

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI baru saja membuat keputusan yang menuai kontroversi publik secara luas. Putusan itu adalah Baleg tidak mau menaati Putusan Mahkamah Konstitusi No 60 dan 70 yang dibacakan 20 Agustus 2024. DPR langsung mengadakan rapat dan merembugnya dalam waktu yang begitu singkat, kurang lebih hanya 24 jam setelah MK memutuskan untuk mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh Partai Buruh bersama Partai Gelora Mei lalu.

Sebelumnya, MK memutuskan untuk menurunkan ambang batas suara partai politik untuk bisa mencalonkan kandidat kepala daerah berdasarkan jumlah DPT di wilayah pemilihannya. Selain itu, MK juga memutuskan syarat usia minimal untuk maju di Pilkada baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dihitung pada saat pendaftaran calon, bukan saat pelantikan.

Meski berlaku secara nasional, namun dampak yang paling disorot dari putusan MK adalah Anies Baswedan bisa maju di Pilgub Jakarta dengan diusung PDI Perjuangan atau partai lainnya, karena jumlah kursi yang disyaratkan tak setinggi sebelumnya untuk bisa mengusung calon. Dampak kedua adalah bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep tak lagi punya kesempatan untuk maju berkontestasi di Pilgub Jawa Tengah sebagaimana telah direncanakan akan berdampingan dengan Ahmad Luthfi, karena belum memenuhi syarat usia minimal.

Namun, karena DPR menolak mengimplementasikan putusan MK tersebut ke dalam undang-undang, maka belum diketahui dengan pasti aturan mana yang akan dijadikan pedoman pelaksanaan Pilkada Serentak yang proses pendaftarannya akan segera dibuka dalam hitungan hari ini.

Sejumlah narasumber hadir di program Satu Meja The Forum Kompas TV dan membahas soal kemelut putusan MK yang tidak disetujui oleh Baleg DPR.

Salah satu hal yang menarik diulas adalah soal Partai Gelora yang turut menjadi pengusul uji materi di MK. Diketahui partai yang diketuai Fahri Hamzah ini merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Maju yang notabene satu kubu dengan Prabowo juga Jokowi. Mengapa bisa Partai Gelora mengajukan sesuatu yang dinilai hanya menyulitkan gerak koalisinya untuk memenangkan Pilkada?

Mewakili pihak pengusul, Said Iqbal Assegaf Presiden Partai Buruh menjelaskan ketika itu mengajukan gugatan bersama Partai Gelora karena menilai demokrasi di Indonesia tengah dibajak oleh kekuatan besar partai-partai politik yang berkoalisi.

“Dibajak oleh partai-partai politik yang merasa punya kursi, dengan berdalih ada ambang batas yang tinggi. Terus buat apa kalau begitu partai politik ikut kontestasi tapi enggak bisa mengajukan orang-orang yang dipilih dari kader partainya, atau ada orang baik yang kita menginginkan, atau setidak-tidaknya dari survei dia mempunyai nilai yang tinggi dari masyarakat di daerah itu untuk maju. Ini kan dibajak,” ungkap Said.

Alasan lain, Partai Buruh merasa ada yang tidak adil jika calon perseorangan bisa maju di pilkada dengan mengumpulkan dukungan sejumlah tertentu, sementara partai politik yang jelas-jelas ikut di pemilihan legislatif justru dipersulit dengan syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara sah.

Mengajukan gugatan ke MK dianggap sebagai satu-satunya jalur konstitusional yang bisa mereka tempuh. Namun, ia menampik keras jika gugatan disebut diajukan demi Anies Baswedan atau tokoh perseorangan lainnya.

“Jadi dasarnya adalah bukan tentang Anies, tentang siapa, dasarnya tentang demokrasi yang dibajak, demokrasi yang tidak berkeadilan, demokrasi yang tidak berpihak kepada sekelompok mayoritas,” ujar Said.

Di sisi lain, KIM menyebut keterlibatan Gelora mengajukan gugatan ke MK sudah atas dasar kesepakatan koalisi. Karena pada saat itu KIM melihat ada kepentingan dan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan.

“Kita harus dudukkan dulu esensinya gugatan ini diajukan untuk kepentingan pilkada para kader-kader. Dan suara-suara dari Partai Buruh dan Partai Gelora yang nonparlemen ini supaya bisa diakomodir,” sebut Hendarsam Marantoko Ketua DPP Partai Gerindra.

Ia juga mengatakan, apa yang diputuskan oleh Baleg pada 21 Agustus kemarin adalah bentuk mengakomodasi putusan MK. Namun, di sisi lain DPR merupakan lembaga pembentuk undang-undang atau positif legislator sehingga ingin haknya tidak tercerabut. MK dengan putusan 60 dan 70 dinilai Hendarsam telah melebihi batas.

“Ada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang memang harus (dipertahankan). Marwah DPR itu harus diterapkan sebagai positif legislator. Bahwa Baleg menyatakan DPR kami ini adalah pembentuk undang-undangnya loh, jadi Anda itu sudah ultra petita. Anda itu sudah melampaui kewenangan Anda, kami ingin ini jangan sampai terjadi pembegalan,” jelas Hendarsam.

BDM bersama para narasumber: Maruarar Siahaan, Bivitri Susanti, Titi Anggraini, Said Iqbal Assegaf, dan Hendarsam Marantoko.

MK Menunggangi Keputusan?

Hendarsam menyebut MK turut menunggangi keputusan yang dilahirkannya sendiri. Menurutnya, MK melakukan sesuatu yang melebihi kapasitasnya sebagai penjaga konstitusi. MK melakukan ultra petita, atau memutuskan sesuatu melebihi apa yang diminta oleh pemohon.

“Permohonan yang diajukan oleh Partai Gelora dan Partai Buruh ingin membatalkan Pasal 40 Undang-Undang Pilkada, sebatas itu. Tapi ternyata tidak, MK melakukan suatu hal yang sifatnya ultra petita melampaui apa yang diminta, nyenggol ke masalah partai-partai yang ada di parlemen, dua ambang batas 20 persen dan 25 persen di grade sampai dengan 7 persen,” ujar Hendarsam.

Selanjutnya, ia menilai MK mengeluarkan keputusan ini di waktu-waktu terakhir atau injury time jelang tanggal pendaftaran calon. Terakhir, MK ingin membatasi agar tidak terjadi calon tunggal di pilkada-pilkada. Hendarsam menganggap ini sudah di luar kewenangan MK untuk mengurus calon tunggal di pilkada.

“Masalahnya apa urusan MK untuk mencampuri proses demokrasi calon tunggal dan tidak calon tunggal? Karena undang-undang itu sudah jelas bahwa mau ada kotak kosong atau tidak di pemilu-pemilu (tidak masalah). Sebelumnya sudah ada kok, boleh juga, dan selama ini diam-diam saja tidak ada masalah,” kata dia.

Praktisi Pemilu Titi Anggraini langsung menyampaikan fakta terkait MK melakukan ultra petita. Menurutnya, hal itu adah sesuatu yang sering dilakukan MK dan tidak ada yang salah.

“Kami sering mendapati putusan seperti itu, karena di setiap kita menulis petitum ada pernyataan ‘jika Mahkamah memutuskan lain mohon putusan yang seadil-adilnya. Ex aequo et bono‘,” jelas Titi.

Selain itu, partai di parlemen juga pernah merasakan putusan yang ultra petita dan mereka mengimpletasikannya dalam undang-undang dengan senang hati. Ia mencontohkan  soal syarat usia pencapresan, kemudian soal verifikasi partai politik.

“Jadi jangan tebang pilih lah kalau ingin berkonstitusi konsisten saja,” ujar Titi.

Menanggapi pendapat yang menyebut MK menunggangi gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora, Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti justru melihat MK tidak memiliki motif untuk melakukan hal yang dituduhkan itu. Misalnya tidak ada hakim MK yang berkepentingan untuk maju di Pilkada nanti.

“Kalau pertanyaannya apa urusannya MK, MK itu tugas konstitusionalnya menurut Undang-Undang Dasar 1945 memang meluruskan apa yang seharusnya diatur dalam undang-undang agar sesuai dengan konstitusi. Konstitusi kita mengandung gagasan demokrasi, mengandung gagasan negara hukum, jadi jelas menurut saya itu urusan MK untuk membuat demokrasi kita sehat,” jelas Bivitri atau akrab disapa Bibip.

Terkait kotak kosong di pilkada-pilkada kita, Bibip menegaskan itu tidak terjadi begitu saja, melainkan hasil kesepakatan partai-partai besar, dibuatkan ambang batas pencalonan yang demikian tinggi sehingga sulit orang-orang untuk ikut berkompetisi.

“Buat saya MK itu the guardian of the constitution, bukan sekedar memperbaiki norma-norma, tapi dasarnya itu harus jelas. Dan buat saya kepentingannya juga sangat bisa dijustifikasi,” ujar Bibip.

Menyambung penjelasan Bibip, Maruarar Siahaan yang merupakan Hakim MK 2003-2008 juga menyebut anggapan MK menunggangi gugatan adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

“Agaknya tak lumrah MK menunggangi siapa-siapa, di seluruh dunia mengakui bahwa MK itu dibentuk untuk mengawal konstitusi. Konstitusi itu menjadi sumber daripada keabsahan seluruh kebijakan maupun peraturan legislasi, sehingga kalau misalnya ada suatu peraturan perundang-undangan atau undang-undang yang bertentangan itu tentu menjadi tugas dia untuk mengawasi dengan meluruskan sesuai dengan ukuran konstitusi,” jelas Maruara.

Ia menceritakan, dibentuknya MK pada awal-awal masa reformasi adalah untuk menjalankan fungsi check and balances. Lembaga yudikatif itu diberi tugas untuk mengecek setiap gugatan atau aduan yang datang dari rakyat terkait dengan adanya undang-undang yang dinilai bertentangan sengan UUD 1945.

MK juga bertugas untuk mengingatkan setiap lembaga negara agar dalam mencapai kepentingan-kepentingannya tetap harus dikawal oleh konstitusi.

Putusan MK No 90 vs Putusan MK No 60 dan 70

Kita tentu belum lupa dengan putusan MK No 90, ketika itu MK mengabulkan permohonan menurunkan batas usia minimal untuk bisa maju di kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Ketika putusan itu dibacakan, tidak ada perlawanan berarti dari pemerintah maupun DPR. Gibran Rakabuming Raka pun berhasil melaju dan terpilih menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo.

Berbeda dengan Putusan MK 90, Putusan MK No 60 dan 70 yang dibacakan 20 Agustus kemarin justru langsung direspons negatif oleh Baleg DPR. Mereka langsung mengadakan rapat sehari setelah MK bacakan putusan dan di hari yang sama mereka menyepakati bahwa Baleg DPR tidak menyetujui keputusan terbaru MK soal Pilkada dan lebih memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA).

Atas dasar itu, banyak pihak menilai DPR hanya menyetujui putusan yang dinilai menguntungkan bagi kelompok mereka, sementara putusan yang merugikan langsung dianulir begitu saja.

Hendarsam mengungkap, putusan MK No 60 mendapatkan disenting opinion dari 1 hakim MK, yakni Guntur Hamzah. Hakim Guntur menggarisbawahi putusan tidak boleh dibacakan mendekati perhelatan suatu agenda politik yang akan terdampak langsung dari keputusan yang dibacakan.

Meski mirip-mirip dengan Keputusan MK No 90 yang dibacakan beberapa hari jelang pendafraran capres cawapres, Hendarsam menyebut kali ini tidak sama.

“Beda, konteksnya ini sudah masuk ke tahapan. Beda dong, karena kalau itu yang saya sebut tadi motif, motifnya tadi itu apa,” ujar Hendarsam.

Titi Anggraini justru menilai apa yang terjadi pada putusan 90 lebih parah daripada apa yang terjadi pada putusan 60 dan 70.

Ia menjelaskan, pada putusan 90 ada 3 hakim yang menyatakan disenting opinion dan keputusan dibacakan 3 hari sebelum pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Sementara putusan 60 hanya ada 1 hakim disenting, selain itu keputusan dibacakan masih dalam jarak waktu yang cukup yakni 9 hari sebelum pendaftaran calon kepala daerah ditutup.

“Kalau dulu kita bersuka cita dengan putusan 90, kenapa kita tidak bersukacita juga dengan putusan 70 dan 60. Pertama, putusan 60 itu memberikan spektrum keuntungan bagi semua partai politik. Jangan lupa ini pilkada serentak 37 Pilgub dan 508 Pilkada kabupaten/kota, masing-masing partai politik di wilayah-wilayah itu bisa mengambil manfaat. Dan untuk putusan 70 justru dia menegaskan konstitusionalitas norma dengan tetap menghormati Mahkamah Agung dengan menempatkan norma itu dalam konteks norma undang-undang terhadap undang-undang dasar,” jelas Titik.

Selain itu, ia juga heran mengapa Baleg DPR seolah-olah memliki opsi dan bisa memilih antara putusan MA dan putusan MK terkait syarat pilkada ini. Padahal, keduanya tidak bisa dijadikan opsi dan dihadap-hadapkan karena bekerja untuk konteks yang berbeda.

Bivitri Susanti menjelaskan MK menguji undang-undang terhadap konstitusi, sementara MA menguji peraturan di bawah UU terhadap konstitusi.

“Bukan berarti MK dan MA bertingkat, mana yang lebih tinggi, tidak ada. Tapi karena objeknya adalah undang-undang, tidak ada pilihan bagi DPR untuk tidak mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi. Jadi enggak bisa bas bis bus pisang rebus saya pilih MA saja. Itulah yang namanya inkonstitusional sebenarnya,” jelas Bibip.

“Jadi sangat bisa kita soroti bahwa ternyata anggota DPR tidak paham apa itu dan bagaimana menjalankan konstitusi sebagai legislator,” imbuhnya.

Lagi pula, putusan MK tidak perlu ditindaklanjuti dengan perubahan undang-undang sebagaimana Putusan No 90. Bahkan hingga orang yang diuntungkan atas keputusan itu telah terpilih menjadi wakil presiden, tidak ada perubahan dilakukan terhadap UU Pemilu.

Jadi ketika kali ini Baleg DPR begitu responsif menyikapi Putusan 60 dan 70 Bibip melihatnya sebagai sesuatu yang aneh.

“Baleg tiba-tiba menjadi begitu responsif dalam 24 jam langsung keluar RUU-nya, itu aneh. Bandingkan saja RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah 10 tahun ditahan, Undang-Undang Masyarakat Adat juga berbelas-belas tahun, ini 24 jam langsung keluar,” ungkap Bivitri heran.

Meneruskan Bivitri, Titi menyebut kali ini DPR bukan sekadar melakukan pembangkangan terhadap konstitusi, lebih jauh, DPR sudah melakukan pembegalan konstitusi.

Said Iqbal dari Partai Buruh berpendapat putusan MK adalah sesuatu yang harus diterima, suka atau tidak suka terhadap hasil putusannya. Jangan hanya diterima jika menguntungkan, kemudian ditolak jika merugikan.

“Ketika tentang usia batas wapres kan akhirnya kita menerima, karena itu keputusan MK. Kenapa giliran sekarang MK mengatakan ini kita tidak menerima. Itulah jiwa penakut, jiwa pengecut kayak begitu,” kata Said.

Atas tanggapan dan diskusi yang telah berlangsung sebelumnya, Maruarar Siahaan menarik kesimpulan bahwa kita semua harus tunduk terhadap konstitusi sebagai supreme law of the land tertinggi.

Jika tidak, maka akan menjadi pertanyaan siapa sesungguhnya yang menjadi pemimpin tertinggi di negara ini, karna seharusnya konstitusi itu lah yang menjadi pedoman tertinggi di sebuah negara hukum, bahkan seorang Presiden pun harus tunduk di bawahnya.

Dialog utuh terkait pembahasan keputusan MK yang dianulir DPR dapat disimak melalui tayangan Satu Meja The Forum dalam video berikut ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *