“Negara menjadi sangat hegemonik. Tidak ada lagi kekuasaan oposisi. Parpol melempem. Ormas memilih diam dan main aman. Sebagian kelas menengah gerundel dengan isu elite tapi sebagian apatis dan masa bodoh…”
Kamis sore, 13 Juni 2024, suasana Kantor Maarif Institute, di kawasan Tebet, Jakarta cukup ramai. Sejumlah aktivis dan wartawan berkumpul memenuhi undangan tuan rumah, Andar Nubowo, PhD. Andar yang baru pulang dari Perancis menggelar open house bertajuk temu media.
Pada 15 Mei 2024, Andar Nurbowo, ditunjuk Yayasan Ahmad Syafii Maarif sebagai Direktur Eksekutif Maarif Institute, menggantikan Abd Rohim Ghazali. Ahmad Syafii Maarif adalah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Di bawah naungan Maarif Institute, berkumpul sejumlah aktivis muda Muhammadiyah, anak-anak ideologis Buya Syafii, yang mewarisi pemikiran Buya Syafii yang dinobatkan Alois A Nugroho sebagai “muazin” bangsa. Buya Syafii berpulang 27 Mei 2022. Namun, pikiran dan nilai-nilai Buya tak boleh menghilang seiring dengan perkembangan dunia yang sangat transaksional.
Buya Syafii banyak berjasa. Warisan pemikirannya seabreg, Kepribadiannya sederhana. Sikapnya sangat manusiawi. Pemikiran kritis dan tradisi intelektualisme adalah warisan yang ditinggalkan Buya Syafii. Ia bersahabat dengan Jakob Oetama, pendiri Kompas. Dua sosok yang sebenarnya gelisah dengan kondisi negeri. Bedanya: Jakob merespon kondisi negeri dengan gaya jurnalismenya di Kompas yang polite watchdog. Sedang Buya Syafii dalam artikelnya di Kompas dan sejumlah media, terasa begitu lugas, tegas dan keras terhadap salah satu penyakit bangsa: keadilan sosial.
Salah satu warisan Buya Syafii, adalah satunya kata dan perbuatan. Walk the talk. Sesuatu yang langka dalam panggung politik kotemporer yang dipenuhi dengan siasat dan tipu muslihat. Dalam bahasa Jakob Oetama, berkomunikasi dalam masyarakat yang tidak tulus.
Ditemani bakso, nasi kebuli, dan kopi sejumlah aktivis termasuk aktivis Nahdllatul Utama Syafic Ali (Direktur NU Online) dan Hamzah Sahal, David Krisna Alka, dan pengurus Yayasan Leimena ikut hadir. Dalam naungan Maarif Institute, sejumlah mantan pengurusnya berada dekat dengan kekuaasaan. Raja Juli Antoni, yang kemudian membangun Partai Solidaritas Indonesia (PSI, dipercaya Presiden Jokowi sebagai Wakil Menteri Agraria dan Plt Wakil Kepala Otoritas IKN) dan Fajar Riza Ulhaq berkarya di Sekretariat Negara.
Terserapnya sejumlah aktivis ke kekuasaan, memang membuat masyarakat sipil terasa begitu sepi. Beban organisasi membuat aktivis itu tidak bebas lagi bersuara menyangkut kepentingan publik, mendiskusikan isu republik ke ruang publik. Secara berseloroh Syafic mengingatkan, “Agar Andar tidak segera terhisap magnet kekuasaan.”
Andar menempuh pendidikan master dan doktor di Perancis. Master dan doktornya didapat di Perancis. Kelahiran Wonosobo 12 Mei 1980, Andar mengawali pendidikan tinggi du UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Master didapat di Ecole des hautes etudes en sciences sociales, Paris. Sejak 2010, di Ecole Normale Suprerieure (ENS) Lyon, Paris menempuh PhD dan meraih gelar pada Desember 2023.
Saat memaparkan programnya, Andar mengatakan, tiga program besar disiapkannya yakni institusionalisasi organisasi, inovasi sosial dan ekonomi, serta internasionalisasi. Tiga program itu merupakan jawaban Andar atas perubahan lanskap pollitik dunia yang sedang mengalami gelombang balik.
Perubahan sosial-politik di negeri ini memang amat nyata dan kentara. Negara menjadi sangat hegemonik. Tidak ada lagi kekuasaan oposisi. Parpol melempem. Ormas memilih diam dan main aman. Sebagian kelas menengah gerundel dengan isu elite tapi sebagian apatis dan masa bodoh. Namun, kepuasan rakyat demikian masih tinggi.
Di tengah kian sepinya masyarakat sipil, kehadiran Maarif Institute dengan nahkoda baru Andar Nubowo diharapkan bisa menjadi suluh bagi bangsa dan bisa menjalankan peran Buya Syafii sebagai benteng moral. Kelugasan Buya Syafii dalam menulis dan menyampaikan pesan terasa begitu lugas sebagaimana esainya di Kompas, Mentereng di Luar, Remuk di Dalam (Kompas, 10 November 2021).
Buya menulis demikian, “….Ada aparat yang melindungi perjudian, penambangan liar, dan segala macam bentuk kelakuan busuk lainnya. Di dunia peradilan, gejala kumuh serupa juga tidak sulit ditemui. Di mana-mana terjadi jual beli perkara. Sekitar 80 persen pengacara, kata Todung Mulya Lubis kepada saya beberapa tahun yang lalu, adalah mafia hukum belaka. Sejak beberapa tahun terakhir, publik disuguhi berita kelam tentang BUMN pelat merah yang sudah lama makan ususnya sendiri. Sebutlah Asuransi Bumiputra 1912, Asuransi Jiwasraya, PT Asabri Persero, PT Garuda Indonesia, dan puluhan BUMN yang lain sudah di pinggir jurang kehancuran. Padahal, semua BUMN ini pasti ada komisaris yang bertugas mengawasi perusahaan.”
Di bagian penutup Buya menulis demikian: … Kegetiran ini telah lama mengundang pertanyaan besar, yakni apakah pola pembangunan bangsa dan negara ini mau berpedoman pada UUD 1945 atau Konstitusi ini hanya dipakai sebagai tameng untuk menutupi keganasan sistem de facto neoliberalisme yang mengkhianati seluruh ruh Pancasila dan UUD 1945?
Panorama ”rancak di labuah” atau ”mentereng di luar, remuk di dalam” adalah penyakit sosial kronis yang menipu kita selama ini. Sumpah jabatan para birokrat sebelum diangkat atau menjabat sebuah posisi seperti tidak ada pengaruhnya dalam mengawal dan meluruskan perilaku mereka sebagai pejabat publik. Kebiasaan ABS dan AIS (asal bapak senang dan asal ibu senang) yang memuakkan masih saja setia bersama kita sampai hari ini. Ini adalah perilaku culas yang menutup realitas hitam yang sebenarnya.
Akhirnya, selamat buat Presiden Jokowi yang semakin dihargai di tingkat global, tetapi tengok jugalah suasana dapur republik kita yang masih kocar-kacir dengan wajah suram.
Sebenarnya beban Presiden akan semakin ringan sekiranya para menteri dan pejabat di bawahnya mau bekerja dengan baik, jujur, dan penuh rasa tanggung jawab. Namun, nilai inilah yang terasa semakin mahal sekarang ini….!
Malam kian larut. Saya harus balik ke kantor menembus kemacetan Ibu Kota. Sejumlah aktivis masih ngobrol termasuk soal isu tambang yang lagi ramai….
Budiman Tanuredjo
Leave a Reply