3 PR Presiden Jokowi di Akhir Masa Pemerintahannya

“…baiknya penyelesaian PR-PR itu presiden baru saja. Jadi enggak usah dipaksakan oleh presiden yang lama untuk melantik, mengangkat orang. Nanti itu menimbulkan kecurigaan-kecurigaan, motif-motif yang kurang elok walaupun memang kewenangan masih ada…,”

Prof. Djohermansyah Djohan, Guru Besar ilmu Pemerintahan IPDN

Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo akan segera berakhir dalam beberapa bulan mendatang. Secara resmi Jokowi tak lagi memiliki wewenang sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan terhitung saat presiden terpilih Prabowo Subianto dilantik pada 20 Oktober mendatang.

Beberapa bulan jelang berakhirnya masa kekuasaan tersebut, Jokowi masih memiliki 3 pekerjaan rumah yang menunggu kepastian untuk diselesaikan.

Ketiga pekerjaan rumah itu semuanya terkait dengan ambisi sang presiden untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur.

Pertama, terkait keputusan presiden untuk pemindahan ibu kota yang belum jelas kapan dan siapa yang akan menandatanganinya. Kedua, belum ditunjuknya figur yang akan menjabat ketua dewan kawasan aglomerasi Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depol, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur). Dan ketiga, tentang Ketua Otorita IKN Nusantara yang saat ini masih diisi oleh pejabat pelaksana tugas.

Kepres Pemindahan Ibu kota

Hingga saat ini, status ibu kota negara Indonesia masih dipegang oleh Jakarta, meskipun Jakarta tak lagi disebut sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI), melainkan Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Perubahan penyebutan itu berlaku terhitung sejak Undang-Undang DKJ disahkan 25 April lalu.

Ibu kota belum dipindah walaupun pembangunan Nusantara, kota baru di Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur, yang dirancang menjadi ibu kota negara pengganti Jakarta terus berlanjut.

Guru Besar Ilmu Politik Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Djohermansyah Djohan menyebut satu-satunya hal yang menjadi penanda ibu kota resmi berpindah adalah ditandatanganinya keputusan presiden (kepres). Hingga hari ini, kepres yang dimaksud belum ada.

“Oh belum, jadi itu ada aturan mainnya di Undang-Undang IKN di pasal peralihan yang menyatakan bahwa untuk penetapan kepindahan dari Jakarta ke IKN Nusantara itu dengan keputusan presiden,” ujar Prof. Djoher dalam podcast Back to BDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo (10/7/2024).

Presiden Jokowi menyampaikan, kepres itu bisa ditandatangani oleh dirinya di sisa-sisa masa jabatannya, namun biss juga ditandatangani oleh presiden baru Prabowo Subianto setelah pelantikan.

Prof. Djoher menilai pernyataan itu menunjukkan adanya ketidakpastian, ketidakseriusan pemerintah dalam merencanakan pemindahan ibu kota.
“Menurut saya itu ketidakpastian. Pastinya, kalau memang all out betul-betul pengin ibu kotanya pindah ya jelasin aja, tegaskan aja,” ujar dia.

Untuk bisa benar-bebar dipindahkan, ibu kota baru tidak hanya perlu rampung dari segi kebutuhan dasar seperti air dan listrik, namun juga kesiapan fasilitas kantor-kantor pemerintahan beserta lembaga-lembaga negwra yang lainnya. Jika Kantor Kepresidenan sudah mulai berdiri, tidak halnya dengan kantor DPR, DPD, dan MPR yang belum terlihat adanya gerakan pembangunan secara fisik.

Padahal, semuanya harus paralel. Untuk bisa bekerja, Presiden butuh kehadiran lembaga-lembaga tinggi negara tersebut. Belum lagi  kantor-kantor kedutaan besar negara-negara sahabat yang menjadi syarat salah satu pengakuan internasional akan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Belum siapnya Nusantara menjadi pengganti Jakarta, dinilai Djoher mengharuskan Jokowi untuk bersikap tidak terburu-buru, tidak tergesa-gesa.

“Saya kira lebih baik alon-alon asal kelakuan, ojo kesusu. Kita minta Presiden ojo kesusu, hitung matang-matang, cermat-cermat. Yang penting IKN ibu kota negara ini kan sudah ada dasar hukumnya dan sudah ada gerakan pembangunannya. Dengan begitu tidak semudah itu bisa mengubah tidak jadi ke sana,” ujar pakar otonomi daerah itu.

Terlebih pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo nanti sudah jelas komitmennya bahwa akan melanjutkan kebijakan-kebijakan presiden sebelumnya, termasuk IKN secara bertahap.

“Lebih baik dengan persiapan yang matang,  tidak harus sekarang ya enggak apa-apa.Tapi itu sudah dianggap legacy (Jokowi) kan, memindahkan ibu kota by law sudah terjadi. Tapi secara phisically mungkin tidak perlu sekarang,” kata dia.

Jadi, ia menilai lebih baik limpahkan saja penyelesaiannya ke presiden baru, agar semua kelengkapan kebutuhan pemerintahan terbangun sempurna. Ingat, IKN diproyeksikan akan menjadi pusat pemerintahan.

Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Masih serangkaian dengan niatan memindah ibu kota ke Nusantara, DKI Jakarta yang kini berubah menjadi DKJ akan dibentuk menjadi sebuah kawasan aglomerasi.

Aglomerasi yang dimaksud meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur).

Dalam UU DKJ, ketua dewan kawasan aglomerasi nantinya akan ditunjuk oleh  presiden. Presiden siapa, Jokowi atau Prabowo? Itu yang masih menjadi pekerjaan rumah selanjutnya.
Djohar menganggap saat ini sebetulnya Presiden Jokowi bisa menunjuk orang untuk mempimpin kawasan aglomerasi Jabodetabekjur, karena kawasannya sudah ada, tidak seperti IKN yang baru dibangun.

Namun, ia menyampaikan lebih baik agar penunjukan itu dilakukan oleh Prabowo nanti.

“Bisa, tapi kembali baiknya penyelesaian PR-PR itu presiden baru saja. Jadi enggak usah dipaksakan oleh presiden yang lama untuk melantik, mengangkat orang. Nanti itu menimbulkan kecurigaan-kecurigaan, motif-motif yang kurang elok walaupun memang kewenangan masih ada sampai dengan tanggal 20 Oktober,” ucap Djoher.

Meski kewenangan masih ada, namun dari segi kepantasan hal itu dinilai kurang. Ketika sudah ada presiden baru yang terpilih, semestinya presiden lama memosisikan diri sebagai lame duck, tidak membuat kebijakan-kebijakan strategis apapun di sisa waktu yang ada, termasuk melantik pejabat. Meskipun tidak ada aturan khusus yang mengatur hal itu.

Kepala Otorita IKN

Pekerjaan rumah yang ketiga adalah belum adanya pejabat definitif yang menjadi Kepala dan Wakil Kepala  Otorita IKN sejak Bambang Susantono dan Donie Rahajoe meninggalkan posisi tersebut beberapa waktu yang lalu.

Saat ini, yang memimpin IKN adalah pejabat pelaksana tugas yang ditunjuk oleh Jokowi, yakni Menteri PUPR Basuki Hadimoeljono sebagai (Plt) Kepala Otorita IKN, dan Wakil Menteri ATR BPN Raja Juli Antoni sebagai (Plt) Wakil Kepala Otorita IKN.

Sama halnya dengan pengangkatan kepala dewan kawasan aglomerasi, kepala otorita IKN pun sebaiknya dipilih dan dilantik oleh presiden baru setelah 20 Oktober 2024.

“Iya itu (Jokowi) juga kan sudah lame duck, tidak boleh lagi bikin kebijakan yang strategis, cukup mengangkat PLT. PLT kan sudah ada. Sudah stop di situ, biar mereka kerja, toh juga bukan orang baru di soal-soal pengelolaan IKN. Dan berilah kesempatan kepada presiden yang akan dilantik 20 Oktober untuk bisa mengangkat kepala badan Otorita IKN yang baru,” tegas Prof. Djoher.

Undang-Undang Kepresidenan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, di masa-masa akhir jabatan seorang presiden seperti sekarang ini, tidak ada aturan khusus yang melarang presiden untuk membuat keputusan atau kebijakan apapun. Semua yang disampaikan hanya lah dalam konteks sebaiknya, sepantasnya, selayaknya.

Prof. Djoher menjelaskan, dalam masa pemerintahan yang tinggal beberapa bulan, otomatis pemimpin tidak akan menerima konsekwensi langsung atas kebijakan yang ia buat di masa-masa itu. Baik buruk akibat dari keputusannya akan dijalani oleh penggantinya yang saat ini sudah terpilih.

“Makanya kalau hemat saya Indonesia ini harus dibuat pagar-pagar, rambu-rambu. Kalau tidak, orang kemudian tabrak-tabrak. Undang-Undang Kepresidenan itu sangat kita perlukan. Pagar itu ada masa transisi, sehingga dengan demikian ada pegangan,” ujar Djoher.

Ia mencatat dalam konteks daerah, ketika petahana sudah hampir habis masa pemerintahannya kemudian sudah ada kepala daerah baru yang terpilih, si petahana membuat kebijakan sesuka hati di masa peralihan. Itu kemudian menjadi beban bagi kepala pemerintahan daerah yang baru.

“Seharusnya, kalau sudah ada presiden terpilih,  kita atur jangan membuat kebijakan strategis. Mengangkat orang, strategis. Kemudian mengatur pembiayaan, mengeluarkan uang juga itu termasuk yang strategis,” pungkas Djoher.

Dalam podcast bersama Budiman Tanuredjo, Prof. Djohermansyah Djohan juga membahas banyak hal lain, salah satunya tentang sistem pemilu serentak yang dinilai kurang tepat dilaksanakan di Indonesia juga Pilgub Jakarta yang kian riuh dibicarakan. Simak dialog selengkapnya di video berikut:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *