“Pilkada serentak 27 November 2024 menjadi pertaruhan hajatan demokrasi belajar dari Pemilu 2024 publik menaruh harapan besar agar Pilkada betul-betul bisa mengembalikan esensi demokrasi sebagai kedatan rakyat tanpa intervensi kekuatan politik ataupun kekuatan kapital”
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan segera digelar pada 27 November 2024. Gemuruhnya mulai terdengar, mulai dari siapa calon yang banyak akan diajukan, bagaimana partai politik tawar-menawar untuk berkoalisi, hingga intervensi RI-1, Presiden Joko Widodo yang lagi-lagi ditengarai terjadi seperti pada Pilpres lalu.
Dalam program Satu Meja The Forum (4/7/2024) sejumlah narasumber hadir dan mendiskusikan perihal adalah keterlibatan Jokowi dalam berlangsungnya Pilkada nanti.
Majunya Dinasti Jokowi: Bobby dan Kaesang
Ketua Tim Pemenangan Pilkada PDIP, Adian Napitupulu mengaku tidak ambil pusing kalau pun Jokowi kembali cawe-cawe, mrngajukan Bobby Nasution maupun Kaesang di sejumlah daerah pemilihan.
Bagi PDIP, dalam kondisi politik minim etika seperti sekarang ini, yang paling dibutuhkan adalah kekuatan, bukan lagi soal regulasi.
“Kita enggak peduli, mau Bobbynya maju, mau Kaesangnya maju, mau Jokowi maju lagi juga enggak peduli. Pilkada ini akan kita lewati dan kita dilatih untuk bertarung sekuat-kuatnya sekeras-kerasnya sehebat-hebatnya dan seterhormat-hormatnya,” kata Adian.
Sementara itu, dari pihak Golkar sebagai salah satu partai anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengaku di internal partai, mereka memiliki mekanisme tersendiri dalam menentukan siapa yang akan didukung dalam Pilkada, salah satunya melalui survei.
“Semua proses penentuan kepala daerah tersebut itu dilakukan dengan cara survei, sebagai salah satu alat sejauh mana rakyat memotret calon-calon yang muncul di dalam proses Pilkada. Bagi kami survei menjadi sangat penting untuk melihat sejauh mana kader-kader Partai Golkar diterima oleh masyarakat,” ujar politisi Golkar, Ace Hasan Syadzily.
Selain faktor survei, Golkar juga akan mempertimbangkan soal koalisi. Di sejumlah daerah, jumlah kursi yang dimiliki partai berlambang pohon beringin itu tidak cukup untuk mengusung paslon sendiri, sehingga dialog dengan partai koalisi dinilai penting. Dialog ini ditujukan untuk mendapatkan nama calon yang memiliki kesamaan visi-misi dengan presiden terpilih Prabowo Subianto. Sehingga program-program dari pusat dapat diterjemahkan dan dilaksanakan dengan baik hingga ke tingkat daerah.
Soal masih adanya pengaruh Jokowi atau Jokowi effect dalam memenangkan paslon di Pilkada, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera meyakini akan terus menurun, meski saat ini angkanya masih terbilang signifikan, 54 persen setidaknya menurut hasil survei Litbang Kompas.
“Itu angka sekarang, saat 27 November pas pencoblosan kan Pak jokowi bukan presiden lagi, kecuali mau ada dua matahari kembar. Saya meyakini masyarakat menjadi lebih rasional pada saat 27 November nanti,” tegas Mardani.
Ia beranggapan, partai-partai politik lebih baik fokus memperhatikan dan melahirkan kader-kader terbaik ketimbang sibuk mengincar anak presiden yang disebut-sebut memiliki elektabilitas tinggi. Baik buruknya kualitas kepemimpinan kader menjadi salah satu bentuk pertanggungjawaban kepada publik, bahwa proses kaderisasi di internal parpol berjalan.
Berbicara soal efek jokowi dalam panggung demokrasi nasional, Mardani tidak sepakat jika Jokowi disebut memiliki kekuatan besar, daya pikat dahsyat, dan sebagainya. Pun dengan anak-menantunya.
“Jokowi orang biasa kok dia menjadi besar kalau partai-partai mengecilkan diri menjadi di bawah Jokowi. Tapi kalau partai, dia adalah institusi besar tempat kaderisasi yang dipercaya konstitusi untuk membangun negeri. Karena sampai hari ini tidak ada yang bisa mengajukan capres-cawapres kecuali partai politik,” sebut Mardani.
Ia menyebut partai politik menjalankan organisasi, memiliki kapasitas kepemimpinan, dan melakukan pelayanan publik. Jadi selama partai-partai politik melakukan pekerjaannya dengan benar, mereka jauh lebih besar ketimbang seorang Jokowi maupun keluarganya.
Gerindra, sebagai partai utama pengusung Prabowo-Gibran dan memiliki keterkaitan erat dengan Jokowi dalam Pemilu 2024 juga menegaskan pihaknya fokus pada kader. Sebisa mungkin kader terbaik diajukan menjadi pemimpin di berbagai daerah, baik sebagai calon pemimpin utama, maupun wakilnya.
“Kami partai Gerindra sebisa mungkin kader-kader kami maju sebagai calon kepala daerah. Apabila tidak memungkinkan, sebagai calon wakil kepala daerah. Kalau tidak memungkinkan juga setidaknya dari partai yang berkoalisi dengan kami,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman.
Hingga hari ini, Habib mengaku Bobby Nasution, menantu Jokowi, adalah kadernya. Sementara Kaesang, bungsu Presiden, merupakan ketua partai politik yang dalam Pilpres lalu bekerja keras turut memenangkan Prabowo-Gibran. Jadi tidak ada masalah jika Bobby ataupun Kaesang nantinya maju dalam kontestasi pilkada dan didukung oleh Gerindra, selama hal itu memungkinkan.
“Jadi soal tuduhan cawe-cawe enggak cawe-cawe, sudahlah kita capek berdebat, capek berkelahi. Kita serahkan kepada rakyat yang akan menjadi hakimnya nanti. Jangan kita habis energi, lebih baik kita menyiapkan energi kita untuk bertarung secara fair ya siapapun lawan yang akan mungkin muncul ya silakan saja, kita lalui prosesnya secara demokratis,” ujar Habib.
Partai anggota KIM yang lain, PKB, juga menegaskan tidak menjadikan arah politik Jokowi sebagai acuan utama mereka dalam memilih calon pemimpin daerah. Sama dengan Golkar, PKB mengaku memiliki mekanisme tersendiri dalam penentuan ini.
“Pendekatannya memang pendekatan rasional. Tentu pertama kita akan mengutamakan para kader, selama kader kita punya tingkat elektibilitas yang tinggi kita berharap partai-partai sahabat yang lain juga bisa berkoalisi dengan kita dalam rangka untuk mendorong kader. Yang kedua ukuran rasionalnya adalah kita akan lihat hasil survei. Persoalan elektabilitas, bagaimana aspirasi dari masyarakat, penolakannya,apakah dukungannya,” papar politisi PKB, Daniel Johan.
Di sisi netral, pengamat politik Ahmad Khoirul Umam menyebut sesungguhnya pengaruh Jokowi dalam Pilkada November nanti tak lagi sesignifikan hari ini. Pasalnya, pada saat pilkada tiba, Jokowi sudah lengser dari kursi kepresidenam sebulan lamanya, sejak 20 Oktober 2024.
Meski demikian, ia mengatakan pertahanan terkuat pasca lengser adalah membentuk jaring-jaring kekuasaan yang baru.
“Dalam proses menuju ke sana tentu Pak Jokowi tidak akan lepas tangan dari upaya untuk mengawal proses sekaligus juga menata apa yang sudah diniatkan, apa yang sudah dihajatkan. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan publik apakah memang Pak Jokowi berniat memiliki hajat politik untuk memenangkan salah satu atau dua dari lingkaran terdekatnya,” kata Umam.
Termasuk soal desas-desus majunya Kaesang dalam pilkada dan sudah disodoran ke partai-partai politik, karena Mahkamah Agung (MA) sudah membuka jalan baginya melalui persyaratan usia calon yang mengalami perubahan.
“Strategi yang sering kali dilakukan oleh Pak Jokowi adalah potensi dibuka kemudian diambangkan, di situlah kemudian ruang kompromi dan negosiasi dibuka, dan kemudian ketika memang tidak ada resistensi yang begitu optimal maka itulah dilakukan keputusan maju atau tidak,” sebut Umam.
Jokowi kembali cawe-cawe?
Isu bahwa Presiden kembali ikut campur alias cawe-cawe dalam Pilkada 2024 sudah menjadi perbincangan luas. Terbukti atau tidak, isu itu tetap riuh dibicarakan.
Menurut Daniel Johan, entah benar atau tidak Presiden cawe-cawe, persepsi publik terlanjur terbentuk. Jika pada Pemilu Presiden kemarin posisi Jokowi masih sebagai presiden, maka dalam Pilkada nanti dia tak lagi menjabat sebagai pucuk pimpinan pemerintahan, sehingga tidak perlu terlalu ditakutkan.
“Waktu Pak Jokowi masih presiden, Pilkada DKI bahkan yang menang Pak Anies, apalagi kalau nanti presidennya sudah Pak Prabowo. Seharusnya kita tidak harus terlalu mengkhawatirkan,” kata dia.
