Sebuah Inspirasi Kampus UM6P Maroko Bukan Menara Gading

“Pengetahuan tanpa tindakan adalah kesia-siaan dan tindakan tanpa pengetahuan adalah kebodohan,”

Al Ghazali, Filsuf (1056-1111)

Dunia akademik di Tanah Air sedang tidak baik-baik saja. Ada isu perburuan guru besar. Sejumlah politisi dan elite negeri mengejar guru besar untuk meningkatkan gengsi akademis di wilayah politik. Namun perburuan itu seakan menjadi kontroversi karena disebut-sebut dilakukan dengan cara tak lazim.

Meski muncul beberapa profesor baru ilmu hukum di Tanah Air, namun tidak banyak didengar ulasan dan kajian akademisnya tentang tren robohnya dunia hukum di Tanah Air. Sangat jarang terdengar pikiran brilian guru besar tentang kondisi lembaga peradilan tertinggi akan merupakan kepanjangan tangan dari pemegang kuasa. Mereka terkesan justru berupaya sekadar menambah bobot akademis untuk melegitimasi penyimpangan. Padahal selayaknya, bangsa ini harus membiasakan yang benar. Bukan membenarkan yang biasa.

Aliansi Akademis Indonesia memprotes cara pemberian guru besar yang menyimpang.

“Fenomena itu merupakan bentuk pembohongan dan menciptakan kredensial palsu yang menbahayakan sendi-sendiri kehidupan universitas dan para ilmuwannya serta masyarakat lias,” tulis Aliansi Akademis Indnesia yang mendesak pemerintah segera mencabut jabatan profesor mereka (baik pihak luar maupun dalam kampus) yang sudah berhasil mendapatkannya dengan cara-cara curang berdasarkan investigasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pengab memang rasanya dunia akademik Indonesia. Kritik pun demikian keras. Namun, seperti biasanya, kritik publik itu hanya akan menghilang seiring dengan munculnya isu-isu baru. Sesuatu yang menyimpang sudah menjadi kenormalan baru. Di tengah kepengaban itu, saya menemukan kutipan Filsuf Al Ghazali di koridor masuk Universitas Mohammad VI Politeknik (UM6P) di Green City, Benguerir. Benguerir terletak di tengah perjalanan Casablanca dan Marakesh, Maroko.

Kampus merah bata itu sepi karena liburan. Selain kutipan Al Ghazali ada juga kutipan Jalaludin Rumi, “Insprirasi yang Anda cari itu ada di dalam diri Anda. Diam dan dengarkan.” Ada beberapa kutipan dari pemikir Timur Tengah, termasuk Ibnu Sina, terpampang di kawasan kampus yang demikian luas.

Berfoto di depan kutipan dari Al Ghazali di kampus Universitas Mohammad VI Politeknik.

Jumat siang itu, saya bersama sejumlah wartawan Indonesia berkunjung ke kampus saat musim panas. Udara memang terasa panas. Kampus yang dihuni hampir 5.684 mahasiswa dari 33 negara terasa gersang meski di sebagian tempat ditumbuhi pohon zaitun. Kampus dengan fasilitas lengkap, termasuk apartemen untuk para mahasiswa, itu dirancang dan didesain oleh arsitektur Italia. Karakter khas Roma, Italia tampak dalam ruang pertemuan terbuka di kampus mirip dengan Colloseum di Roma.

Cara berpikir pimpinan kampus itu bagi saya menarik. Bagaimana kampus dibangun. Kampus didesain untuk menyelesaikan tantangan territorial (territorial challenge). Cara berpikir ini mengingatkan saya pada apa yang dikatakan sejarawan Arnold J Toynbee, challenge and response. Setiap ada tantangan ada tanggapan. Begitulah kira-kira cara berpikir UM6P hadir untuk merespon tantangan yang dihadapi benua Afrika.

Karena itu mengapa Univesitas Mohammed VI Politeknik di Benguerir didedikasikan untuk riset aplikasi dan ilmu-ilmu pasti. Adapun untuk Rabat, ibukota Maroko, UM6P memfokuskan diri pada tata laksana, ekonomi dan ilmu sosial serta Ai Reach Center untuk Afrika Bussines School. Sedang untuk Casablanca yang dirancang sebagai pusat keuangan dan perekonomian, UM6P hadir untuk menjamin adanya kedekatan dengan dunia bisnis. UM6P membangun ekosistem usaha rintisan. Begitu juga untuk UM6P di Perancis dan Kanada. UM6P berkolaborasi dengan sejumlah pihak untuk menjawab tantangan Afrika. Pada tahun 2021, UM6P meluncurkan super kalkulator untuk keperluan riset dan inovasi.

Universitas Mohammad VI Politeknik menerapkan cara berpikir territorial challenge untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsanya.

Di tengah kepengaban dunia akademis Tanah Air, saya berhenti dan merenung sejenak di UM6P. Dunia pendidikan hadir untuk merespon tantangan wilayah. Tidak ada uniformitas atau penyeragaman perkuliahan. Semua tergantung pada tantangan di wilayah tertentu. Karena itulah, fokus UM6P di setiap wilayah berbeda-beda tergantung tantangan lokal yang disebut UM6P sebagai “territorial challenge.”

Ingatan saya melayang ke Ambon saat saya bertugas di Ambon, saat awal saya bekerja sebagai wartawan. Di Ambon telah berdiri tegak Universitas Patttimura. Bercermin pada way of thinking UM6P, apa juga tidak sepantasnya Universitas Pattimura fokus pada perkuliahan kelautan, perikanan, dan pengolahan hasil laut dengan segala aspek bisnisnya. Cara itu mungkin akan membuat dunia akademis tetap relevan dengan masyarakat. Kampus tidak menjadi Menara gading dan terlepas dari masyarakat.

Pikiran saya kembali ngelantur ketika fondasi bangsa ini habis dikoyak-koyak korupsi, apa tidak sebaiknya dibangun universitas yang menitiktekankan bagaimana mengatasi korupsi yang kian marak, bagaimana menyiapkan sumber daya manusia anti-korupsi, bagaimana menyiapkan sistem anti korupsi, bagaimana menyiapkan budaya antikorupsi dan bagaimana menghasilkan pemimpin-pemimpin yang komitmen besar memerangi korupsi d Tanah Air. Jika institute anti korupsi (sekadar nama) bisa dibentuk mungkin sepuluh tahun kemudian, bangsa ini bisa betul-betul siap mengatasi korupsi bangsa ini.

Ada baiknya, para guru besar ilmu hukum itu bukan hanya menikmati kredensial akademis yang kurang nyaman, melainkan juga memikirkan bagaimana dunia kampus mengatasi problem kebangsaan yakni korupsi, kolusi dan nepotisme yang kian merajalela dan tidak tahu malu. Diaspora lulusan Institut Antikorupsi pada satu saat akan menjadi pemimpin-pemimpin lokal yang menerapkan prinsip anti korupsi.

Saya banyak melantur saat berada di UM6P di Green City Benguerir. Hari kian siang, perjalanan harus dilanjukan ke Kota Merah, Marakesh dan selanjutnya ke kota-kota lain di Maroko…

BDM berfoto di area kampus UnIversitas Muhammad VI Politeknik, Green City, Benguerir, dalam perjalanannya ke Maroko.

(Budiman Tanuredjo)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *