…Orang Indonesia itu munafik yang menyuburkan sikap Asal Bapak Senang (ABS). Ciri berikutnya adalah enggan bertanggung jawab, feodal, percaya pada tahyul, artistik dan lemah karakter…”
Mochtar Lubis
Studio Satu Menara Kompas ramai. Pada Jumat, 21 Juni 2024, digelar GagasRI ke-sembilan. Saya diundang untuk ikut hadir. GagasRI diarsiteki KG Media dengan mengundang sejumlah tokoh untuk bicara gagasan Indonesia masa depan.
GagasRI lebih banyak sebagai ruang refleksi dan ruang penerawangan sejumlah tokoh. GagasRI dirancang bukan sebuah perdebatan mengenai isu-isu kontemporer yang diproduksi oleh negara dan diarahkan oleh algoritma. Sejumlah tokoh telah diundang misalnya KH Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama), Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Franz Magnis Suseno, Karlina Supelli, Sri Sultan Hamengku Bowono X, Retno Marsudi, Dinno Patty Jalal, dan Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo.
Gagas RI dimoderatori Sukidi Mulyadi, PhD. Pemikir kebhinekaan lulusan Harvard University dengan panelis Sulistyowati Irianto (Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia) dan Habib Husein Jaffar Al Hadar, Jumat 21 Juni 2024.
Kardinal Suharyo membawakan tema Pancasila dan Cinta Tanah Air. Salah satu pesan yang diangkat Kardinal Suharyo adalah bagaimana bangsa ini bisa merawat ingatan bersama. Ingatan bersama tentang bagaimana bangsa dibangun dari tonggak Sumpah Pemuda 20 Oktober 1928 sampai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, berlanjut ke Orde Baru dan Reformasi. “Merawat ingatan bersama amat penting,” ucap Uskup Agung Jakarta.
Saya menafsirkan “merawat ingatan bersama” sebagai “amnesia politik”. Generasi pembaharu seakan melupakan akar sejarah bangsanya. Demokrasi terbuka karena reformasi 1998. Namun, saat ini, ada gelombang balik demokrasi ke sebelum reformasi. Gelombang balik demokrasi bukan khas Indonesia. Sejumlah negara lain pun mengalami. Samuel Huntington lewat Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991, telah membuka kemungkinan terjadinya gelombang balik demokrasi dan gelombang balik korupsi.
Dalam makalah berjudul, Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia”, Kardinal Suharyo teringat pada pidato kebudayaan Mochtar Lubis, 1977 di Taman Ismail Marzuki. Ia mengawali dengan disclaimer mungkin tidak enak mendengar ciri Manusia Indonesia sebagaimana dipidatokan Mochtar Lubis, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya.
Menurut Mochtar Lubis, demikian diingatkan kembali oleh Kardinal Suharyo, orang Indonesia itu munafik yang menyuburkan sikap Asal Bapak Senang (ABS). Ciri berikutnya adalah enggan bertanggung jawab, feodal, percaya pada tahyul, artistik dan lemah karakter. Pidato Mochtar Lubis itu memicu polemik. “Seandainya Mochtar Lubis masih ada di antara kita sekarang, apakah pendapatnya masih sama. Mungkin malahan dia akan menambahkan sifat lain yang sejenis,” kata Kardinal.
Kardinal tidak mengambil posisi tegas dan tidak mengarahkan audiens soal Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis. Ia membiarkan pemirsa mengambil posisi tersendiri soal Manusia Indonesia.
Polemik soal Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis memancing polemik dari berbagai tokoh di Harian Kompas pada tahun 1977, Margono Djojohadikusumo menulis tanggapan berjudul, Feodalisme, New Feodalisme dan Aristokrasi (Kompas, 13 Mei 1977), Sarlito Wirawan Sarwono, 5 Mei 1977 berjudul, Kondisi Manusia Indonesia Masa Kini, Ditinjau dari Psikologi. Ada juga tanggapan Wildan Yatim berjudul Menata Mendasar Kembali (Kompas, 24 Mei 1977).
Polemik untuk menemukan kembali Manusia Indonesia rasanya menarik. Peran Kardinal Suharyo memancing diskursus soal Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis, rasanya perlu terus dilakukan.
Who are we?
Saya pribadi mencoba menemukan kembali atau menemukan kembali ciri Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis dalam serangkaian wawancara saya di kanal Youtube Backtobdm dan sebagian sudah saya bukukan. Prof Dr Hendrawan Supratikno dalam buku Mimpi tentang Indonesia (2023), dikutip, “…masalah serius dalam kebangsaan kita adalah kecenderungan kita melembagakan kepura-puraan. Dan, kelembagaan yang dipura-purakan itu dibiayai APBN. Sekarang kepura-puraan semakin melembaga,”
Sedang Sukidi mengamini bahwa karakter manusia Indonesia lemah dan berkultur feodal.
Sikap inkonsisten dalam kata dan perbuatan, sikap asal bapak senang, sikap tak bisa membedakan milikmu dan milikku tetapkah merupakan ciri melekat manusia Indonesia, khususnya para elitenya. Kondisi itu diperparah dengan apa yang diidentifkasi Jakob Oetama bahwa kita berkomunikasi dalam masyarakat yang tidak tulus. Publik sudah pada “kesimpulan” bahwa apa yang dikatakan, adalah sebaliknya.
Banyak antogonistik di Indonesia. Berketuhanan tapi korupsinya merajalela. Berkemanusiaan tapi lebih gaduh ketika pasar saham anjlok daripada setika sejumlah manusia pengungsi tenggelam. Namun, keinginan berderma orang Indonesia begitu tinggi, Bermusyawarah tapi perilaku elite partainya berprinsip pokoknya menang apapun caranya, Berkeadilan tapi kesenjangan sosial makin lebar.
Dalam obrolan saya dalam buku Mimpi tentang Indonesia (2023) saya menemukan penyakit bangsa ini. Kultur feodal, hipoktit atau munafik, suka melihat perbedaan dan suka ribut sendiri, komunikasi dalam situasi low trust, korupsi merajalela, karakter lemah, kerakusan kapitalisme yang menghancurkan lingkungan, pendidikan nir value, rendahnya prinsip meritoktasi, dan masyarakat sipil yang lemah.
Reformasi Mental telah dicanangkan. Namun, rasa-rasanya ciri elite Indonesia belum banyak berubah. Masih in the making, tapi akan menjadi apa. Ketika etika dan moralitas ditanggalkan, ketika budaya mundur tak pernah diambil, ketika budaya malu jauh dari kamus perilaku politik, mau menjadi apa Manusia Indonesia….
Indonesia in the making…
(Budiman Tanuredjo)
Leave a Reply