Sementara itu, mengaku tak ambil pusing, Adian Napitupulu menyatakan dengan tegas bahwa Jokowi pasti cawe-cawe dalam Pilkada 2024. Ia pun menyebut tak jadi soal ketika anak menantu Presiden akan bertarung, meski sampai hari ini Jokowi menyebut partai politik lah yang memiliki hak penuh untuk mengajukan nama, bukan dirinya
“Sudahlah, beberapa kali juga ngomong begitu. Dia sikapnya berbeda dengan kata-katanya. Tapi sudahlah kita enggak mau menghabiskan usia kita ngomongin Jokowi toh,” ujar Adian.
Gerindra sebagai parpol yang kini diasosiasikan dekat dengan Jokowi, tidak menampik citra baik yang dimiliki oleh seorang politisi akan membuat orang-orang terdekatnya mendapatkan citra serupa. Habiburokhman menyebut itu sebagai cara masyarakat mengapresiasi kerja pemimpin yang pernah memberi kepuasan bagi mereka.
“Pak Jokowi ini apabila benar nanti ada keluarganya maju, maka saya yakin banyak kenangan baik rakyat terhadap Pak Jokowi ini. Pak Jokowi karakternya dinilai baik, track record-nya dinilai baik, apakah banyak ataukah sedikit kan sangat relatif ya, pasti akan ada pengaruh terhadap orang yang diendorse,” jelas Habib.
Senada dengan Gerindra, Golkar juga mengakui bagaimana tingginya tingkat kepuasan masyarakat kepada Jokowi. Bahkan, tingginya angka kepuasan masyarakat itu masih terjadi di akhir masa kepemimpinan keduanya. Citra yang baik itu tidak bisa dipungkiri memberi efek tersendiri pada calon yang didukung olehnya.
“Soal partai-partai memberikan satu apresiasi atau memberikan satu tempat terhadap Presiden Jokowi, tentu saya kira fatsunnya. Apalagi kita saat ini masih menjadi partai pendukung Presiden Jokowi, tentu kami harus mendengar apa yang menjadi masukan beliau, karena bagaimanapun di bawah kepemimpinan beliau selama dua periode publik bisa menilai terhadap kinerja beliau gitu,” sebut Ace Hasan Syadzily.
Pilkada Bebas Intervensi
Melihat realitas hari ini, intervensi kekuasaan pada gelaran pilkada memang bukan yang mhstahil untuk kembali terulang. Namun, bukan berarti tidak ada harapan untuk Indonesia bisa menyelenggarakan pesta demokrasi dengan seadil-adilnya.
Ada sejumlah hal yang perlu dipastikan guna mewujudkan pilkada yang jujur dan adil. Daniel Johan berpendapat perlunya netralitas seluruh aparatur disemha tingkatan dan tidak ada penyebarluasan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat.
Mardani Ali Sera menambahkan, pentingnya seluruh pihak menolak upaya cawe-cawe penguasa, menolak intervensi, menolak penggunaan instrumen kekuasaan, dan rakyat harus menjadi semakin cerdas dalam menentukan pilihannya.
Seragam dengan dua politisi lainnya, Adian Napitupulu juga mengemukakan hal yang sama demi pilkada bebas intervensi penguasa.
“Kita akan berjuang agar tidak ada intervensi, tidak ada intimidasi, tidak ada bansos-bansosan tidak ada pemanggilan kepala desa dan bla bla bla bla, enggak ada. Kita mau memastikan kualitas Pilkada ini jauh lebih baik dibandingkan kualitas Pilpres,” tegas Adian.
Secara praktis, PDIP akan berkomunikasi dengan banyak kelompok dan organisasi lintas partai, melakukan pendidikan politik yang lebih jauh terhadap rakyat agar bisa menjadi saksi ketika kecurangan terjadi, dan meminta masyarakat aktif melaporkan kecurangan terhadap DPR.
Kita juga harus memastikan kontestasi ini bebas dari insinuasi, fitnah terselubung, bebas dari fitnah beneran juga, bebas dari tuduhan-tuduhan tidak berdasar hanya karena berbeda kepentingan,” Habib melengkapi pendapat yang lain.
Menutup dialog, Ahmad Khoirul Umam mengajukan dua cara untuk menutup pintu intervensi. Pertama, melalui panggung depan politik. Seluruh jaringan masyarakat sipil dan media bergerak mengawasi dan aparat tidak menyalahgunakan wewenangnya.
Kedua adalah melalui panggung belakang.
“Yang bisa kita lakukan adalah wake up call secara moral politik, menjadi moral call yang betul-betul bisa didengar oleh para elit karena per hari ini tampaknya ada semacam upaya untuk menghadirkan shortcut dalam konteks mencapai kekuasaan,” kata Umam.
Dialog selengkapnya dapat disaksikan melalui video YouTube berikut ini:
Leave a Reply