”Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur itu sulit diperbaiki”.
Mohammad Hatta
Colomadu adalah nama sebuah daerah di mana pernah berdiri pabrik gula di Solo, Jawa Tengah. Kini, Colomadu diubah oleh Kementerian BUMN menjadi museum tentang gula dengan nama dagang De Tjolomadoe. Sabtu pekan lalu, saya jalan-jalan ke museum. Selain soal gula, yang menarik adalah kutipan kata bijak dari sejumlah tokoh yang terpasang di dinding museum.
Salah satu kutipan menarik adalah kutipan dari Proklamator Mohammad Hatta (12 Agustus 1902-14 Maret 1980).
Hatta dikutip demikian, ”Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur itu sulit diperbaiki”.
Nilai kejujuran itu sangat relevan di era demokrasi dol tinuku (demokrasi jual beli). Tiba di Jakarta, saya membaca buku berjudul KPK Berdiri untuk Negeri (2019) yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Di buku itu ada lagi penggalan kutipan antara Hatta dan Rahmi Hatta, istrinya. Demikian kutipannya:
”Ayah, kenapa tidak bilang kalau akan ada pemotongan uang? Uang yang susah payah ditabung jadi tidak cukup lagi untuk beli mesin jahit”.
Yuke, seandainya saya mengatakan padamu, engkau pasti menyampaikan pada ibumu, lalu kalian berdua mungkin akan memberi tahu kawan lainnya. Itu tidak baik…”.
Itulah penggalan percakapan Hatta dan Rahmi Hatta (Yuke). Yuke tiap bulan menyisihkan uang yang diberi suaminya. Yuke menabung untuk membeli mesin jahit. Ketika jumlah tabungannya sudah cukup untuk dibelikan mesin jahit, tiba-tiba Wakil Presiden Mohammad Hatta, pada 19 Maret 1950, mengumumkan pemotongan nilai rupiah (sanering). Nilai uang kertas Rp 5 ke atas dinyatakan hanya bernilai separuh. Tabungan Yuke pun berkurang jauh nilainya. Mesin jahit tak terbeli.
Peristiwa itu terjadi 69 tahun lalu, tetapi relevan diketengahkan. Hatta adalah salah satu dari sekian orang besar yang dimiliki republik ini. Dalam posisinya sebagai wakil presiden, Hatta bisa membisikkan rencana kebijakan pemerintah kepada keluarganya. Namun, Hatta tidak melakukannya. Dia teguh pada pendirian. Dia teguh pada integritasnya. Sebab, integritas dan kejujurannya itulah, nama Hatta diabadikan sebagai nama anugerah gerakan antikorupsi, Bung Hatta Anti Corruption Award. Presiden Joko Widodo, saat menjadi Wali Kota Solo, mendapat Bung Hatta Anti Corruption Award pada 2010.
Kisah anak bangsa juga datang dari Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Dia tidak pernah tergoda mengambil uang negara yang dikelolanya. Padahal, kehidupan keluarganya kekurangan. Demi menyambung hidup, sang istri, Halimah, berjualan sukun goreng. Ada juga kisah Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung. Seperti ditulis dalam buku itu, seorang bupati mengisi bensin di tangki mobil Lopa. Lopa marah dan meminta agar tangki dikosongkan kembali. Ada juga kisah Agus Salim dan kisah mantan Kapolri Jenderal Hoegeng.
Kisah di atas adalah sebagian litani kejujuran anak bangsa. Di tengah masifnya korupsi, bangsa ini pernah memiliki anak bangsa yang mengedepankan kejujuran. Mengedepankan integritas. Membedakan milikmu dan milikku. Pemerintah dan pribadi.
Besar kecilnya bangsa ditentukan kualitas manusianya. Mengutip Proklamator Soekarno, ”tiap bangsa punya orang besar. Tiap periode dalam sejarah mempunyai orang besar. Tetapi, lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar dari Stalin adalah jiwa Stalin, lebih besar dari Roosevelt adalah jiwa Roosevelt…”. Adapun Hatta dengan mengutip penyair Jerman, Friedrich Schiller, mengatakan, ”Sebuah abad besar telah lahir, tetapi ia menemukan generasi yang kerdil.”
Apakah bangsa ini tengah bergerak melahirkan generasi kerdil? Biarlah sejarah mencatatnya. Kejujuran yang menjadi esensi penting dari Hatta mulai meredup. KPK yang awalnya dianggap sebagai kebutuhan bangsa, digerogoti dan dijadikan musuh bersama. Ketika korupsi sempat dianggap sebagai musuh utama bangsa, kini ia dianggap sebagai penghambat investasi. Terjadi dekonstruksi makna di sana. Padahal, Amos Bronson Alcott (1799-1888), pendidik di Amerika Serikat, pernah mengatakan, ”Sebuah pemerintahan yang hanya melindungi kepentingan bisnis, tak lebih dari sekadar cangkang, segera runtuh oleh korupsi itu sendiri dan pembusukan.”
Padahal, nyatanya, korupsi selain merugikan keuangan negara, juga merusak modal sosial, hubungan saling percaya di tengah masyarakat. Ketika modal sosial digantikan hubungan dol tinuku (jual beli), aku-kasih-apa-aku-dapat-apa, modal sosial juga bakal lenyap.
Seperti kisah ”orang suci” anak negeri, peribahasa Jawa mengatakan, ”jujur ora kekubur, salah bakal kedhudhah”. Kejujuran tak akan mati dan dilupakan, sedangkan salah atau kesalahan akhirnya akan diketahui orang.” Menyongsong 100 tahun Republik, bangsa ini lebih banyak butuh orang jujur dan berintegritas. Satunya kata dan perbuatan.
(Budiman Tanuredjo, Kompas, 16 November 2019)
Leave a Reply