Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama sungguh galau dengan maraknya korupsi di negeri ini. Bagaimana mungkin, di era demokrasi, bisa terjadi hampir separuh gubernur dan bekas gubernur di republik ini tersangkut kasus korupsi. Belum lagi, masih ada 155 pejabat daerah yang terjerat korupsi.
*Pengantar: Catatan ini saya tulis pada 24 Februari 2011 soal maraknya korupsi dan kaitannya dengan demokrasi. Esai itu, meski sudah 13 tahun rasanya masih tetap relevan dengan situasi kebangsaan saat ini. bdm
Kegalauan itu disampaikannya saat membuka Seminar Nasional “Korupsi yang Memiskinkan” yang diadakan Kompas di Hotel Santika, Jakarta. Korupsi menjadi penyakit bangsa ini, sejak dulu hingga kini!
Upaya memeranginya terus dilakukan, namun belum menunjukkan hasil. Lembaga pengawas korupsi bertebaran, namun korupsi tetap saja ada, bahkan kian meluas. Lembaga donor tampaknya frustrasi dengan situasi ini. Paling tidak itu tecermin dari pernyataan Laode M Syarif, PhD, Chief of Cluster for Security in Justice. Ia menyebut survei yang dilakukan Partnership for Governance Reform soal persepsi korupsi di Indonesia pada tahun 2001 tidaklah berubah sampai sekarang. “Kami mungkin telah gagal,” ucap pria yang meraih PhD dari University of Sydney.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan bangsa ini?
Biaya demokrasi yang mahal dituding sebagai penyebab terjadinya korupsi di sejumlah daerah. Biaya untuk bertarung menjadi gubernur bisa berkisar Rp 80 miliar (tergantung dari daerahnya), sementara pendapatan gubernur tak akan sebesar itu. Lalu dari mana biaya itu diperoleh? Ya, tentunya diupayakan kembali saat menjadi gubernur atau bupati. Itulah model politik transaksional yang kini sedang terjadi.
Pertanyaan lain yang selalu menghinggapi adalah sungguh-sungguh seriuskah bangsaini memberantas korupsi. Jangan-jangan banyak yang senang dengan iklim yang korup, di mana uang suap, uang semir, amplop merajalela di setiap meja birokrasi.
Program antikorupsi dijalankan, tapi semata-mata hanya karena ada donor yang mau mensponsorinya. Ide Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman bukanlah ide murni bangsa ini. Itu adalah desakan dari luar. Kelahiran lembaga pengawas itu tidaklah jelek, tapi mungkin karena dipandang sebagai proyek, geregetnya kurang terasa.
Jawaban meyakinkan memang belum didapat. Namun, sebuah buku tipis karya almarhum I Wibowo, Negara dan Bandit Demokrasi (2011), mungkin bisa memberikan perspektif. Dalam buku itu ada kumpulan artikel soal demokrasi di Indonesia dan perdebatan dengan sejumlah ahli di harian Kompas tahun 2003.
Wibowo salah satunya mengutip sebuah buku, Power and Prosperity (2000) karya Mancur Olson (1932-1998). Tesis Olson inilah yang dipakai untuk menunjuk salah satu kelemahan demokrasi di Indonesia. Dalam buku itu, Olson menunjuk fakta adanya roving bandits (bandit yang mengembara) dan stationary bandits (bandit yang menetap).
Terasa kasar memang menyebut bandit untuk ukuran Indonesia. Tapi karena itu adalah tesis Olson, saya tak dalam posisi mengubahnya. Memang bukan Indonesia yang dijadikan sampel oleh Olson, tapi Uni Soviet. Ia menggambarkan ketika Uni Soviet mengumumkan demokrasi, bukan demokrasi yang bertakhta, tetapi para bandit.
Lalu, apa kaitannya dengan demokrasi? Demokrasi mengharuskan sirkulasi elite secara periodik. Dalam situasi inilah, aji mumpung terjadi. Sebelum pemilu berikutnya digelar, yang terpikir adalah bagaimana mengembalikan utang investasi politik. Mumpung masih berkuasa, kekayaan negara disabet. Inilah yang dikonstruksikan Olson sebagai roving bandits yang mengancam demokrasi.
Apakah tesis Olson itu jawaban atas maraknya korupsi dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Rote? Dari eksekutif hingga legislatif? Dari advokat hingga hakim? Entahlah, tapi itu patut direnungkan. Ironisnya lagi, proyek kantin kejujuran di sekolah pun banyak yang bangkrut.
Lalu, Wibowo dalam tulisan “Memaafkan Demokrasi” menyebut penegakan hukum menjadi salah satu solusi untuk atasi bandit. Sedangkan solusi jangka panjang adalah pendidikan antikorupsi sejak dini.
(Budiman Tanuredjo, Kompas, 24 Februari 2011)
Leave a Reply