Budiman Tanuredjo
“Pertarungan dengan kotak kosong harus dihindarkan. Namun, juga bukan dengan calon boneka bernama calon perseorangan,”
Pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh bagi saya menarik. Surya mengatakan Anies Baswedan perlu belajar sekolah kehidupan, bukan hanya sekadar text book. Hal itu disampaikan Surya untuk memberi pesan bahwa Partai Nasdem batal mendukung Anies Baswedan sebagai calon Gubernur Jakarta 2024-2029.
Koalisi Perubahan yang terdiri dari PKS, PKB, dan Nasdem mengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar di pemilu presiden 2024. Ketiga partai itu mendapatkan efek elektoral dengan meningkatnya suara mereka di pemilu legislatif dibandingkan Pemilu 2019. Pada awalnya, PKS, Nasdem, dan PKB ingin tetap mengusung Anies di Pilkada Jakarta. Namun, setahap demi setahap, PKS, Nasdem balik haluan. Tinggal PKB yang masih menggantung dan mungkin menunggu Muktamar bulan Agustus ini.
Melihat konfigurasi politik terakhir, tinggal PDIP yang belum menentukan pilihan. Namun, PDIP tidak bisa sendirian mengusung pasangan calon. Sinyal PKB bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju Plus juga kian besar. Butuh keberanian politik luar biasa dari Muhaimin Iskandar untuk berkoalisi dengan PDIP untuk mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta. Bisa Anies Baswedan-Ahok yang punya peluang besar seandainya dicalonkan atau Anies-Rano Karno yang mulai dijajakan.
Boleh jadi inilah sekolah kehidupan politik yang disebut Surya Paloh. Unggul di survei baik popularitas maupun elektabilitas, belum tentu disepakati oleh elite partai politik. Bahkan, terasa ada “kesepakatan” elite untuk mengalienasi Anies. Survei terbaru SMRC yang dirilis 18 Agustus 2024 menunjukkan, “Jika pemilu dilangsungkan hari ini, head to head, Anies Baswedan – Ridwan Kamil menunjukkan Anies (42,8 %), Ridwan Kamil (34,9 %) dan tidak tahu/tidak jawab (22,3%). Sedang jika Anies head to head dengan Ahok menunjukkan, Anies (37,8%), Ahok (34,3%) dan TT/TJ (28 %). Sementara jika melawan Kaesang Pangarep, Anies mendapat (46,5 %) dan Kaesang (15 %) dan TT/TJ (38,5%).
Anies bisa dianggap sebagai ancaman untuk Pemilu Presiden 2029. Namun, jika memang kemudian Anies yang popular “disingkirkan” – meski secara formal sah, dari sisi perasaan publik bisa dirasakan sebagai sebuah kejahatan demokrasi. Panggung 2029 memang akan ramai. Ada Prabowo Subianto, ada Gibran Rakabuming Raka, ada Agus Harimurti Yudhoyono. Ada pula Ridwan Kamil yang berpeluang untuk maju sebagai pesaing di pemilu 2029. Tetap ada pula Anies Baswedan kendati ia berkiprah di luar pemerintahan, membersamai masyarakat sipil yang kian kesepian.
Sekolah kehidupan politik Indonesia kontemporer adalah transaksi dan pragmatisme. “Tidak ada lawan dan kawan abadi selain kepentingan itu sendiri.” Sejauh kepentingan pragmatis kekuasaan terjadi, tidak akan ada kesetiaan dalam politik. Politik Indonesia belum beranjak dari apa yang dikatakan Harold Laswell, “siapa mendapat, apa, kapan dan bagaimana mendapatkannya.” Jika logika itu diteruskan, partai politik tidak ubahnya sebagai perusahaan pengerah politisi untuk ditempatkan di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, komisi negara atau komisaris BUMN. Mungkin inilah yang disebut “managed democracy” atau demokrasi terkelola oleh elite politik.
Jika pada akhirnya, Anies memang gagal berlayar, maka Ridwan Kamil-Suswono akan berhadapan dengan kotak kosong atau berhadapan dengan calon perseorangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana. Bertarung dengan kotak kosong di Jakarta – yang sedang menjadi magnet karena proses transisi pemindahan Ibu Kota – tentunya mempertontonkan wajah demokrasi yang akal-akalan. Demokrasi tentunya membutuhkan pertukaran gagasan antar kontestan. Demokrasi akal-akalan dengan mempersandingkan dengan kotak kosong bisa berbahaya. Pemilih yang kecewa bisa saja memenangkan kotak kosong sebagaimana pernah terjadi di Makassar. Kemenangan kotak kosong bisa saja menjadi ekspresi atau protes konstitusional publik atas praktik demokrasi akal-akalan.
Kontestasi pilkada di Jakarta dengan kotak kosong adalah wajah buruk demokrasi era awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Pertarungan dengan kotak kosong harus dihindarkan. Namun, juga bukan dengan calon boneka bernama calon perseorangan.
Kemunculan Dharma Pongrekun-Kun Wardana Abyoto bisa saja menyelamatkan wajah demokrasi Jakarta. Pasangan ini dinyatakan lolos verifikasi faktual oleh KPU Jakarta. Sayangnya, usai namanya dinyatakan lolos, banyak protes karena pencatutan NIK dan KTP sebagai calon pendukung pasangan calon perseorangan. Dharma adalah pensiunan Polri berpangkat komisaris jenderal. Jabatan terakhirnya adalah Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Anies bahkan dalam akun X menyebut kedua anaknya dicatut sebagai pendukung calon perseorangan.
Berapa banyak KTP dan NIK yang dicatut, belum ada data yang pasti. KPUD dan Bawaslu Jakarta harus serius memeriksa dan bukan asal-asalan dalam menetapkan pasangan calon perseorangan. Ini soal kredibllitas KPU dan KPU Daerah serta Bawaslu. Perlu ada sensus bukan sekadar sampling untuk memastikan kevalidan dukungan calon. Jika memang banyak ketidakvalidan dukungan, ya harus digugurkan.
Pertarungan Pilkada Jakarta, Ridwan Kamil melawan calon perseorangan, pernah terjadi di pemilihan wali kota Solo tahun 2020. Saat itu bersaing putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakoso melawan calon perseorangan, Bagyo Wahyono – FX Supardjo.
Dan, Gibran menang besar.
Sekolah kehidupan politik kontemporer memunculkan pertanyaan besar kepada bangsa ini, apakah masih perlu ambang batas pencalonan kepada daerah kalau kedaulatan partai sudah tersandera. Jika gejala “membeli” partai dinormalisasi, bukankah itu sama dan sebangun dengan membeli Jakarta atau membeli Indonesia. Itulah kemenangan kapital dalam politik Indonesia. Itu bisa mengarah pada totalitarianisme baru. Semua cabang kekuasaan, eksekutif, legislatif, yudikatif, ditambah media berada dalam satu genggaman tangan.
Revolusi mental memang telah digaungkan. Namun, tingkat kerusakan terhadap berbagai lini kehidupan kian nyata. Politik bergerak tanpa panduan nilai. Itulah salah satu dosa sosial yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi. Gandhi pernah menyebut tujuh dosa sosial yakni Politik tanpa prinsip, bisnis tanpa moralitas, pengetahuan tanpa karakter, kaya tanpa kerja, kenikmatan tanpa hati nurani, dan ibadah tanpa pengorbanan diri. Kemunaikan bisa saja ditambahkan sebagai dosa sosial baru. Kemunafikan bisa diartikan sebagai beda lisan dan perbuatan. Karena itulah sangat wajar jika tingkat kepercayaan publik pada partai politik tergolong rendah. Itulah yang diingatkan Charles de Gaulle, pimpinan militer di Perancis. Charles mengatakan, “Politisi tidak pernah percaya pada omongannya sendiri. Mereka justru terkejut jika rakyat mempercayainya.”
Terus…
Leave a Reply