“…sekarang itu kekuatan-kekuatan penyeimbang check and balances terkooptasi oleh Presiden. Sekarang terbukti lagi itu ormas-ormas pun sudah terkooptasi gitu. Tadinya tiang penyangga civil society kita, kini terokooptasi dengan pancingan-pancingan material itu, ekonomi. Tapi siapa yang bisa mengontrol ini. Kita akirnya masuk ke yang disebut fenomena presidensial parties ini. Semua partai berada di sekeliling presiden. Jadi di mana demokrasi kita?”
Selain berbincang mengenai langkanya pemimpin pemikir atau cendekiawan di Indonesia dan demokrasi liberal yang tidak menjamin keterwakilan setiap bangsa, Pakar Aliansi Kebangsaan Manuel Kaisiepo saat berbincang dengan Budiman Tanuredjo di Back to BDM, juga membagikan pandangannya tentang bagaimana kondisi demokrasi Indonesia pasca 25 tahun reformasi.
Hari ini biaya politik di Indonesia sangat mahal. Ini salah satu dampak dari pemilihan langsung. Untuk bisa memenangkan suara di proses pemilihan, seorang calon, baik itu di tingkat daerah maupun pusat, kebanyakan harus menggelontorkan sejumlah besar uang. Kondisi ini akhirnya membuat banyak pihak yang ingin menang, menyerah pada kekuatan oligarki pemegang modal kapital.
Diakui atau tidak, sebagai dampaknya kekuasaan kapital lah yang mendominasi kepentingan di berbagai daerah, kepala pemerintahan atau anggota legislatif yang ada hanyalah perpanjangan tangan dari pemegang modal.
Jika kita melihat daerah-daerah dengan sumber daya alam melimpah di mana banyak investor menanamkan modal, misalnya Sumatera, Kalimantan, dan Papua, kepentingan masyarakat menjadi terabaikan. Kesejahteraan mereka bukan menjadi hal utama yang diupayakan. Fokusnya adalah bagaimana mengeksplorasi kekayaan alam dan mengarahkan pemimpin di daerah tersebut agar melahirkan kebijakan yang memudahkan urusan bisnis pemodal demi mendulang sebesar-besarnya keuntungan.
Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun
Setelah 25 tahun berlangsungnya era reformasi, banyak pihak menganalisis praktik demokrasi di Indonesia sedang ada pada tahap penurunan atau regresi.
Salah satunya Thomas Power dan Eve Warburton yang pada 2020 menulis buku “Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression”.
Semangat reformasi adalah ingin membatasi kekuasaan, agar sejarang kepemimpinan Orde Baru selama 30 tahun lebih tidak kembali terulang. Demokrasi yang sehat adalah impian. Salah satu prinsip yang dipegang untuk mencapai mimpi itu adalah dengan menjalankan asas checks and balances.
Prinsip ini tidak hanya berlaku antar lembaga negara, melainkan secara lebih luas di mana masyarakat sipil turut aktif memberikan kontrolnya terhadap jalannya demokrasi.
Sayangnya, seperempat abad setelah reformasi berjalan, banyak lembaga-lembaga yang menjadi bagian dari check and balances itu tidak berfungsi, atau setidaknya mereka bekerja tidak sesuai dengan semangat awal lembaga-lembaga tersebut didirikan.
Misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Banyakembaga riset yang menunjukkan lembaga-lembaga produk reformasi tersebut mengalami kemerosotan.
“Komisi-komisi yang dibentuk begitu banyak tidak berfungsi. Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, padahal itu kan di bentuk dalam spirit reformasi, mengontrol, karena inti dari kita menganut reformasi adalah pembatasan kekuasaan. Sekarang kekuasaan tidak terbatas, semua studi menunjukkan demokrasi kita merosot,” kata Manuel yang merupakan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Indonesia Bagian Timur di era Presiden Gus Dur dan Megawati.
Manuel membaca di salah satu sumber, kualitas demokrasi Indonesia saat ini bahkan ada di bawah Papua New Guinea dan Timor Leste.
“Bayangkan itu. Studi terbaru dari Marcus Mietzner tahun 2023 dia tunjukkan bagaimana sekarang itu kekuatan-kekuatan penyeimbang check and balances terkooptasi oleh Presiden. Sekarang terbukti lagi itu ormas-ormas pun sudah terkooptasi gitu. Tadinya tiang penyangga civil society kita, kini terokooptasi dengan pancingan-pancingan material itu, ekonomi. Tapi siapa yang bisa mengontrol ini. Kita akirnya masuk ke yang disebut fenomena presidensial parties ini. Semua partai berada di sekeliling presiden. Jadi di mana demokrasi kita?” ungkap Manuel.
Kondisi ini tidak semata-mata karena kekuatan sosok presiden, namun bisa jadi ada kekuatan oligarki di dalamnya.
Selain itu, ada pula kelemahan pada partai politik akibat salah desain amandemen konstitusi UUD 1945.
