SKENARIO INDONESIA 2045 (2): Keluar dari Ancaman Negara Gagal


”Indonesia tahun 2045 telah mampu keluar dari ancaman negara gagal. Pada waktu itu, Indonesia telah menjadi negara industri yang cukup maju dengan struktur ekonomi belah ketupat. Jumlah kelas menengah sudah lebih besar dibandingkan jumlah penduduk miskin maupun konglomerat.”

Itulah salah satu kesimpulan Indonesia 2045 dalam Skenario Sungai yang disusun tim Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Tim itu diketuai Dr Panutan S Sulendrakusuma. Tim Lemhannas menyusun empat skenario Indonesia 2045. Skenario Mata Air (Kompas, 15/2), Skenario Sungai (Kompas, 16/2), Skenario Kepulauan, dan Skenario Air Terjun.

Pembangunan skenario sebagai upaya mengantisipasi masa depan sering digunakan perusahaan minyak asal Belanda, Shell. Kini, teori membangun skenario itu coba digunakan Lemhannas untuk membangun skenario Indonesia 2045. Adam Kahane, yang telah membangun skenario di sejumlah negara, tiga kali datang ke Indonesia untuk membangun skenario Indonesia 2045.

Skenario sungai dibangun dengan daya penggerak (driving force) pembangunan ekonomi. Sejumlah guru besar, birokrat lintas profesi, dan pemimpin ormas terlibat dalam pembangunan skenario Indonesia 2045. Dalam buku Skenario Indonesia 2045 terdapat sejumlah nama sumber, antara lain Azyumardi Azra, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Emil Salim, Hasyim Djalal, Paulus Wirutomo, serta tiga gubernur dari luar Jawa, yakni Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, dan Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi.

Diskusi terfokus dilakukan di sejumlah kampus di luar Jawa.

”Kita memang ingin menampung pandangan mereka terhadap masa depan Indonesia,” ujar Panutan.

Pada Skenario Sungai, menurut Suhardi Alius, yang juga Sekretaris Utama Lemhannas, dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, kemitraan antara sektor besar, menengah, dan kecil berjalan baik. Kemitraan itu juga didukung infrastruktur, tata ruang, reforma agraria, kebijakan perbankan, fiskal, moneter, dan pasar modal.

”Hasilnya, sektor agroindustri berkembang dan terjadi peningkatan kemakmuran di pedesaan karena dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih tinggi,” kata Suhardi.

Dalam narasi ini, pada tahun 2045, pada skenario tim Lemhannas, telah bekerja mekanisme ”Indonesia Incorporated”, yakni sinergi semua pelaku ekonomi dengan pemerintah, parlemen, dunia riset, dan pendidikan.

”Sementara dalam pemerintah telah berkembang budaya dan etos kerja yang lebih profesional,” tambah Suhardi.

Skenario ini sejalan dengan prediksi McKinsey (2012). Prediksi McKinsey, Indonesia tahun 2030 akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-7 di dunia yang memiliki 135 juta orang kelas menengah serta 113 juta pekerja berkemampuan.

Dalam Skenario Sungai, proses pembangunan secara umum sudah relatif berbasis iptek pada semua tingkatan. Namun, permasalahan ekonomi membawa dampak pada kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial serta korupsi masih menjadi tantangan besar. Juga masih akan terjadi konflik lahan dan buruh, yang mendapat upah di bawah standar.

Adapun Indonesia sebagai negara kepulauan dengan penduduk besar dan sangat beragam juga masih akan menjadi persoalan yang berdampak secara ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan serta keamanan.

”Posisi Lemhannas adalah mengantisipasi kemungkinan segala skenario yang akan terjadi,” kata Gubernur Lemhannas Budi Soepandji saat ditanya soal posisi Lemhannas dalam pembangunan empat skenario itu.

Keluar dari ancaman

Skenario Sungai yang dibangun tim Lemhannas diawali dengan asumsi bahwa Indonesia menuju 2045 telah keluar dari ancaman negara gagal. Isu soal negara gagal pernah menjadi isu politik hangat dalam sejarah Indonesia pasca reformasi.

Pada tahun 2012, The Fund for Peace (FFP) menempatkan Indonesia dalam peringkat ke-63 dari 178 negara. Salah satu contoh negara gagal adalah Somalia. Harian Kompas, 20 Juni 2012, melaporkan, menurut The Fund for Peace, kondisi Indonesia memburuk terutama di tiga indikator yang digunakan untuk menyusun indeks negara gagal. Ketiga indikator itu adalah tekanan demografis, protes kelompok minoritas, dan isu hak asasi manusia. Penilaian The Fund for Peace tersebut mendapat tanggapan dari sejumlah pejabat Indonesia kala itu.

Pada tahun 2015, menurut The Fund for Peace, Indonesia menunjukkan tren yang terus membaik. Berdasarkan data tren dari The Fund for Peace, dalam kurun waktu 2006-2015, Indonesia dalam tren membaik dengan nilai 74 dari 178 negara, sedangkan pada tahun 2012 dengan skor 80. Salah satu faktor yang belum menunjukkan perbaikan adalah pengaduan kelompok minoritas.

Panutan, ketua tim pembangunan skenario Indonesia 2045, mengemukakan, penyusunan Skenario Sungai yang menempatkan pola pembangunan ekonomi driving force menangkap kekhawatiran Indonesia bakal terjebak dalam middle income trap (jebakan kelas menengah), yang dalam bahasa tim Lemhannas disebut sebagai negara gagal. Ada kekhawatiran kian melebarnya kesenjangan sosial, kesenjangan spasial antara barat dan timur untuk menghadirkan keadilan sosial. Ada juga bayangan terjadi aspirasi pemisahan diri.

”Situasi itulah yang menjadi suasana diskusi ketika skenario itu disusun,” ujar Panutan.

Sebagai penyusun skenario bersama ahli lain, Panutan tetap optimistis dengan masa depan Indonesia 2045. Masalahnya adalah bagaimana pemerintah menyelesaikan pekerjaan rumah yang timbul, yakni mengatasi kesenjangan sosial yang kian melebar, kemiskinan, masalah lahan, dan persoalan lain sebagai dampak pembangunan.

Sri Palupi, peneliti Institute of Ecosoc Rights, dalam diskusi di Redaksi Kompas bertajuk ”Membayangkan Indonesia 100 Tahun”, 5 Agustus 2015, mempunyai pandangan senada. Eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan daya dukung lingkungan telah menciptakan bencana berkelanjutan di Indonesia.

Menurut laporan The Asia Pacific Disaster Report 2010, selama kurun waktu 1980-2009, Indonesia menempati urutan kedua setelah Banglades dalam daftar jumlah korban tewas akibat bencana di Asia Pasifik, dengan kerugian ekonomi 22,5 miliar dollar AS (Rp 301,51 triliun). Pada kurun waktu 2004-2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadi 4.409 kali bencana di Indonesia.

”Tingkat kerentanan terhadap bencana lebih besar diderita warga miskin akibat ketimpangan sosial ekonomi dan lingkungan alam,” tulis Palupi dalam makalah bertajuk ”Tantangan Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”.

Menurut Palupi, menguatnya kekuasaan korporasi membuat wacana hak asasi manusia di sektor bisnis kian terpinggirkan. Kondisi itu diperburuk mekanisme hak asasi manusia internasional untuk korporasi yang sifatnya tidak mengikat.

Palupi mengkritik penanggulangan kemiskinan pemerintah yang tidak diarahkan untuk menciptakan lompatan bagi orang miskin masuk dalam kelas menengah. Akibatnya, ekonomi bisa saja tumbuh, tetapi jumlah orang miskin belum juga berkurang.

Bagi Panutan, problem itulah yang harus diselesaikan pemerintah. ”Skenario dibangun dan potensi masalah yang muncul harus diantisipasi. Memang itu tugas tim pembangunan skenario,” katanya.

Jika itu bisa dikelola dengan baik, ujar Panutan, pada tahun 2045 ketahanan ekonomi Indonesia menjadi lebih tangguh.

(Budiman Tanuredjo, 16 Februari 2016)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *