Kronisme Kian Menjadi-jadi

Demokrasi Indonesia tampaknya sedang berbalik arah. Gejala kronisme dan nepotisme mulai mengemuka. Oligarki menguat. Rakyat terpinggirkan. Kebebasan sipil mulai dikontrol. Oposisi tak terdengar. Kekuatan tengah bersikap apatis atau memang sudah tak ada. Seorang politikus mengirimkan pesan kepada saya, ”Kalau saya mau begini, kamu mau apa….” Kesan itulah yang ditangkap politisi soal semangat kebatinan sekarang ini.

Sabtu 18 Januari 2020 saya menulis kegelisahan tersebut dalam judul, “Kronisme di Era Demokrasi”. Dan hari ini, kegelisahan kian menjadi-jadi. Kronisme dan nepotisme kian menjadi-jadi. Tanpa harus ada rasa malu. Tanpa ada ewuh pakewuh. Peduli kata orang. “Kalau saya mau begini, kamu mau apa.” Menabrak aturan adalah hal biasa. Toh, partai politik takkan bersuara.

Lembaga hukum tak berdaya. “Fondasi negara hukum telah ambruk,” kata anggota DPR Benny K Harman dalam obrolan saya di podcast saya pada hari Selasa, 25 Juni 2024. Hukum digunakan sesuai dengan keinginan penguasa. “Kalau saya mau, kamu mau apa…”

Kembali pada esai saya, 18 Januari 2020. Kronisme bangkit bisa dibaca di berita dan tayangan televisi, Jumat, 10 Januari 2020. Ada kabar Gubernur Riau Syamsuar dan Sekretaris Provinsi Riau Yan Prana Jaya Indra Rasyid melantik sanak keluarganya sebagai pejabat. Kompas.com menulis, ”Menantu Gubernur hingga Istri Sekda Duduki Jabatan Strategis di Provinsi Riau”. Pelantikan terjadi pada Selasa, 7 Januari 2020, tetapi baru terberitakan pada Jumat, 10 Januari 2020.

Menantu gubernur, ajudan gubernur, dan istri sekretaris provinsi dilantik menjadi pejabat. Pengangkatan kerabat itu dibenarkan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Riau Ikhwan Ridwan, seperti dikutip Kompas.com. ”Iya (ada), itu kan enggak ada masalah, dan enggak melanggar aturan,” kata Ikhwan.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo (kini almarhum) mengaku sudah memperingatkan Gubernur Riau Syamsuar untuk tidak melakukan KKN. Namun, menurut Tjahjo, tidak ada aturan yang dilanggar. ”Jangan dilihat dia anak siapa, dia bapaknya siapa, tapi sesuai dengan kapasitas. Kalau sesuai mekanisme dan pergantiannya seizin Kemendagri, saya kira enggak ada masalah,” kata Tjahjo.

Sejarah mencatat, tiga Gubernur Riau, Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun, terjerat korupsi untuk kasus berbeda.
Sebelumnya, gejala kekerabatan di era demokrasi muncul di Blitar, Jawa Timur. Dua istri Wakil Bupati Blitar Marhaenis Urip Widodo, yakni Halla Unariyanti dan Fendriana Anitasari, dilantik menjadi kepala desa pada Jumat, 13 Desember 2019. Mereka terpilih secara demokratis dalam pemilihan kepala desa.

Keluarga Presiden Joko Widodo mulai terpancing ikut dalam kontestasi politik. Putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, ancang-ancang ikut pemilihan wali kota Solo, Jawa Tengah. Kini, di tahun 2024, ikut kontesasi pemilu presiden dan terpilih sebagai Wakil Presiden bersama Prabowo Subianto.

Sementara, Bobby Nasution, menantu Presiden, akan ikut dalam pemilihan wali kota Medan, Sumatera Utara. Itu hak politik keduanya. Tak ada aturan yang dilanggar. Keduanya menempuh jalur demokrasi. Dalam penyusunan kabinet pun terjadi hubungan kekerabatan. Hubungan suami-istri, adik-kakak ikut mewarnai.

Sejarah berulang. Presiden Soeharto pada Selasa, 14 Maret 1998, mengumumkan sejumlah menteri, di antaranya Siti Hardijanti Rukmana sebagai Menteri Sosial. Harian Kompas, 15 Maret 1998, menulis dengan judul besar, ”Presiden Umumkan Kabinet—Seluruh Rakyat Dambakan Krisis Segera Diatasi”.

Keputusan Presiden Soeharto mengangkat putrinya sebagai menteri tergolong berani atau terlalu percaya diri. Di tengah krisis kepercayaan, Soeharto menggunakan hak prerogatifnya mengangkat putrinya sebagai anggota Kabinet Pembangunan VII.

Keputusan Soeharto memancing sentimen negatif. Krisis moneter berubah menjadi krisis sosial dan politik. Gelombang unjuk rasa terjadi menuntut turunnya Soeharto. Gerakan reformasi itu mencapai puncaknya ketika Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden pada 20 Mei 1998. Orde Baru tumbang.

Di tengah tekanan unjuk rasa yang memakan korban jiwa, MPR melahirkan Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tanggal 13 November 1998, MPR mengeluarkan ketetapan MPR dan memerintahkan penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan mampu membebaskan diri dari praktik KKN. MPR memerintahkan upaya pemberantasan KKN dilakukan tegas terhadap siapa pun, terhadap pejabat negara, mantan pejabat negara, kroni, swasta/konglomerat, termasuk mantan presiden. Nepotisme didefinisikan sebagai setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya.

Kini, akronim KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dipelesetkan menjadi narik konco konco atau narik keluarga keluarga untuk ikut menikmati kekuasaan. Mumpung berkuasa. Adakah aturan dilanggar? Mungkin saja tidak. Tapi, langkah itu melukai perasaan rakyat.

Masa lalu selalu aktual. Sudah menljadi naluri penguasa, untuk mempertahankan dan menambah kekuasaannya. Kekuasaan itu memang menggetarkan (tremendum) dan memesona (fascinosum), tetapi juga bisa memabukkan. Ketika seseorang mulai rakus akan kekuasaan, sejarah juga mengajarkan bahkan kekuasaan itu bisa menumbangkan dirinya. Presiden Soeharto jatuh setelah berkuasa 32 tahun. Tiga gubernur Riau dipenjara karena kasus korupsi. Seperti ditulis jurnalis P Swantoro dalam buku Masa Lalu Selalu Aktual (2007), sejarah selalu memberi pelajaran pada kita semua (historia docet).

(Budiman Tanuredjo)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *