Kotak Kosong, Koalisi “Borong Partai”, dan Nasib Demokrasi

“…kalau tidak bisa tiga figur, ya dua figur. Jadi rakyat itu ada pilihan sesama manusia. Bukannya satu orang, yang satu glugu (kayu pohon kelapa). Meskipun boleh, itu tidak memberi contoh yang baik untuk demokrasi,”

Diusungnya Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jakarta oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) menimbulkan beragam spekulasi, terutama terkait mantan Gubernur Jawa Barat itu yang disebut bisa menjadi calon tunggal di Pilgub Jakarta pasca KIM terus melobi partai politik di luar koalisi, seperti PKS dan PKB untuk turut bergabung ke dalam kapal mereka. Nama baru pun disediakan jika koalisi pengusung Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024 ini mendapat dukungan tambahan, yakni KIM Plus.

Kemunculan calon tunggal dalam sebuah pemilihan umum akan dibarengi dengan keberadaan kotak kosong sebagai tandingannya. Jadi, masyarakat pemilih hanya memiliki satu pilihan calon pemimpin, jika tidak menghendakinya, maka disediakan kotak kosong untuk dipilih dan menampung suara mereka. Dengan demikian, si calon tunggal tidak serta-merta bisa memenangkan pemilihan, bahkan pernah terjadi calon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong, yakni pada Pilwalkot Makasssar 2018.

Makna Kotak Kosong bagi demokrasi

Pengamat politik Ahmad Khoirul Umam dalam Satu Meja The Forum Kompas TV (7/8/2024) menyampaikan bahwa keberadaan kotak kosong adalah sah di negeri demokrasi ini, karena didasarkan pada aturan yang legal. Meskipun sah, fenomena kotak kosong tersebut merupakan sesuatu yang buruk bagi makna demokrasi itu sendiri.

“Bung Hatta itu pernah menulis bahwa praktik berdemokrasi kalau misal dilakukan sedemikian rupa justru bisa membunuh demokrasi itu sendiri. Dalam konteks fenomena kotak kosong, meskipun demokratis tetapi dalam konteks tantangan demokrasi itu berpotensi memberangus prinsip-prinsip dasar demokrasi, tidak memberikan ruang yang setara bagi masyarakat untuk memilih, dan sebagainya,” kata Umam.

Tren kotak kosong di pilkada Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Umam menyebut di tahun 2005 hanya ada 3 pilkada dengan kotak kosong, kemudian naik hinggal menjadi 23 pilkada.

“Trennya semakin kuat, mulai dari 3 di 2015 naik menjadi 7, 9 kemudian 15, 23 total 53 yang sudah ada dalam fenomena kotak kosong di Pilkada kita, dan tren kemenangannya sangat luar biasa,” ujar Umam.

Jika benar di Pilgub Jakarta nanti hanya ada 1 calon tunggal dan kotak kosong, hal ini disebut menyedihkan oleh politisi Nasdem Effendy Choirie.

“Meskipun itu boleh, tapi sedih sekali. Sedih ini kita alamatkan kepada sebagian pimpinan partai, rakyat sedih, bisa juga rakyat marah. Aduh pimpinan partai kok ya… ngono yo ngono tapi ojo koyo ngono, kira-kira gitu ya. Kotak kosong ini kan kotak enggak punya nyawa, enggak bisa mimpin, masa kita disuruh milih pemimpin tapi pilihannya itu hanya satu, yang satu benda mati. Ini sedih sekali. Oleh karena itu, masih ada waktu, kita berharap tampilkanlah pemimpin yang terbaik, putra-putri yang terbaik untuk di Jakarta,” ungkap Effendy Choirie atau Gus Coy.

Bahaya Koalisi “Borong Partai”

KIM saat ini terdiri dari 10 partai politik, 4 di antaranya merupakan partai yang lolos ke Senayan, yakni Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat. Koalisi ini terbilang koalisi besar, pasalnya 4 dari 8 parpol yang ada di DPR ada di dalamnya.

4 partai yang lain adalah PKB, PKS, Nasdem, dan PDI Perjuangan yang terbagi dalam dua kubu berbeda. PKB, Nasdem, dan PKS dalam Pilpres 2024 bersatu menjadi Koalisi Perubahan mengusung Anies-Muhaimin, sementara PDI Perjuangan mengusung Ganjar-Mahfud.

