“Francis was a man of poverty, a man of peace, a man who loved and protected creation, these days we do not have a very good relationship with creation, do we? He is the man who gives us this spirit of peace, the poor man….How I would like a Church which is poor and for the poor…”
Budiman Tanuredjo
Buku karya sahabat dan senior saya di Kompas, Duta Besar Vatican Michael Trias Kuncahyono akhirnya sampai di tangan saya. Saya membelinya dengan harga Rp 130.000 termasuk ongkos kirim. Judulnya: Francis Pope for The People. Buku itu diberi kata pengantar oleh Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi dan Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo. Buku itu diterbitkan oleh Palmerah Syndicate yang anggotanya adalah teman-teman saya yang sudah lama saya kenal.
Trias adalah wartawan Kompas dan pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Kompas. Piawai dalam menulis isu internasional khususnya Timur Tengah (sudah beberapa bukunya soal Timur Tengah) dan sangat memahami sejarah gereja. Beberapa bukunya menjadi best seller. Buku soal Paus Fransiskus menjadi relevan menjelang kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia 3-6 September 2024.
Dengan gaya bahasa seorang wartawan, sebagaimana ditulis Kardinal Suharyo dalam pengantarnya, “…dua sebutan ini—wartawan senior dan duta besar – rasanya sudah menjadi jaminan mengenai keunggulan buku ini.” Buku tentang Paus Fransiscus memang ditulis dalam pendekatan jurnalistik yang memikat. Dalam kata pengantarnya, Trias menulis, “Keinginan saya satu: ingin memperkenalkan sosok Paus kepada masyarakat Indonesia. Tapi ini juga bukan birografi seorang Paus.”
Dalam buku setebal 340 halaman, Menlu Retno Marsudi dalam pengantarnya menulis demikian, “Sosok Paus Fransiskus adalah sosok istimewa. Beliau selalu menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat kecil dan kaum papa (don’t forget the poor). Pesan ini selalu beliau bawa sejak beliau menduduki Takhta Suci tahun 2013.”
Penekanan pada “don’t forget the poor” oleh Menlu Retno itulah yang saya pakai dalam judul esai ini. Pembabakan judul buku Trias ditulis dalam bahasa Inggris seperti: Entering A New Era, The Smiling Pope, The Mistery of Conclave, Don’t Forget the Poor, Pope for the People. Bisa saja buku itu akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Namun, dalam edisi Indonesia, narasinya tetap dalam bahasa Indonesia.
“Don’t forget the poor” saya pilih sebagai judul karena relevan dan kontekstual dengan kondisi di Indonesia. Angka kemiskinan masih cukup tinggi. Jumlah penduduk miskin masih 25,90 juta orang. Miskin diartikan sebagai pengeluaran keluarga Rp 2,6 juta per bulan. Jumlah stunting juga masih sangat besar. Dalam Kompas, 23 Agustus 2023, tertulis 54,43 persen angkatan kerja lulusan SMP, 39,10 persen lulusan SD, 320 kecamatan belum ada SMP/MTS, 727 kecamatan tanpa SMA/MA.
Mengapa kemiskinan masih tetap ada? Saya teringat pada pernyataan ekonom Prof Dr Sumitro Djohadikusomo di Kompas, 23 November 1993 dalam berita berjudul, “Kebocoran Dana Pembangunan Indonesia Mencapai 30 Persen.” Berapa kebocoran dana pembangunan sekarang, belum ada penelitian terbaru. Namun, di media kita menemukan, bagaimana korupsi ratusan triliun terjadi di sejumlah wilayah. Korupsi BTS, korupsi timah illegal. Bagaimana korupsi dan nepotisme terjadi secara kasat mata.
“Don’t forget the poor.” Dalam bukunya Trias menjelaskan, asal muasal kata “don’t forget the poor.” Trias mengutip, “Gerrard O’Connel (2013) menulis apa yang dikatakan Paus Fransiskus saat konklaf. Konklaf adalah pertemuan para Kardinal untuk memilih Paus. Kata Paus Fransiskus, “ketika keadaan menjadi berbahaya”, dalam pemungutan suara konklaf Kardinal Jose Mario Bergoglio duduk di samping, Kardinal Claudio Hummes, Uskup Agung Sao Paulo Brasil, “yang menghibur saya.”
Ketika menjadi jelas bahwa para Kardinal telah memilih Paus, “Kardinal Hummes memeluk dan mencium saya dan berkara, “Dont forget the poor! Jangan melupakan orang miskin dan itu mengingatkan saya pada Santo Fransiskus dari Asisi. Fransiskus adalah seorang yang cinta damai, seorang yang miskin, seorang yang mencintai dan melindungi ciptaan. Saat itulah, Kardinal Bergoglio memilih nama Fransiskus. Katanya, “Betapa saya akan mencintai gereja yang miskin dan memihak orang miskin.” (hal 100). Kisah serupa juga ditulis Mario Escobar (2013), Austen Ivereigh (2014).
Penghitungan suara telah selesai. Kardinal Bergoglio meraih 95 suara. Trias tidak menuliskan berapa Kardinal yang menggunakan suaranya. Kini, Kardinal Giovanni Bastista Re mendatanginya dengan pertanyaan: apakah ia menerima pemilihan kanonik sebagai Paus tertinggi. Saat pukul 19.05, ketika Jorge Bergoglio mengucapkan, accepto dalam bahasa Latin yang baik, ia segera menambahkan, “even though I am a great sinner.”
Dalam pidatonya saat beraudiensi dengan awak media 16 Maret 2013, Paus Fransiskus mengatakan, “Francis was a man of poverty, a man of peace, a man who loved and protected creation, these days we do not have a very good relationship with creation, do we? He is the man who gives us this spirit of peace, the poor man….How I would like a Church which is poor and for the poor…”
Don’t forget the poor menjadi relevan. Di Tanah Air, “the poor” jangan hanya dilihat dari sisi materi melainkan kemiskinan moral dan etik yang sudah menggejala. “the poorest:” atau “the have not” dihadapkan pada perilaku ketamakan akan kekuasaan, ketamakan akan harta, ketamakan akan gelar pendidikan yang dikejar dengan menghalalkan segar acara. Padahal, Paus Fransiskus pada 20 September 2023, di Domus Sanctae Marthae, ”Adalah sumber dari segala kejahatan”. Ketamakan telah merobek-robek inti republik sebagai perwujudan keadilan dan kesejahteraan bersama, tulis Sukidi dalam esainya di Kompas.
Perilaku tamak dan rakus adalah gejala paling mencolok dalam dunia kotemporer di negeri ini. Perilaku yang mengabaikan keadilan lintas generasi di bidang sumber daya alam. Sumber daya alam dikeruk untuk kepentingan sesaat. Dalam Ensiklik 24 Mei 2015 berjudul Laudato Si. Paus Fransiskus mengatakan, ramalan mengenai malapetaka tak boleh dianggap sebagai cibiran atau ironi. Kita mungkin akan meninggalkan banyak puing, padang gurun, dan sampah untuk generasi mendatang.
Tingkat konsumsi limbah dan kerusakan lingkungan telah melampaui kapasitas planet sedemikian rupa sehingga gaya hidup kita yang tidak berkelanjutan hanya dapat menyebabkan bencana yang sebenarnya sudah terjadi di berbagai belahan dunia. Kita tidak bisa lagi berbicara tentang pengembangan berkelanjutan tanpa solidaritas antargenerasi. Ketika kita berpikir tentang situasi dunia yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang, kita memasuki logika yang berbeda, yaitu bahwa dunia adalah anugerah cuma-cuma yang kita terima dan yang kita bagi bersama. Jika bumi dianugerahkan kepada kita, kita tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran manfaat, efisiensi, dan produktivitas demi keuntungan pribadi. Ada generasi selanjutnya yang akan menghuni Planet Bumi,
Mahatma Gandhi (1869-1948), yang pernah mengatakan, ”Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi bukan untuk keserakahan manusia.” Merawat ekosistem, mengandalkan pandangan yang jauh ke depan. Sebab, jika kita hanya mencari keuntungan secara cepat dan mudah, tidak akan ada yang peduli dengan pelestarian alam. Tetapi, biaya kerusakan yang disebabkan kelalaian ekologis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang diterima. Kita menjadi saksi bisu atas ketidakadilan yang mengerikan bagi generasi mendatang.
(Budiman Tanuredjo)
Leave a Reply