“…Kalau orang itu punya sejarah pernah berbuat sesuatu punya rekam (jejak) memang dia pernah hadir di situ baik itu kebijakan, perhatian, dan berbagai bentuk-bentuk yang di kasih buat masyarakat sih rasanya uang bukan bukan variabel…”
Melki Laka Lena
Politik Uang, Politik transaksional, diakui atau tidak sudah banyak terjadi dan dianggap lumrah di tengah masyarakat Indonesia. Metode ini bekerja dengan alur si calon peserta pemilihan atau timnya memberikan sejumlah uang atau barang kepada masyarakat, kemudian sebagai masyarakat menerimanya, dan ketika memasuki bilik suara mereka memberikan suaranya kepada si calon bersangkutan.
Sementara bagi calon-calon peserta yang tidak memiliki kekuatan kapital memadai, tidak bisa memberikan “amplop” kepada masyarakat, riskan tidak terpilih karena tidak mengantongi cukup suara. Bahkan ketika mereka merupakan pribadi-pribadi potensial dan berprestasi sekali pun, tanpa uang, memenangi pemilihan seolah-olah jauh dari angan.
Cara-cara meraih posisi kekuasaan dengan metode semacam ini dikhawatirkan membuat Indonesia dapat ”terbeli” hanya dengan sedikit Rupiah yang diberikan 5 tahun sekali. Sementara orang-orang yang semestinya pantas menduduki kursi wakil rakyat, justru tak dapat kesempatan, karena kalah dalam hal menebar sogokan.
Politisi sekaligus Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) dari Partai Golkar, Melki Laka Lena membagikan pandangannya dalam dialog di YouTube Back To BDM.
Kepada Budiman Tanuredjo (BDM), Melki sama sekali tidak menampik kenyataan adanya praktik politik uang untuk mendapat kekuasaan. Ia yang berlatar belakang pendidikan farmasi itu justru memutuskan terjun ke dunia politik dan ingin membuktikan bahwa masih ada individu-individu baik yang ingin berpolitik secara baik pula.
“Saya ingin membuktikan bahwa masih ada orang-orang yang ingin bisa
berbuat sesuatu di tengah situasi politik yang tidak mudah, ya kondisi politik
seperti itu (politik uang) kan fakta yang terjadi ya,” kata Melki.
Saat mendapatkan posisi sebagai Dewan di Senayan untuk kedua kalinya, Melki mengaku tak menggunakan cara-cara kotor sebagaimana banyak terjadi saat ini. Ia tak membagikan amplop, satupun, sebagai upaya untuk mendapatkan suara rakyat.
Namun, Melki mengaku beruntung karena memiliki sejumlah mitra kerja dalam menjalankan program-program saat menjabat di periode legislatif pertamanya. Itu yang disebutnya cukup membantu dirinya dikenal dan mendapatkan suara dari masyarakat.
“Saya ini beruntung karena saya (anggota) DPR RI, saya punya banyak program kemitraan dengan saya punya mitra itu Kemenkes, Kemenaker, BPJS Tenaga Kerja dan Kesehatan, Badan POM, BP2MI, dan juga BKKBN. Itu Kami punya program yang kami ajak masyarakat duduk bicara, ngobrol, dia dikasih ada makan, ada snek, ada baju, bahkan dikasih uang duduk misalnya, saya terbantu di situ. Jadi saya tidak perlu bayar rakyat untuk memilih saya,” papar dia.
Dalam setiap kegiatan, setidaknya ada 200-300 orang yang dating dalam rangka ingin menghadiri kegiatan tersebut dengan harapan mendapatkan edukasi tertentu dan mendapat bonus uang duduk dan sebagainya. Jadi bukan datang karena ada kampanye caleg dan kegiatan bagi-bagi amplop.
Secara tidak langsung, hal itu membantunya untuk mendapatkan perhatian dan hati dari masyarakat secara legal, tanpa menyalahi aturan dan bermain kotor. Namun, ia juga bisa membayangkan mengapa ada calon yang akhirnya mau membayar masyarakat. Itu karena mereka tidak memiliki instrumen apapun yang dapat dibagikan saat bertatap muka, sehingga ketika masyarakat meminta sesuatu mereka akan gulirkan uang-uang di sana.
“Rakyat itu inginkan hal-hal yang bersifat pasti yang dia bisa dapatkan
langsung ya. Nah itu kalau orang tidak datang dengan obligasi moral politik
sosial yang tidak bagus, itu kompensasi dia pasti bayar. Tapi kalau orang itu punya sejarah pernah berbuat sesuatu punya rekam (jejak) memang dia pernah hadir di situ baik itu kebijakan, perhatian, dan berbagai bentuk-bentuk yang di kasih buat masyarakat sih rasanya uang bukan bukan variabel,” ujarnya.
Jadi, jika ada yang mengatakan politik itu kotor, mengandalkan uang,
melakukan cara-cara haram demi kekuasaan, Melki tidak mau menempelkan label itu ke semua pelaku politik. Tidak selalu politik itu kotor, setidaknya itu
yang ia yakini dan alami.
Bermain dengan cara hitam atau putih, menurutnya selalu kembali pada masing-masing individu. Namun di lain sisi, Melki mengakui bahwa mayoritas politisi pasti mengejar kepentingan pribadinya dan mereka akan berupaya bagaimana agar kepentingan tersebut dapat terakomodir.
“Bahwa semua politisi itu umumnya mengejar kepentingan pribadi, mayoritas pasti kayak gitu. Nah sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kepentingan pribadi itu dia mesti nyambung sama kepentingan umum,” sebut Sekretaris Jenderal Persatuan Masyarakat Katolik Republik Indonesia (PMKRI) tahun 2002-2004 itu.
Oleh karena itu, Melki meyakini sebenarnya masih terbuka ruang untuk diterapkannya politik yang bersih, walau banyak yang menyanksikan politik bersih masih ada di era ini.
Melki mengatakan, satu hal yang bisa dilakukan para calon politisi agar bisa mendapatkan hati dan mandat dari rakyat tanpa menggelontorkan uang sogokan, adalah dengan melakukan kerja-kerja nyata yang itu pasti akan menguras waktu dan tenaga.
“Menurut saya sih pasti masih ada juga orang seperti saya, itu pasti masih
ada walaupun ada yang bilang naif, tapi saya mau menguji aja masih mungkin
enggak kita kerja itu tanpa bayar orang milih kita. Tapi tentu itu memang
dengan betul-betul itu penetrasi lapangan yang demikian luar biasa sampai kita pun kecapekan,” kata dia.
Meski bisa dilakukan, namun ia menuturkan kerja-kerja sosial itu juga tidak menjadi jaminan calon peserta pemilu memenangkan hati pemilih. Nyatanya, pengalaman kerja sosialnya untuk politik berhasil digembosi oleh “serangan fajar”. Meski tetap menang dan terpilih, Melki menyebut total suara yang ia kumpulkan mengalami penggembosan, tidak mencapai angka yang sebelumnya sudah dihitung dan di targetkan.
Untuk diketahui, dalam kontes pemilihan legislatif lalu, Melki Laka Lena maju
untuk daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Basis-basis saya yang sudah saya olah demikian rupa, yang saya tahu saya sudah turun berbuat bikin program sana sini juga, itu jebol tuh ketika orang hajar pakai duit. Artinya memang tidak semua, tapi kan hitungan saya kemarin itu saya bisa (mendapat) di atas 100.000 suara, saya (hanya) dapat 95.000 termasuk yang tertinggi. Tapi maksud saya kalau kemarin saya enggak digempur pakai politik uang oleh yang lain, siapa pun partainya itu rasanya bisa tembus 100.000 lebih karena saya hitung-hitung. Tahun lalu saja itu 72.000 orang yang ketemu saya kemudian kita ngobrol, ada pertemuan kemudian dia dikasih ada uang duduk lah oleh pertemuan itu. Kan itu satu tahun, 2023, belum 2022, 2021,” ungkapnya.
Modal besar politik untuk membeli Indonesia
Bagi seorang calon yang ingin menang dengan jalur uang, dibutuhkan modal
yang terbilang besar. Meski, besarannya akan berbeda-beda tergantung dari
daerah pemilihan mana tempatnya berlaga. Dapil-dapil di Jawa dan Sumatera,
misalnya, disebut membutuhkan modal yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dapil-dapil di daerah lainnya di Indonesia. Apalagi kalau berbicara dapil-dapil di DKI Jakarta.
Meskipun tidak ada angka pasti yang bisa disebutkan untuk menggambarkan
berapa besar modal yang dimaksud, yang jelas angkanya pasti menyentuh sekian miliar rupiah untuk satu caleg.
“Jakarta paling malal, saya dengar sana sini sih, kalau angkanya… waduh
angkanya luar biasa nih. NTT masih tergolong… maksudnya kategori menurut saya murah ya, tidak terlalu mahal walaupun meningkat politik uang itu luar biasa sebenarnya di NTT itu. Setahu saya pemilih yang transaksional itu dulu
kira-kira 10 persen, 15 persen, 20 persen. Sekarang makin membesar dan menurut saya ke depan tren ini kalau tidak dihentikan harus ada metode pemilihan yang bisa mengendalikan politik uang, itu harus terkendali benar, kalau engak bahaya politik Indonesia,” ujar Melki.
Bahaya, karena jika ini terus berlanjut berarti kita sedang menuju Indonesia
yang akan dikuasai oleh mereka yang punya modal kapital besar, mereka yang
berduit. Siapa yang menebar banyak rupiah, maka mereka lah yang akan terpilih menduki jabatan politik. Bahaya.
Walaupun, untuk saat ini kondisinya masih bisa dkatakan belum sepenuhnya
negara dikuasai para pemilik kapital. Masih ada, dan masih akan selalu ada
ruang perbaikan untuk mengontrol dan menekan, agar kapital itu tidak memainkan peran utama dalam proses mendapatkan suara.
Masalahnya, permainan politik uang semacam ini tidak selalu terlihat kasat
mata. Banyak juga di antaranya yang dilangsungkan dengan rapi dan tersembunyi. Melki menyebut proses pemilihan presiden sebagai contohnya.
“Kan ini mainnya kadang tidak kelihatan, saya pikir di Pilpres juga mungkin
orang bilang ada tapi tiada,, kan kita belum tahu nih. Tapi di pileg saya kira
juga sama. Nah tapi memang sekali lagi problem kita adalah bagaimana ke
depan ini mengendalikan agar kapital ini atau uang itu tidak sangat mendominasi preferensi orang memilih,” sebut Melki.
Ia khawatir, tren semacam ini menjadi awal dari lahirnya pola pikir pejabat
yang tidak mau melakukan kerja politik secara maksimal di 5 tahun periode jabatannya. Mereka akan lebih memilih untuk melakukan “tembakan-tembakan” kapital di akhir masa jabatan.
Toh, pada akhirnya uang yang berbicara. Toh kerja baik dan berdampak yang
dilakukan bertahun-tahun tetap bisa dibeli pada ujungnya. Itu yang sama-sama diharapkan untuk tidak terjadi di Indonesia.
“aya Ketua Partai Golkar NTT, kalau saya rapat sama teman-teman mereka sekarang bahasnya gini, sudah lah Pak Melki, kita kan percuma nih kayak.. kan saya kan suka ngajarin mereka kerja benar, nih ada bencana, masyarakat kita tolong, kita hadir sebagai partai politik yang modern. Di masalah-masalah apapun kita hadir berikan sesuatu semampu kita nih. Kan itu menjadi mubazir, karena ya kita nunggu di ujung aja kita tembak di ujung.Kita tembak malam ini besok itu suara bisa berubah yang kita kerja bertahun-tahun ini (mubazir),” kata Melki.
Ia mencontohkan kasus salah satu bupati yang tidak dia sebutkan dari kabupaten mana. Bupati tersebut sudah memberiikan banyak sumbangsih infrastruktur kepada satu desa, mulai memperbaiki rumah-rumah rakyat, membuat sumur bor, dan sebagainya. Akan tetapi, di desa yang sama, dia hanya mendapat 5 suara. Ada oknum masyarakat yang meminta maaf padanya dan mengaku tidak bisa memilih dirinya karena ada ada pihak lain yang memberi mereka uang di malam hari sebelum pemilihan.
“Ini menurut saya ini aduh kalau mau apa logika politik gini bahaya
demokrasi kita. Jadi pikir bareng-bareng bagaimana agar preferensi pemilih
publik itu betul-betul tidak ditentukan dominasinya, karena uang ini problem
kita,” ujar Melki.
Menjaga demokrasi agar tidak dibeli kapital…
Jika politik uang yang terjadi hari-hari ini sudah demikian massif, bisa kah
kita menghentikaan atau setidaknya menekan laju pertumbuhannya?
Dari sudut pandang seorang Melki, ia melihat bahwa di tengah kotornya praktik politik yang ada sekarang, masih cukup banyak sosok-sosok politisi yang bekerja dan berbuat dengan baik. Untuk, menghentikan kebobrokan yang sudah berjalan, ia pun mengaku belum tahu bagaimana cara konkritnya. Namun, ia mengambil cara pemilihan pimpinan di organisasi Muhammadiyah.
“Teman-teman Muhammadiyah itu menurut saya kita masih belajar cara dia milih ketua umumnya, dia gimana tuh bisa dia bikin berjenjang bertingkatnya itu dari bawah itu kan kemudian kan dan saya tahu itu minim politik uang atau politik uang enggak ada di situ mereka betul-betul bisa memilih dengan musyawarah mufakat. Nah saya enggak tahu bagaimana itu dirumuskan dalam pola pemilihan kita juga itu,” kata Melki
Menurutnya, dalam pemilihan tersebut tidak ada faktor uang yang bermain
dalam menentukan siapa yang akan dipilih, sehingga ruang bagi orang-orang baik yang tidak memiliki kapital besat masih terbuka luas.
“Menurut saya pemilihan Muhammadah itu perlu coba kita tiru, maka itu
diadopsi diambil value, polanya, perangkatnya, caranya dibawa dalam
pemilihan kita ini ini coba kita piker,” lanjutnya.
Baginya, urusan sistem ini harus diputuskan secara bersama-sama untuk kemudian dituangkan dalam bentuk regulasi, undang-undang pemilu. Angin segarnya, sudah banyak politisi, pimpinan partai-partai politik, yang merasa kecewa dengan situasi demokrasi sekarang.
Mereka juga menyayangkan arah demokrasi yang kian ke sini kian licik dan
bermimpi untuk bisa mengembalikan pada koridor yang seharusnya.
“Ya semua orang pusing, jadi bukan cuma kita pasukan-pasukan menengah ini
yang pusing, para pimpinan pun juga pusing loh kalau semua urusan ini harus
diselesaikan dengan duit, apa-apa duit, apa-apa duit ya, ya pimpimpinan parpol pasti pusing juga loh,” ungkapnya.
Melki menilai politik uang ini mulai marak dipraktikkan sejak
diberlakukannya demokrasi liberal, Dimana setiap orang memiliki suara yang sama atau kita kenal sebagai :one man one vote”.
Ia tidak menyalahkan asas tersebut, hanya saja ada kadar perhitungan berbeda dari tiap suara. Akan tetapi, apabila semua itu belum memungkinkan, ia hanya bisa menyebut semua dikembalikan pada masing-masing individu, mau meraih kemenangan dengan cara seperti apa. Karena pada intinya, politik sekarang banyak dimaknai bagaimana cara untuk menuju kemenangan.
Leave a Reply