Dengan komposisi besar itu, KIM rupanya masih membuka pintu untuk partai-partai lain ikut bergabung dan memperbesar kekuatan. Menanggapi hal ini, Gus Coy menyebut agenda merekrut semua parpol dalam satu koalisi sebagai sesuatu yang sah secara hukum, tapi tidak pantas secara budaya.

“Jadi ada unsur boleh, ada unsur kepantasan. Ada unsur boleh, ada unsur keelokan. Jadi di unsur boleh menurut undang-undangnya, menurut demokrasinya. Tapi ada unsur budayanya, dipek kabeh itu enggak pantes,” kata politisi Nasdem itu.

Ia menjelaskan fungsi partai politik salah satunya adalah untuk agregasi kepentingan rakyat, sementara tidak semua kepentingan rakyat terwakili dalam satu koalisi yang sama. Sehingga ia berharap ada partai politik yang bisa membangun poros berbeda. Tidak semuanya diajak bergabung dalam koalisi yang satu.

Politisi PDI Perjuangan Eriko Sutarduga mengamini apa yang disampaikan Nasdem. Tidak adanya opsi koalisi lain adalah kerugian bagi rakyat itu sendiri, karena tidak ada kelompok politik yang menjadi wadah bagi kepentingan mereka yang pastinya berbeda-beda. Jadi, jika hingga saat ini PDIP masih terkesan tak berkawan, Eriko menyebut tidak jadi masalah bagi partai.

“Kalau dikatakan tidak ada yang mau bersama-sama dengan kita tidak ada masalah juga sebenarnya. Yang dirugikan ini adalah masyarakat, karena tidak ada pilihan lain. Nanti dengan seperti begini kalau terpilih yang tidak sesuai, tentu masyarakat sendiri akan merasakan ya. Padahal partai itu adalah representasi daripada rakyat,” jelas Eriko.

Sementara itu, Khoirul Umam berpandangan harus ada perbaikan sistemik agar fenomena koalisi “borong partai” semacam ini tidak terus terjadi. Mulai dari tidak menaikkan ambang batas presidential threshold dari 15 persen menjadi 20 persen seperti saat ini. Kemudian menurunkan persentase dukungan minimal bagi calon independen yang akan maju di Pilkada.

“Karena sekarang itu untuk DPT sekitar 6 juta seperti di Jakarta, syaratnya 7,5 persen. Maka praktis dari 6 juta (DPT), seorang calon independen harus bisa mengumpulkan (dukungan) yang diverifikasi 450.000 dan angka itu sangat luar biasa tidak mudah,” sebut Umam.

Hal-hal tersebut jika tidak diatur maka akan berdampak buruk pada kualitas demokrasi Indonesia.

“Kalau misal tidak diatur fenomena borong partai, ini akan terjadi dan impact-nya pada kualitas demokrasi kita,” kata dia.

Menanggapi komentar yang ada, Politisi Gerindra Ahmad Riza Patria menyebut pihak KIM tidak pernah memaksakan semua partai masuk dan bergabung. Pihaknya hanya sebatas membuka pintu dan mempersilakan masuk, namun jika merasa tidak ada kecocokan, maka tidak ada paksaan untuk berjalan bersama.

Ia menyebut setiap partai politik memiliki kemandirian dan kedaulatan masing-masing, sehingga tidak mungkin suatu kelompok koalisi memaksakan kehendaknya kepada partai politik yang berada di luar koalisi untuk turut bergabung.

“Kalau kami menawarkan untuk mengajak bersama tentu yang ditawarkan kan merasa nyaman. Untuk pasangan calon yang kami usung kalau dirasa baik ya tentu tidak salah kalau mereka bergabung. Sebaliknya, kalau yang kami tawarkan dirasa kurang, tentu partai tersebut tidak ingin bergabung. Jadi sekali lagi semuanya sangat bergantung pada partai masing-masing,” jelas Ariza.

BDM bersama Effendy Choirie, Ahmad Khoirul Umam, Ahmad Riza Patria, Eriko Sutarduga, Dave Laksono, dan Pipin Sopian.

Menjaga demokrasi tetap menyala

Menguatnya dugaan tentang calon tunggal melawan kotak kosong di Pilgub Jakarta membuat demokrasi di Indonesia menjadi mengkhawatirkan. Demokrasi yang semestinya bisa mewakili kepentingan-kepentingan rakyat yang berbeda-beda justru gagal memunculkan sosok-sosok calon pemimpin yang beragam. Satu calon tunggal tidak mungkin bisa mewakili semua kepentingan rakyat yang jamak.

