Kabar Negeri di 25 Tahun Pasca Reformasi

“…kita krisis kenegarawanan. Semua politisi the one who sometimes doesn’t know the way, but shows the way, and they dont go the way either.  Tapi kan kalau leader enggak begitu, leader itu ya the one who knows the way, shows the way, and goes that way. Ini yang kita kurang,”

Indonesia adalah negara demokrasi yang masih terus bertumbuh. Sejak awal berdiri di tahun 1945, Indonesian sebagai sebuah negara terus mengalami perubahan dan perbaikan di berbagai aspek. Perubahan besar-besaran terjadi di tahun 1998, reformasi.

Meski kerusuhan meledak di banyak tempat, kekacauan tak bisa dihindarkan, korban nyawa pun berjatuhan, reformasi melahirkan banyak perubahan baik bagi Indonesia. Salah satu hasil dari gerakan reformasi adalah adanya batasan waktu menjabat bagi pemimpin.

Implementasinya hingga hari ini, seorang pemimpin, baik itu di tingkat kepala daerah maupun presiden memiliki periode masa kekuasaan selama 5 tahun dan dibatasi maksimal hanya 2 periode. Sehebat apapun, sebaik apapun, jika sudah 2 periode menjabat, maka tak ada pintu belakang untuk kembali di periode ke-3.

Seperempat abad sudah kerusuhan Mei terjadi, apakah amanat reformasi masih relevan hingga hari ini? Atau justru ada hal-hal yang perlu diperbaiki?

Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008 Jimly Asshidiqie berbincang bersama Budiman Tanuredjo membahas berbagai kondisi negara hari ini dan menyorot apa saja yang perlu dikoreksi.

UU Kepresidenan

Presiden dan Wakil Presiden merupakan dua kepala yang ada di dalam Lembaga Kepresidenan. Keduanya, terutama Presiden, memiliki kewenangan yang begitu besar untuk mengatur jalannya negara. Kewenangan yang besar itu seringkali dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan diri atau kelompoknya sendiri. Presiden merasa memiliki segala kekuasaan dan kelengkapan untuk melakukan apa yang dikehendaki.

Sayangnya, kekuasaan besar itu tidak ada hukum yang secara tegas membatasi. Tidak ada undang-undang kepresidenan hingga hari ini. Padahal, semua lembaga besar negara memiliki undang-undang tersendiri yang berfungsi mengatur batasan, apa saja yang bisa dan tidak bisa dilakukan dengan fungsi dan kewenangan yang dimiliki.

Meski belum terwujud, UU Kepresidenan disebut Jimly merupakan sesuatu yang sudah lama dibahas. Semula, ia beranggapan bahwa konstitusi UUD 1945 melalui banyak pasal di dalamnya, sudah cukup untuk membatasi kekuasaan seorang presiden. Jadi tidak perlu dibentuk undang-undang baru. Namun, melihat bagaimana seorang presiden bisa semau-maunya melakukan ini dan itu Jimly pun berkesimpulan UU Lembaga Kepresidenan perlu segera dibuat.

“Kalau Anda tanya sekarang, perlu enggak ada undang-undang lembaga kepresidenan? Iya deh, setuju saya. Karena melihat praktik selama 25 tahun terakhir ini struktur organisasi lembaga kepresidenan itu dalam tanda petik seenaknya, diatur sak ketemunya, sak maunya gitu oleh kebutuhan sesaat. Maka kita perlu desain benar-benar untuk pelembagaan yang lebih modern tentang lembaga kepresidenan dengan undang-undang,” kata Jimly.

Tak hanya soal Presiden dan wakilnya, segala lembaga yang masih terkait dengan kepresidenan, termasuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) juga bisa diatur di dalamnya. Tapi Wantimpres harus memiliki derajat independensi tersendiri. Saat ini Wantimpres masih ada di bawah Kementerian Sekretariat Negara.

Melihat karakteristik kekuasaan yang sangat manis, terlebih jika tidak adanya batasan, maka siapa pihak yang kira-kira bisa menginisiasi disahkannya UU Lembaga Kepresidenan ini?

Jimly yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menyebut kepala negara lah yang perlu untuk mengambil inisiatif.

“Kalau untuk sementara ini memang mau tidak mau kita butuh wibawanya kepala negara. Wibawanya presiden itu secara diam-diam sangat berpengaruh pada semua partai, terutama partai koalisi pemerintahan. Kalau inisiatif itu datang dari partai masing-masing itu agak susah, apalagi kalau datangnya dari DPD yang non partai,” ujar Jimly.

Presiden yang dimaksud bisa saja presiden saat ini atau presiden baru yang akan dilantik 20 Oktober mendatang. Prabowo Subianto dengan segala plus minusnya dianggap mampu menginisiasi undang-undang ini, bahkan melakukan perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 jika memang diperlukan.

UUD 1945 adalah sesuatu yang memang sejak awal dibuat sudah disampaikan, belum sempurna. Jadi perubahan-perubahan yang dilakukan setelahnya adalah sesuatu yang wajar bahkan diperlukan.

“The founding leader saja di BPUPKI dan di PPKI terakhir itu memahami bahwa undang-undang Dasar 45 itu Revolutiegrondwet, itu pidatonya Bung Karno, ini untuk cepat-cepatan saja karena kita ini sudah merdeka,” ujar Jimly.

Jadi, pada saat itu sebenarnya masih banyak pihak yang mengusulkan agar ditambahkan berbagai hal dalam UUD 1945, namun Bung Karno dan Hatta mengatakan bisa diperbaiki nanti, sekarang yang dibutuhkan adalah cepat.

“Jadi niatinsun dari awal memang undang-undang dasar 45 enggak sempurna, mau kita perbaiki nanti,” tegas Jimly.

Presidential Treshold

Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045, mungkin ada beberapa hal mendasar dari negara ini yang perlu diperbaiki. Jimly mencontohkan soal Presidential Threshold 20 persen.

“Itu kan dipertahankan oleh partai besar-besar, lebih menguntungkan bagi dia. Tapi sesudah kita alami, apalagi 2019 2024 semua partai ini berdarah-darah. Semua partai mengalami betapa costly-nya demokrasi kita, dengan pilkada serentak, pemilu serentak, ini perlu dievaluasi,” ungkap Jimly.

Presidential Treshold itu disebut membatasi calon presiden yang muncul untuk berkontestasi, rata-rata hanya dua saja, paling banyak 3 calon. Padahal konstitusi kita menyebut idealnya capres itu ada dalam jumlah yang banyak. Jadi Jimly menilai kebijakan Presidential Threshold ini perlu dievaluasi karena menyalahi konstitusi atau inkonstitusional.

Jika nanti Threshold dihilangkan, sebagai gantinya untuk menentukan calon presiden yang akan maju dalam Pemilu bisa menggunakan konvensi. Metode ini memungkinkan melahirkan banyak calon presiden untuk dipilih rakyat.

“Waktu saya jadi pemantau Pilpres Rusia 201, saya menyaksikan capres di Rusia yang mendaftar itu 34 orang, tapi oleh KPU yang disahkan cuma 8 orang. Waktu Pilpres berlangsung, Vladimir Putin dapat 78 persen, artinya dia populer sekali. Jadi kalau rakyat menghendaki yang dia sukai ya terpilih, tapi yang tujuh lainnya tidak dihalangi,” kisahnya.

“Ada yang dapat cuma 1 persen, ada yang cewek itu 3 persen. Enggak apa-apa. Apalagi Indonesia yang sangat plural, biar dong ada capres dari Sunda, ada yang dari Palembang, ada dari Batak, soal enggak kepilih, ya engak apa-apa,” Jimly melanjutkan.

Kualitas Negara Demokrasi dan Negara Hukum

Banyak negara di dunia yang mengklaim dirinya menganut sistem demokrasi, meski pada kenyataannya banyak praktik demokrasi yang dikerjakan tergantungpada pengalaman sejarah negara tersebut. Jadi hanya prinsip pokok demokrasi yang dilakukan, untuk detailnya tergantung kondisi masing-masing negara.

Dalam sistem demokrasi, jumlah adalah raja. Apapun atau siapapun yang memiliki suara dukungan terbanyak, maka itu lah yang akan digunakan, dialah yang akan dimenangkan. Suara mayoritas itu tidak menjamin kebenaran dan tidak mewakili rakyat secara keseluruhan. Oleh karena itu, dibuatkah lembaga-lembaga pengimbang, seperti Mahkamah Konstitusi.

“Demokrasi modern itu kayak gitu, saling bergulat, saling imbang-mengimbangi. That is democracy, deliberative democracy, partisipatory, jadi kualitas demokrasi makin lama makin berkembang. Kita ini kuantitatif nomor tiga terbesar, third largest democracy, tapi kualitasnya 54. Masih jauh,” ujar Jimly.

Untuk meningkatkan kualitas demokrasi, Jimly menyebut perlunya mengajak serta anak-anak muda berpikir jangka panjang mengawal kualitas demokrasi yang ada, masyarakat sipil perlu dikuatkan, media harus independen, juga perlunya dilakukan modernisasi pelembagaan politik.

Sebagai negara demokratis, Indonesia juga merupakan negara hukum. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sam lain.

Demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang berandaskan pada hukum, dan negara hukum yang ideal adalah negara hukun yang demokratis.

Itulah mengapa UUD 1945 menyebutkan negara demokrasi dan negara hukum bersebelahan. Dalam Pasal 1 ayat 2 bicara mengenai demokrasi kedaulatan rakyat, lalu pasal 1 ayat 3 membuat definisi negara Indonesia adalah negara hukum. Jadi kedua ayat dalam pasal 1 UUD 1945 itu diibaratkan satu napas.

Sayangnya, dalam pelaksanaan negara hukum, peringkat Indonesia juga masih jauh dari yang diharapkan. Jika peringkat demokrasi ada di urutan ke-54, urusan hukum jauh ada di bawahnya, yakni urutan ke-64.

“Artinya yang diidealkan itu belum jalan, para pemimpin para politisi belum menyadari, masing-masing baru menikmati kedudukannya untuk kepentingan sendiri-sendiri. Jadi kita krisis kenegarawanan. Semua politisi the one who sometimes doesn’t know the way, but shows the way, and they dont go the way either.  Tapi kan kalau leader enggak begitu, leader itu ya the one who knows the way, shows the way, and goes that way. Ini yang kita kurang,” kata Jimly.

Mahkamah Etika Nasional

Terakhir, Jimly menyebut perlunya dibentuk Mahkamah Etika Nasional untuk mengatur etika berbangsa dan bernegara, tegaknya rule of the law dan rule of etics. Itu yang saat ini tengah ia upayakan.

Ia mencontohkan Malaysia dengan dasar negara berupa 5 Rukun Negara. Rukun Negara keempat berbunyi “Kedaulatan Undang-Undang”, sementara Rukun Negara Kelima “Kesopanan dan Kesusilaan”.

Ia menyampaikan kepada Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim saat diundang di Kuala Lumpur agar dua rukun itu bisa benar-benar mewujud dalam kehidupan sehari-hari.

“Yang nomor empat itu saya bilang rule of law, yang kelima ini rule of etics. Jadi kalau bisa ini jangan retorika dan jangan hanya ajaran abstrak. Kalau mau dikonkretkan kita harus bangun ini sistem etika bernegara,” kata dia.

Apa yang dikatakan Jimly pun disambut baik oleh PM Malaysia dan akan mereka tindaklanjuti.

Sebelumnya, Jimly pernah sukses menjadi Ketua Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), kemudian dari Ketua DK KPU ia diangkat menjadi Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu yang melingkuli KPU dan Bawaslu tahun 2012-2017.

“Saya canangkan (DKPP) jadi peradilan etik pertama di dunia, bukan cuma di Indonesia. Sampai sekarang dia sidangnya kayak pengadilan, kayak di MK. itu adala peradilan etik pertama dibentuk di dunia, saya bisa bilang begitu, karena di semua negara lembaga penegak kode etik itu sidangnya tertutup, enggak kayak pengadilan. Kita bikin terbuka,” ungkapnya.

Pandangan Jimly selengkapnya mengenai kondisi negara pasca 25 tahun reformasi telah tayang di YouTube Budiman Tanuredjo (24/7/2024), dan videonya bisa disimak dalam tautan berikut:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *