Gelombang Balik DemokrasiWantimpres Jadi Dewan Pertimbangan Agung…

“…apa semangat kebatinan perubahan UU kalau bukan hanya untuk membuka pos-pos penting bagi pejabat negara. Menambah pejabat negara adalah menambah beban anggaran negara,”

Gelombang balik demokrasi tampaknya sedang terjadi di negeri ini. Arus balik itu tampak dari sejumlah manuver dalam pengubahan undang-undang. Ramai dibicarakan UU TNI akan diubah dan memberi ruang pada perwira TNI menduduki jabatan sipil dan memberi kesempatan kepada TNI untuk berbisnis.

Padahal pada tahun 1998, gelombang reformasi mengajukan enam tuntutan reformasi yang salah satu adanya pencabutan Dwifungsi ABRI. KIni, anggota TNI sudah bisa menduduki jabatan sipil (meski terbatas) dan kini dalam revisi UU TNI akan dilebarkan. Petinggi TNI menyebut bukannya dwifungsi tapi multi fungsi.

Dan, terakhir UU Dewan Pertimbangan Presiden juga akan direvisi. Wantimpres kabarnya akan diubah menjadi semacam Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pada masa Orde Baru. Perubahan itu terkesan mendadak, termasuk revisi UU Wantimpres yang tidak ada dalam program legislasi nasional. Dikutip BBC pada Selasa (09/07), Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan membawa rancangan undang-undang (RUU) Perubahan UU Wantimpres tersebut ke dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi usul inisiatif DPR setelah disepakati sembilan fraksi di rapat pleno. Penyusunan RUU dilakukan dalam waktu satu hari saja.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas seperti dikutip BBC mengatakan, revisi UU Wantimpres paling tidak memuat tiga perubahan. Nomenklatur diubah dari Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung. Tidak ada batasan jumlah anggota DPA. Dan anggota DPA adalah pejabat negara. Tidak diketahui apa latar belakang gagasan mengembalikan Wantimpres ke Dewan Pertimbangan Agung pada era Orde Baru. Tidak juga diketahui apakah ada naskah akademis mengapa UU Wantimpres harus diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung. Perubahan yang amat cepat memang memunculkan kekagetan publik.

Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam dari setiap revisi UU, ada satu subtansi yang sama. Misal dalam UU Kementerian Negara. Jumlah menteri yang dibatasi 34 akan diserahkan kepada Presiden. Tidak ada batasnya. Dalam revisi UU TNI, jumlah perwira TNI yang bisa dikaryakan dijabatan sipil yang dalam UU TNI dibatasi, akan dilebarkan. TNI dikabarkan boleh berbisnis. Dan, dalam revisi UU Wantimpres jumlah anggota yang ditulis sembilan menjadi tidak dibatasi.

Dari tiga revisi Undang-undang itu ada pesan yang sama: menambah pos untuk pejabat negara. Secara konstitusional, DPR berhak mengajukan hak inisiatif mengubah undang-undang. Namun, sebenarnya secara teoritik tergantung pada pemerintahan Presiden Jokowi. Namun pertanyaan mendasarnya apa semangat kebatinan perubahan UU kalau bukan hanya untuk membuka pos-pos penting bagi pejabat negara. Menambah pejabat negara adalah menambah beban anggaran negara. Belum lagi nanti jika UU MD3 diubah dan menambahkan pos wakil ketua DPR dimana setiap fraksi punya wakil di DPR.

Hukum tiada lagi kecuali kepentingan mereka yang berkuasa. Sedang bagi mereka yang lemah, hukum tidak berdaya membela mereka. Itulah pandangan filsuf Thrasymachus Politik perundang-undang akan ditentukan oleh kekuatan politik. Itulah yangh menjelaskan mengapa RUU Perampasan Aset yang lebih merupakan kehendak publik untuk mempercepat pemberantasan korupsi dibiarkan mangkrak di meja pimpinan DPR. Karena, elite poliitk tak menghendaki hadirnya RUU Perampasan Aset.

Dalam buku Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, Prof Dr Jimly Asshidiqie menulis, Dewan Pertimbangan Agung punya dasar hukum konstitusional. DPA sudah hadir sejak tahun 1945. Pertama kali dibentuk 25 September 1945. Ketua DPA pertama adalah Margono Djojohadikusumo dengan anggota sebelas orang. Jumlah anggota DPA berubah-ubah. Pernah sebanyak 29 orang. Pernah pula 45 orang. Dasar konstitusional DPA adalah pasal 16 UUD 1945 sebelum diubah. Dalam pasal 16 ayat 2 dinyatakan (1) Susunan DPA ditetapkan dengan undang-undang.” Dan (2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.” Sedang dalam bagian penjelasan disebut, Dewan ini sebuah Council of State yang berkewajiban memberi pertimbangan kepada pemerintah.”

Perjalanan panjang DPA diakhiri saat reformasi tiba. Dalam pasal 16 perubahan keempat UUD 1945 ditulis, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. Sedang dalam Bab IV soal Dewan Pertimbangan Agung, ditulis, “dihapus”. Perubahan konstitusi dengan keterangan dihapus itu membingungkan.

Jimly Ashiddiqie memberikan buku yang ia tulis berjudul Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung.

Selanjutnya dibuat UU No 19/2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Ada beberapa poin penting dalam UU Wantimpres. Pertama, dewan di bawah presiden. Kedua, bertugas memberi pertimbangan baik diminta maupun tak diminta kepada presiden. Ketiga, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, tak diboleh menyebarkan isi pertimbangan kepada publik dan keempat berjumlah sembilan orang. Akibat pasal soal ketertutupan pertimbangan inilah, Wantimpers menjadi tidak jelas peran dan fungsinya di mata publik. Kerjanya menjadi tidak kelihatan? Publik rasanya penasaran apa pertimbangan Wantimpres saat Presiden memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara?

Kini, Wantimpres diketuai Jenderal (Purn) Wiranto. Wiranto adalah Panglima ABRI saat jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998. Wiranto tetap berada dalam lingkaran kekuasaan, sejak Orde Baru, reformasi dan sampai sekarang. Jumlah sembilan orang ditetapkan undang-undang. Ada politisi, ada ulama, ada pengusaha. Apa itu cukup representatif di tengah kemajemukan Indonesia?

Jadi, boleh saja, desain Wantimpres diubah namanya menjadi Dewan Pertimbangan Agung dan jumlah anggotanya tak dibatasi. Itu hak politik DPR dan pemerintah. Tapi pertanyaannya, apa urgensi dan manfaatnya bagi masyarakat? Bukankah itu hanya menambah anggaran negara? Apakah sekadar ingin membagi kue kekuasaan atau kepentingan apa di balik itu semua, termasuk menormalisasi situasi politik ke arah Orde Baru?

Selayaknya, publik didengar. Bukankah Mahkamah Konstitusi pernah menitahkan adanya meaningfull participation (partisipasi bermakna) bagi publik dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang. Hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendengarkan apa pertimbangan elite terhadap suara publik?

Jangan sampai publik hanya dibutuhkan saat pemilu dan setelah itu dilupakan…

Budiman Tanuredjo


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *