“…di kita ini kan nepotisme sekonyong-konyong enggak ada (prosesnya) ujug-ujug tiba-tiba jadi ketua partai dan seterusnya. Nah ini berbahaya bagi kepentingan demokrasi kita.”
Hermaw Taslim
Masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu terakhir dihadapkan dengan fakta tingkah laku politik para elite yang menjurus ke praktik nepotisme. Nepotisme, kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah. Setidaknya demikian Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya.
Meski tidak dapat dibuktikan melanggar aturan hukum, namun banyak masyarakat yang jengah melihat para pejabat pemerintahan memberi karpet merah kekuasaan kepada sanak saudaranya.
Yang paling kentara dan menuai banyak reaksi publik, saat Gibran Raka Buming Raka, sulung Presiden Joko Widodo, melenggang menjadi calon wakil presiden, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai oleh pamannya, Anwar Usman, menambahkan klausul di bab syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
“Berusia paling rendah 40 tahun (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.” Demikian bunyi salah satu keputusan kontroversial tersebut.
Masih dari keluarga inti Kepala Negara, kali ini si sulung yang menjadi sorotan utamanya. Kaesang Pangarep secara tiba-tiba dilantik menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), meski baru 2 hari memegang kartu anggota partai politik berlambang mawar merah tersebut.
Dalam bincang-bincang di program Back to BDM, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim menyebutnya sebagai “nepotisme sekonyong-konyong”.
“Kalau di beberapa negara Asia termasuk Filipina yang saya pernah belajar itu, setiap kelompok masyarakat, setiap keluarga punya habit sendiri. Jadi, kalau (masuk) politik itu ya kakeknya anggota DPR, bapaknya anggota DPR. Di Jepang misalnya ya, kalau dia seorang politisi dia cenderung mendidik anaknya, dididik. Kalau di kita ini kan nepotisme sekonyong-konyong, gak ada (prosesnya) ujug-ujug tiba-tiba jadi ketua partai dan seterusnya. Ini berbahaya bagi kepentingan demokrasi kita,” kata Hermawi.
Jika seseorang menduduki jabatan tinggi dalam dunia politik tanpa melalui proses yang matang, menurut Hermawi akan sangat merugikan mereka yang berproses dari bawah, aktivis.
Proses-proses belajar dari bawah tak lagi diperlukan sejak nepotisme “dihalalkan”. Oleh karenanya, organisasi-organisasi dan pergerakan mahasiswa. Apa urgensinya bergabung, rasanya pengalaman organisasi dan aksi tak lagi menjanjikan masa depan, selama tak ada modal kapital dan relasi dengan orang dalam.
Belum lagi jika berbicara soal bagaimana Pemilihan Umum 2024 berjalan. Hermawi menyebutnya sebagai pemilu yang paling brutal sepanjang pengalamannya ikut pemilu sejak tahun 1982.
“Kalau dulu kan setelah Pemilu ya sudah tutup buku. Kan orang tinggal nunggu hitung suara. Ini setelah hari pencoblosan masih banyak permainan gentayangan, masih banyak hantu, dan segala macam,” ujarnya.
Permainan gentayangan yang dimaksud adalah adanya “sisa” suara yang ditawarkan di suatu daerah untuk ditambahkan ke kandidat tertentu jika dirasa dibutuhkan.
Hermawi mengaku menerima telepon dari pihak yang tidak ia sangka akan menawarkan sisa suara yang jumlahnya hingga ribuan tersebut.
“Bagaimana caranya pencoblosan sudah selesai gitu loh.. Dan itu ternyata dialami oleh banyak orang. Jadi moralitas seperti apa yang mau kita bangun bagi bangsa ini, hampir gak ada lagi yang bisa dicontoh dalam proses persaingannya,” tutur Hermawi.
Bermain bersih dan memenangkan pemilu, dalam kacamata Hermawi, masih mungkin terjadi jika ada di tingkat lokal. Namun hal itu sangat sulit terjadi jika sudah memasuki persaingan di tingkat nasional atau pusat.
Untuk terpilih dan memenangi pemilu, saat ini tak cukup hanya punya modal uang saja. Seseorang juga harus memiliki kepintaran, keterampilan, dan kecerdasan yang mumpuni. Meski tak jarang kecerdasan yang dimiliki justru digunakan untuk membodohi orang lain.
Bagi Hermawi, Indonesia menuju ulang tahun emasnya di 2045 memang sudah mengalami kemajuan. Sayangnya, kemajuan itu terbilang lambat. Di tengah lambatnya kemajuan yang terjadi, kita justru ditampar dengan adanya kemunduran yang sangat cepat dalam hal demokrasi. Telanjangnya praktik nepotisme hari ini.
Bisakah uang “membeli” Indonesia?
Ketika pertanyaan ini diajukan oleh BDM, Hermawi menjawab sederhana. Proses “membeli” itu saat ini tengah berlangsung di mana-mana. Ia mencontohkan satu fakta yang ia temui sendiri di Kalimantan.
Ia berkisah, 7 tahun yang lalu, di suatu daerah di Borneo, ia mendapati DPRD di sana begitu idealis dengan perokonomian rakyat. Mereka bahkan membuat perda soal larangan berdirinya toko waralaba di daerahnya, karena akan akan membunuh usaha para pedagang kecil.
“Sekarang di dalam kotanya itu ada 87 Indomaret dan Alfamart berhadap-hadapan. Saya mesti sebut ini, kita enggak anti terhadap orang kaya tapi ini kan keterlaluan. Sekarang dihadapkan dengan warung Madura yang buka 24 jam mau ditangkap, mereka (pebisnis besar waralaba) tidak ditangkap. Keberpihakan-keberpihakan yang seperti ini kan harus dikelola secara piawai, berpihak kepada siapa?” tanya Hermawi.
Soal Putusan MA…
Jika putusan MK meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden, bahkan sekarang sudah menjadi wakil presiden terpilih. Terbaru, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan yang memungkinkan Kaesang, adik Gibran, untuk maju dalam Pilkada 2024.
Putusan MA tersebut pada intinya mensyaratkan gubernur dan wakil gubermur berusia minimal 30 tahun saat pelantikan. Sebelumnya batas usia minimal 30 tahun diberlakukan sejak penetapan calon.
Hal ini membuat banyak orang mengarahkan pandangannya pada Kaesang Pangarep yang saat ini masih berusia 29 tahun, namun akan genap 30 tahun pada 25 Desember mendatang. Sebagai informasi, Pilkada 2024 akan digelar pada 27 November, hasil penghitungan akan selesai pada pertengahan Desember, sementara untuk pelantikan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum menyebutkan waktu pastinya.
Kecurigaan publik bahwa aturan ini diutak-atik demi memuluskan jalan Kaesang maju di Pilkada Jakarta berangkat dari pengalaman MK terkait majunya Gibran pada pilpres kemarin.
“Saya enggak mau terlalu jauh mengomentari rumor, tetapi yang jelas Kaesang itu juga kan seorang warga negara. Kalau dia memenuhi syarat, silakan saja dia maju, kalau dia merasa cukup matang untuk maju di DKI, kenapa tidak? Dia juga punya hak. Jangan karena dia anak presiden lalu kita membatas-batasi, silakan saja yang penting permainan itu fair, yang penting permainan itu objektif, yang penting permainan itu terbuka buat semua orang, semua Warga Negara Indonesia yang memenuhi kriteria undang-undang,” begitu tanggapan Hermawi Taslim terkait putusan MA dan isu Kaesang maju di Pilkada DKI.
Meski demikian, Hermawi menekankan, kejadian semacam ini sudah pernah terjadi di Indonesia, bahkan baru beberapa bulan yang lalu. Jadi, ia berharap agar kita semua tidak terjatuh di Lubang yang sama, melakukan kesalahan untuk keduakalinya.
“Mau enggak kita menjadi keledai yang jatuh di lubang yang sama? Terserah lah, tapi yang jelas kalau buat kami, buat saya pribadi pengalaman itu guru yang berharga,” kata dia.
Terlepas dari semua kecurigaan yang ada, Nasdem tetap meyakini bahwa hakim-hakim MA tidak mudah diintervensi oleh pihak luar. Di balik keputusannya yang mungkin mengundang pro dan kontra, para hakim pasti memiliki pertimbangan-pertimbangan yang sangat memadai.
“Kita kadang-kadang merasa seperti itu (curoga) karena punya pengalaman sebelumnya yang belum terlalu lama. Padahal kalau kita baca secara objektif, masuk akal. Putusan-putusan seperti itu bisa jadi diterima oleh banyak orang. Jadi ya sudah, biasa saja,” tukas Hermawi.
Dialog BDM dan Hernawi Taslim selengkapnya bisa disimak dalam video berikut:
Leave a Reply