Menurut wartawan sekaligus politisi kelahiran Biak itu, amandemen UUD 1945 masuk dalam “perangkap” liberalisme yang tidak seutuhnya cocok dengan konteks Indonesia. Ini mengakibatkan partai lemah dalam pertarungan politik yang membutuhkan biaya tinggi. Partai politik menjadi dikendalikan oleh sekelompok kecil orang.
“Sekarang kita sudah lihat politik sudah tidak akan jauh-jauh dari sekitar itu, mereka kendalikan partai, mereka kendalikan parlemen, kalau partai dan parlemen dikendalikan ya kita lihat lah putusan-putusan produk legislasi itu, semua banyak yang bahkan menyimpang dari prosedur yang baku. Kepentingan sudah masuk sampai ke ruang-ruang legislasi kita,” sebut Manuel.
Meski demokrasi di negeri ini terus mengalsmi penurunan, namun masyarakat nampaknya tidaj begitu perduli. Terbukti dari berbagai survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah yang terbang tinggi, di tengah tingkat kepuasan terhadap lembaga pemerintah yang lainnya menunjukkan tren menurun.
“Divided expectation, ini rumusan yang bagus. saya kira satu sisi begini ya, ekonomi, demokrasi ini kan harus berjalan juga dalam tingkat yang juga sejajar. Ketika demokrasinya bebas tapi tingkat pertumbuhan ekonominya fluktuatif dengan mayoritas masyarakat masih pada tingkat yang miskin, Apa yang diharapkan? Ekspektasi apa? Saya enggak perlu demokrasi kok, yang saya perlu kesejahteraan,” Manuel mencoba menggambarkan kondisi masyarakat di masa ini.
Arus Balik Demokrasi
Setelah 25 tahun lamanya Indonesia menjalankan demokrasi di era reformasi, suara-suara pesimisme kadang terdengar. Demokrasi dirasa tidak menghasilkan kesejahteraan, kemiskinan di mana-mana, kesenjangan sosial terus melebar.
Jamie Davidson menulis demokrasi Indonesia sejak reformasi terbagi ke dalam 3 tahap. Tahap pertama 1999-2004 disebut banyak inovasi lahir. Tahap kedua, ketika Indonesia mulai menganut pemilihan presiden langsung 2004-2014 disebut demokrasi stagnan. Ketiga, 2014-2019 bahkan sampai sekarang disebut mengalami kemunduran.
Masyarakat tak lagi punya waktu dan energi membahas apa dan bagaimana semestinya demokrasi dijalankan. Yang mereka inginkan adalah kesejahteraan hidup.
“Semangat demokrasi yang menggebu-gebu, kemudian tidak menghasilkan kesejahteraan, bahkan termasuk dia gagal dalam dirinya sendiri penerapan kebebasan dalam berpolitik, pada gilirannya akan membuat masyarakat hopeless. Dan ketika hopeless mereka cenderung memilih pemimpin dan rezim yang kuat. Apapun dia mau otoriter mereka enggak peduli, tetapi kesejahteraan kami terpenuhi,” sebut Manuel.
“Sekarang ini saya kira mungkin ada Kerinduan semacam itu bahkan beberapa teman sudah mulai berdiskusi kembalinya TNI ke panggung politik juga mungkin barangkali satu alternatif gitu,” lanjutnya.
Namun, ia berpendapat Indonesia tidak lah perlu kembali ke zaman otoritarian, cukup dengan membentuk kepemimpinan yang kuat dan memiliki komitmen. Meskipun hal ini cukup sulit, karena perpolitikan kita saat ini tidak lagi menghasilkan tipe pemimpin semacam itu.
Apa yamg terjadi pada kepemimpinan Jokowi hari ini sesungguhnya sedikit banyak sama dengan masa otoriterian. Misalnya bagaimana pemerintah yang didukung oleh koalisi besar, bukan hanya partai politik, tapi juga polisi, TNI, bahkan ormas ada dalam satu kesatuan.
“Ini fenomena menarik kita seolah-olah kembali ke Orde Baru, yang disebut state corporatism itu. Semua kelompok yang ada di masyarakat ditarik dan dikontrol oleh kekuasaan sehingga kekuasaan maunya apa, yang lain kekuatan sipil lemah,” ujar Manuel.
Menurutnya kondisi hari ini adalah sesuatu belum tentu mengarah ke kembalinya sistem otoritarian, namun sudah mengarah ke sana. Alasannya, semua kekuatan pilar-pilar masyarakat sipil dan lembaga pendidikan seperti kampus seolah dilemahkan lembaga pendidikan tinggi dikuasai oleh administrasi dan birokrat, bukan ilmuwan atau pemikir.
“Itu bagian dari pelemahan kampus, kalau Anda banyak cingcong profesormu enggak dapat-dapat, Karena profesor itu ada syarat administratif kan, jadi semuanya itu dibikin menyerah tidak berdaya gitu,” ia mencontohkan.
Konflik Papua yang Tak Kunjung Teratasi
Dalam sejarah perjalanan Indonsia, ada sejumlah daerah yang pernah berkonflik dan ingin membebaskan diri dari NKRI, misalnya Aceh, Timor Timur, dan Papua. Konflik di Aceh dapat diselesaikan melalui Perjanjian Helsinki, kemudiam Timor Timur dengan referendum, namun konflik di Papua masih terus ada sejak 1963 hingga saat ini.
Manuel sebagai putra asli Papua menyebut apa yang terjadi di tanah kelahirannya itu adalah persoalan politik. Dari segi sejarah, Papua berbeda karena menjadi satu-satunya wilayah yang tidak ikut dalam Proklamasi 1945, karena baru bergabung ke NKRI di tahun 1963. Selain itu, secara kultur orang-orang Papua disebut sebagai ras Melanesia, berbeda dengan mayoritas rakyat Indonesia yang merupakan Malayan-Mongoloid.
Ia menilai era terbaik penanganan konflik di Papua adalah di bawah kepemimpinan Presiden Gus Dur.
“Dia menghayati bagaimana cara menyelesaikan (konflik Papua) seperti juga dia menyelesaikan Aceh, dia tidak pakai pendekatan militer. Ketika Aceh sebelum Perjanjian Helsinki dia melakukan lobi-lobi, orang-orang yang dia kirim untuk lobi ke sana kemari, ketemu tokoh-tokoh GAM di luar negeri, banyak yang marah presiden kok dialog dengan pemberontak. Ia bilang ‘enggak ini saudara-saudara kita sendiri, kalau kita tidak duduk bersama berdialog bagaimana selesainya’,” kata Manuel menirukan apa yang dikatakan Gus Dur ketika itu.
Dialog itu lah yang menurut Manuel perlu diterapkan di Papua, bukan melalui pendekatan militer seperti yang kerap dilakukan selama ini.
“Puncaknya sebenarnya itu waktu Gus Dur berikan otonomi khusus dengan Undang-Undang 21 2001. Dengan diberikannya Undang-Undang otonomi khusus, diharapkan persoalan Papua selesai. Itu semacam win-win solution. Waktu itu Gus Dur bilang begini ‘pemerintah mengakui bahwa di masa lalu kami bersalah kepada rakyat Papua, ada kekeliruan kami dalam menangan Papua termasuk kekerasan militer dengan praktik dom selama berapa puluh tahun di sana, sekarang kita meminta maaf dan kita memberikan segala kewenangan orang Papua mengurus dirinya sendiri melalui undang-undang, tetapi sebagai imbalannya orang Papua juga mengatakan kami bagian dari NKRI. Final, tidak ada lagi diskusi kemerdekaan’,” kata Manuel meniru apa yang disampaikan Gus Dur.
Setiap presiden menurutnya sudah berusaha untuk menyelesaikan Papua, namun memang belum ada yang benar-benar bisa menyelesaikan permasalah di sana dengan sempurna. Karena setelah Gus Dur lengser, tidak ada lagi yang melakukan pendekatan secara informal, dialog, budaya secara sunggh-sungguh.
Pendekatan ekonomi yang saat ini ditempuh Presiden Jokowi, seperti membangun jalan dan infrastruktur di Papua disebutnya tidak berdampak signifikan, karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), provinsi termiskin di Indonesia masih ada di Papua, yakni Papua Barat.
Termiskin dan kerap terjadi konflik. Padahal, daerah itu kaya akam sumber daya alam dan investasi asing banyak bercokol di sana. Pendapatan dan pajak perusahaan-perusahaan itu pun begitu besar. Dua kondisi ini tentu sangat kontradiktif, kekayaan SDA yang melimpah dan dieksploitasi pihak luar tidak memberi kesejahteraan pada masyarakat sekitar. Sehingga ada yang mencurigai konflik dan kekerasan yang ada di Papua adalah kesengajaan, sesuatu yang dipelihara, bagian dari market of violence.
Menjelang kepemimpinan presiden baru, Prabowo Subianto, Manuel berharap ada angin segar bagi penyelesaian konflik di Papua.
“Harus presiden yang mengontrol betul, sebab semua instrumen kebijakan sudah dibuat, anggaran sudah diberikan, tapi tidak jalan.Tentu juga ada kelemahan aparat lokal soal tata kelola, tetapi kalau pemerintah sungguh-sungguh, desain dari pusat dikontrol sampai ke daerah, uang yang mengalir begitu besar itu ada signifikansi peningkatan kesejahteraan. Lalu model pendekatan security militer mulai dikurangi, lebih banyak polisi lah,” ujar dia.
Dialog selengkapnya antara Budiman Tanuredjo dan Manuel Kaisiepo tentang demokrasi bisa disimak melalui video berikut:
Leave a Reply