Lantas, bagaimana demokrasi bisa tetap hidup dan terjaga?

Politisi PKS Pipin Sopian justru mengembalikan pada Nasdem dan PKB yang tak kunjung memberikan surat rekomendasi atas usulan Anies Baswedan-Sohibul Iman yang telah dideklarasikan oleh PKS. Jika rekomendasi diberikan, maka poros kedua di luar KIM sudah pasti terbentuk.

Tidak adanya kejelasan atau kepastian dari Nasdem dan PKB inilah yang lantas membuat PKS memikirkan untuk membuka opsi-opsi lain, termasuk jika harus bergabung dalam KIM Plus mengusung Ridwan Kamil.

“Karena itu (rekomendasi) tidak kunjung ada, sehingga memang opsi-opsi itu (menerima tawaran KIM Plus) sangat terbuka. Tetapi bagi kami memang komunikasi ini harus dibuka oleh siapapun. Kunci utamanya ketika saluran itu tidak terjadi memang agak sulit bagi kita ya, sehingga Presiden PKS Pak Ahmad Syaikhu sangat menekankan pentingnya silaturahim,” ungkap Pipin.

Optimisme justru disampaikan oleh Eriko Sutarduga. Ia menyebut masih ada waktu kurang lebih 3 minggu ke depan untuk PDIP dan partai-partai yang belum merapat ke KIM mengusung nama baru.

PDI Perjuangan disebut masih terus berusaha untuk bisa memberikan pilihan lain kepada masyarakat Jakarta dengan terus melakukan komunikasi politik dengan berbagai pihak.

“Percayalah kami akan lakukan yang terbaik. Tapi sekali lagi kemampuan kami juga terbatas. Saya harus menyampaikan jujur dari 25 kursi (kini PDIP) turun menjadi 15 kursi dan tidak mempunyai kemampuan untuk maju sendiri. Kami akan berkomunikasi dengan teman-teman partai lain termasuk juga KIM,” kata Eriko.

Dari pihak KIM, Politisi Partai Golkar Dave Laksono meyakini pihaknya bukan berupaya mematikan demokrasi, namun justru merawatnya dengan cara mempersembahkan figur pemimpin yang bisa berkesinambungan dengan pemerintah pusat.

“Pemerintahan ke depan adalah pemerintahan keberlanjutan, melanjutkan semua program yang telah dimulai oleh Presiden Jokowi untuk dilanjutkan, diselesaikan dan disempurnakan. Untuk bisa benar rampung itu membutuhkan satu kesinambungan dan juga sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah. Di dalam Pilkada serentak yang dilakukan di seluruh Indonesia ini adalah satu tahap untuk memastikan itu bisa tercapai,” kata Dave.

Pemerintahan di daerah-daerah harus tersambung dalam komunikasi yang intens dan memiliki dasar pemikiran yang sama, sehingga program-program nasional yang diusung oleh Prabowo-Gibran lebih mudah direalisasikan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat.

“Khusus untuk di DKI kita masuk di era baru, sistem yang baru, dan juga semangat yang baru. Kita yakinkan bahwa calon yang kita berikan itu adalah yang terbaik dan kita tidak akan berangus demokrasi, justru kita akan menjaga, merawat, dan membangun demokrasi yang lebih kuat dan lebih baik ke depannya,” tutur Dave.

Menimpali pernyataan Dave Laksono, Gus Coy justru menyebut untuk bisa menyempurnakan demokrasi, selain keberlanjutan diperlukan adanya perubahan.

“Loh iya dong, kalau berlanjut tapi gak ada perubahan, itu itu saja, monoton gitu,” ujar dia.

Ia pun meminta semua rekan-rekan pimpinan partai politik untuk merenung, jangan hanya memikirkan kepentingan elite, namun juga mencerna dan mewujudkan aspirasi masyarakat bawah dengan melahirkan calon-calon pemimpin sesuai keinginan hati mereka, sebagaimana tercermin lewat hasil survei.

“Harus ditampilkan figur pilihan yang kira-kira mereka memang sesuai dengan hasil survei. Katanya kita pakai ilmu, ya survei itu ilmu. Sebetulnya ketika kita sudah survei kemudian hasilnya apa, itu sebetulnya ilmu yang harus kita laksanakan,” pungkasnya.

Dialog versi lengkap dapat disimak melalui tautan video berikut ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *