“…Kalau cuma ilmu, Anda cari sendiri, baca buku, buka smartphone, cari sendiri bisa. Tapi kalau moral itu beda. Saya akan mengajarkan moral pada anak-anak itu melalui pengalaman saya dan bahayanya bagi bangsa ini kalau para pemimpin negara tidak punya tata krama, tidak punya moral, tidak punya etika…”
Mahfud MD
Lelaki kelahiran Sampang, Madura 13 Mei 1957 ini, tergolong sosok langka dalam lanskap politik Indonesia. Ia menjadi satu-satunya elite politik “paripurna”. “Paripurna” dalam arti pernah berada di semua cabang kekuasaan di Indonesia.
Kekuasaan legislatif sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kekuasaan eksekutif sebagai Menteri Pertahanan di era Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Menko Polhukam di era pemerintahan Presiden Jokowi dan kekuasaan yudikatif sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013).
Ia bukan hanya dikenal sebagai ahli hukum tata negara dengan gelar tertinggi sebagai profesor tetapi juga sebagai seorang ulama. Intelektualitas dan integritasnya hampir tidak ada yang meragukan. Sikap dan pendiriannya kukuh. Tapi sebagian sebagian politisi melihat Mahfud sebagai sosok politisi yang lugu.
Mahfud mengaku tak sepenuhnya berbakat sebagai politisi. Mengutip KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), politisi harus punya syarat dan bisa berbohong. “Menurut Gus Dur, Mahfud tak bisa menjadi politisi,” kata Mahfud saat ngobrol dalam siniar saya.
Di Pilpres 2024, Mahfud MD menjadi calon wakil presiden bersama Ganjar Pranowo. Pasangan Ganjar-Mahfud kalah dalam kontestasi pemilu presiden. Kontestasi pemilu presiden dimenangi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Usai pemilu presiden, saya menemui Mahfud MD di bekas Kantor Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Selasa 14 Mei 2024, sehari setelah Mahfud MD “merayakan” ulang tahunnya. Kesempatan itu saya gunakan untuk ngobrol di podcast. Wawancara agak terlambat sedikit dari waktu yang dijanjikan karena mantan Menko Polhukam ini masih menerima tamu di tempat lain dan kemudian memotong rambutnya. Dua staf pribadinya, Budi Kuncoro dan Rizal Mustary ikut menemani saya ngobrol beberapa saat.
Saya bertanya kepada Mahfud apa yang akan dilakukan setelah MK dan KPU menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden terpilih. “Saya ingin kembali bergabung dengan masyarakat sipil. “Perlu ada kekuatan penyeimbang bagi penguasa dan pemerintah. Kekuatan itu ada di masyarakat sipil. Sudah waktunya masyarakat sipil kembali, karena kemarin mereka tertarik ke kekuasaan,” katanya.
Menurut Mahfud, dunia akademis adalah dunia yang akan tetap dinamis. Semua gerakan perubahan di negara ini selalu berawal dari kampus. Tahun 1920, 1945, 1966, dan 1998 adalah bukti sejarah bagaimana gerakan kampus berhasil menumbangkan kekuasaan.
Sebagai wujud konkret untuk memberikan pendidikan pada bangsa ini, Mahfud aktif melakukan podcast dengan tajuk “Terus Terang”. Pandangannya begitu lugas terhadap situasi hukum belakangan yang dinilainya sudah melampaui batas. “Saya mual,” katanya dalam siniar Terus Terang menanggapi putusan MA yang mengabulkan uji materi PKPU soal syarat pencalonan kepala daerah.
Berikut obrolan saya dengan Mahfud MD di Kantor Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud Jalan Teuku Umar Menteng Jakarta Pusat, Selasa 14 Mei 2024, sehari setelah ulang tahun ke-67 Mahfud MD.
Anda pernah menjadi anggota DPR, Menteri Pertahanan, Ketua MK, Menko Polhukam dan pernah menjadi calon wakil presiden. Sebenarnya cita-cita Anda?
Itu dia. Saya tidak tahu cita-cita saya sesungguhnya, tapi setiap saya pindah sekolah, cita-cita saya berubah.
Dinamis ya?
Dinamis, tapi tercapai semua. Ketika saya kecil, cita-cita saya ingin menjadi guru agama saja di SD.
Guru agama?
Iya. Wah enak tuh. Kalau pagi ngajar, kalau malam memimpin tahlilan, dapat duit. Itu cita-cita masih kecil, waktu masih sekolah. Itu sebabnya saya masuk PGA (Pendidikan Guru Agama), karena memang cita-citanya jadi guru agama. Setelah itu saya pindah ke Yogya, ke Pendidikan Hakim Islam. Itu sekolah di Kementerian Agama yang bagus. Juara-juara dari berbagai daerah masuk di situ, dibayari lewat beasiswa. Sudah itu saya ingin menjadi hakim.
Kenapa ingin menjadi hakim? Asyik lah, diajarin hukum, filsafat hukum. Sudah itu, karena saya ingin menjadi hakim, saya masuk Fakultas Hukum UII (Universitas Islam Indonesia). Kalau PHIN itu menjadi paniteranya hakim. Sesudah saya masuk Fakultas Hukum UII, waktu itu kan musim gerakan-gerakan mahasiswa. Banyak tokoh mahasiswa yang terlibat dalam gerakan politik dan lain sebagainya. Lalu terpikir, “wah enak juga tuh jadi politisi.”
Tapi pada saat yang sama, saya menjadi muridnya Artidjo Alkostar. ( Artidjo Alkostar adalah dosen UII. Pernah menjadi Direktur di LBH Yogya. Pada masa reformasi, Artidjo masuk sebagai hakim agung sampai kariernya. Ia dikenal sebagai hakim killer untuk kasus-kasus korupsi).
Muridnya Artidjo?
Iya. Dosen saya itu. Wah, ini dosen hebat nih. Kalau mengajar enak sekali, bawa buku, bawa tape recorder. Waktu itu masih tape recorder. Tahun 70an belum ada video. Pokoknya kalau mengajar enak. Wah saya ingin jadi dosen.
Nah waktu itu saya melihat juga Pak Syafii Maarif, Pak Amien Rais, Gus Dur, pintar menulis di koran. Wah saya ingin jadi penulis juga.
Lalu lihat sidang kabinet. Lihat orang-orang pakai jas hitam, Pak Harto memimpin sidang. Lalu melihatnya, wah enak ya, hebat sekali itu. Pokoknya macam-macam lah. DPR, waktu itu saya terkagum-kagum pada Ridwan Saidi. Wah, enak juga jadi anggota DPR.
Jadi itu perjalanan cita-cita saya. Berubah-ubah. Namanya orang daerah. Saya pernah punya teman yang cita-citanya jadi sopir bus. Waktu itu kan bus jarang di daerah. Dia bilang enak jadi sopir bus, terima duit terus. Tapi saya enggak ingin jadi sopir bus.
Itulah gambaran cita-cita saya. Dan sekarang saya sudah bisa mencapai semua cita-cita saya itu. Saya menjadi guru besar, dosen, itu kan sudah sekaligus guru agama. Saya berceramah di mana-mana. Jadi hakim sudah, Ketua MK itu. Jadi dosen, penulis juga sudah. Biasa menulis, dan alhamdulillah bisa. Narasumber sering. Dulu juga begitu, melihat orang diwawancara di televisi kayaknya keren. Bagaimana caranya saya bisa seperti itu. DPR sudah, menteri sudah. Sudah semua itu. Sekarang saya tinggal bersyukur saja pada Tuhan. Semua cita-cita saya sudah tercapai.
Kalau wapres cita-cita juga bukan?
Wapres enggak. Bukan cita-cita. Kalau menteri iya. Waktu itu, waktu masih kecil, karena cita-citanya jadi guru agama, maka orang paling hebat ya Menteri Agama. Enggak mengerti urusan presiden, wapres, kan saya masih kecil waktu itu. Berpikir urusan wapres ini kan sesudah selesai urusan Hakim MK ya. Waktu itu sudah mulai banyak orang menyebut dan lain sebagainya, meskipun untuk tahap pertama itu adalah menjadi tim sukses. Mau jadi cawapres waktu itu enggak bisa, makanya jadi tim sukses Pak Prabowo saja.
Kalau pernah di kekuasaan eksekutif, yudikatif, legislatif dan kemudian ke eksekutif lagi, yang Anda rasakan kekuasaan mana yang paling bisa memberikan kontribusi besar pada negara ini?
Yang paling asyik bagi saya adalah menjadi dosen. Karena menjadi dosen tidak membosankan. Karena kita berhadapan dengan orang hidup yang bisa diajak berdiskusi, mengembangkan pikiran-pikiran, tertarik pada ilmu-ilmu baru. Karena selama menjadi dosen kan kita harus banyak baca. Misalnya saya mau mengajar tanggal sekian, berarti kan kita harus baca ilmu-ilmu dan isu terkini yang harus kita ajarkan.
Oleh sebab itu saya sampai sekarang tetap menjadi dosen. Meskipun sudah melewati berbagai jabatan, sampai sekarang saya tetap menjadi dosen dan mengajar.
Tapi kalau yang paling monumental dan senang dalam arti saya tidak diperintah orang, itu ketika saya menjadi Ketua MK. Itu paling mengesankan bagi saya. Dan saya merasa di situ saya membuat langkah-langkah yang bagi masyarakat bermanfaat dan bagi saya sendiri, alhamdulillah juga saya merasa saya juga berkontribusi besar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. (Langkah monumental Mahfud MD dan tercatat dalam sejarah adalah saat Mahfud sebagai Ketua MK, memutuskan untuk memutar rekaman sadapan KPK di depan sidang Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009. Langkah berani Mahfud itu banyak mendapat tentangan, termasuk di dalam MK. Namun Mahfud mengambil risiko dan memutar rekaman itu. Pemutaran rekaman itu membuka praktik mafia peradilan dan kriminalisasi Pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto).
Dari semua karier yang Anda jalani, sekarang Anda sudah 67 tahun, Anda ingin dikenang sebagai apa?
Saya enggak tahu saya ingin dikenang sebagai apa. Tetapi saya ingin tetap menjadi pengajar. Karena begini, seluruh perubahan besar bangsa ini, semua ini idenya kan bersemai di kampus. Kemerdekaan, dulu kan anak-anak kampus juga yang berpikir. Kemudian tahun 1966 itu anak kampus, tahun 1998-1999 itu juga anak kampus. Jadi kalau kita mau perubahan lagi, kita harus membina kader dari kampus. Saya senang kembali ke kampus, dan sekarang saya sudah mulai kembali ke kampus.
Dosen kan ngajarnya di kampus, kalau sekarang mungkin mengajarnya kepada bangsa?
Ya begitu. Mengajar kepada bangsa ya melalui dialog. Ya terutama memberi teladan. Dan kalau saya sekarang kembali ke kampus itu berprinsip, mungkin kalau dari segi ilmu, mungkin saya tidak secepat dulu. Waktu zaman saya belajar dulu, saya cepat belajar, saya rajin membaca meski fasilitas belum banyak. Kalau sekarang sudah banyak internet, orang bisa belajar dari internet. Dan sekarang serba mudah, ada Google, orang mau cari apa saja gampang. Oleh sebab itu kalau mengajar, saya sekarang kepada anak-anak, “eh Anda mungkin bisa lebih cepat ya dari saya. Kalau ingin tahu istilah hukum apa, bisa langsung tahu dengan Anda buka Google. Anda bisa langsung tahu. Tapi satu hal yang enggak bisa Anda dapat dari Google atau dari apapun, yaitu ‘moral’”.
Oleh sebab itu saya katakan, “bagi saya enggak penting Anda sepintar apa. Tapi saya ingin mengajarkan pada Anda, yang paling diperlukan oleh bangsa ini dan oleh generasi mendatang, itu adalah moral dan etika”.
Itu yang hilang?
Iya, saya bilang begitu. Saya sampaikan begitu pada anak-anak. Kalau cuma ilmu, Anda cari sendiri, baca buku, buka smartphone, cari sendiri bisa. Tapi kalau moral itu beda. Saya akan mengajarkan moral pada anak-anak itu melalui pengalaman saya dan bahayanya bagi bangsa ini kalau para pemimpin negara tidak punya tata krama, tidak punya moral, tidak punya etika. Atau lebih dari itu kalau masyarakat Indonesia tidak memperhatikan ajaran agama. Kan sumber-sumber moral itu juga banyak diajarkan di agama. Ada yang mengatakan bersumber dari agama dan dari lain sebagainya. Saya bilang, kalau tidak ada itu, tidak ada gunanya jadi orang pintar itu. Apalagi hukum. Hukum kan bisa Anda tinggal pesan saja minta pasal berapa supaya Anda benar. Tinggal dibuatkan. Minta dibuatkan pasal apa agar usaha saya sukses. Kan begitu. Kalau di pengadilan, minta pasal berapa agar Anda menang. Itu bisa dibuat. Makanya saya sering bilang, di Indonesia itu hukum menjadi industri. Industri hukum.
Anda punya tiga putera. Ada dokter, ada yang Sarjana Hukum, ada yang ortopedi. Itu pilihan bebas dari putera-puteri Anda atau bagaimana?
Iya ketika mereka akan sekolah, saya beri kebebasan. Tetapi saya memberi saran. Anak saya yang nomor satu dan nomor dua, yang keduanya dokter itu, saya sarankan ke fakultas hukum melanjutkan saya. Tapi dia inginnya kedokteran. Cuma mereka ikut juga tes fakultas hukum. Yang nomor satu itu Wawan, dia ikut juga tes fakultas hukum UGM, lalu dia tunjukkan bahwa dia lulus. Untuk membuktikan ke saya bahwa dia bisa masuk ke fakultas hukum. Jadi supaya saya tidak kecewa. Tapi dia beritahu, “saya mau masuk ke kedokteran.” Ya pada waktu itu kan dianggap kedokteran itu hebat.
Yang perempuan juga sama. Lulus di fakultas hukum Unair, dan dia juga waktu itu ingin kedokteran. Ya sudah masuk kedokteran saja. Nah yang nomor tiga ini yang hukum. Yang ikut saya dan sekarang dosen di UGM.
Enggak ada yang diarahkan untuk jadi politisi gitu?
Enggak. Saya sarankan, kamu boleh mengurus negara ini, boleh berpolitik, tapi jangan ke partai politik. Begitu saya bilang.
Kenapa?
Enggak akan kuat dengan godaan, dengan tarikan kanan kiri, atas bawah. Sama ketika saya mau masuk partai politik, oleh Gus Dur, untuk mencalonkan DPR. Oleh Gus Dur kan enggak boleh. “Pak Mahfud, kamu jangan anggota DPR.” Saya jawab, “lha Gus, saya kan masuk PKB ini kan ingin masuk DPR. Saya mau ke mana?” Gus Dur jawab, “Pak Mahfud jadi hakim saja nanti.” “lho Gus, jadi hakim itu juga yang milih anggota DPR. Jadi Hakim MK dipilih oleh DPR.” Gus Dur jawab lagi, “enggak cocok kamu.”
Lalu saya sebutlah nama-nama dari yang dari PKB masuk ke politik. Si A, si B, si C. kok itu boleh, kok itu boleh? Lalu Gus Dur menjawab, “lho itu kan memang pembohong.” Itu memang cocok jadi politisi, itu memang pembohong, penipu.
Jadi harus ada syarat ya, menjadi politisi adalah menjadi pembohong?
Kalau pembohong dan penipu itu memang cocok. Tapi kalau Pak Mahfud, dia menyebut empat orang waktu itu. Pak Mahfud, Alwi Shihab, Khofifah, Pak Hikam itu enggak cocok di DPR. Saya carikan tempat lain. Pak Mahfud cocoknya jadi hakim. Begitu Gus Dur bilang waktu saya di PKB.
Jadi saya katakan ke anak saya. Politik itu kan bukan hanya parpol. Akademisi kan juga bisa jadi pemimpin politik. Pedagang juga, professional juga. Tetapi kalau mau berpolitik, jangan ke parpolnya. Yang profesional juga bisa ke politik, saya bilang. Kenapa? Karena di politik itu biasanya nambah musuh, bukan nambah kawan. Tambah musuh, kamu yang tadinya teman, bisa menyikat kamu dari belakang. Kamu pun mungkin juga akan begitu sama teman. Oleh sebab itu kamu jangan ke partai politik, tapi berpolitik. Berpolitik itu kan bisa trias politica. Bisa melalui media, ada hakim, ada eksekutif. Eksekutif kan bisa dosen, bisa apa, bisa semua.
Tapi banyak sekarang orang politik membangun dinasti politik. Kenapa Anda enggak bangun?
Enggak kalau saya.
Kenapa?
Itu mungkin maksudnya nepotisme kali saya. Kalau dinasti itu kan sebuah sistem yang melembaga dan ada aturannya. Kalau nepotisme itu ada satu sifat yang spontan saja atau berlanjut tapi tidak tersistem.
Saya tidak suka nepotisme. Karena saya membayangkan begini, ketika dulu saya butuh pekerjaan, saya sakit hati ketika pekerjaan saya diambil alih oleh orang yang pekerjaannya lebih buruk dari saya. Jadi kalau saya bersikap nepotisme mendahulukan anak, keluarga, itu saya enggak mau. Itu menyakitkan orang. Saya enggak tega kalau melihat orang tua yang bekerja keras menyiapkan ini itu karena besok anaknya ada tes, ikut datang ke Surabaya karena anaknya mau tes. Tapi enggak tahunya, meski si anak pintar tapi enggak lulus, tapi ada anak lain yang lulus lewat orang dalam. Kan ini menyakitkan sekali. Itu sebabnya saya enggak suka dengan nepotisme itu.
Kalau kembali masuk ke politik yang agak praksis, setelah MK menetapkan, Anda sudah bertemu dengan Pak Prabowo?
Enggak. Saya enggak ketemu dengan Pak Prabowo. Saya menyampaikan pesan lewat udara saja. “Selamat bekerja, Anda sudah menang, mendapat amanat dari rakyat, silakan dikelola.”
Dengan Gibran?
Lha iya. Dengan Gibran juga. Bagaimana pun juga tidak ada jalan untuk menolak kan. Dan dalam keadaban hukum, kalau hakim sudah memutus, selesai. Kalau masih menolak-nolak terus jadi enggak sehat negaranya. Ya sudah, adanya itu yang sudah ditetapkan oleh hukum, ya sudah jalan.
Tapi dari orang-orang sekitar Prabowo ada yang mendekati dan membujuk Anda masuk dalam kekuasaan?
Enggak juga. Saya enggak pernah bicara itu. kalau cuma gurau-gurau ya banyak. Tapi saya anggap itu gurauan saja, tidak pernah bicara serius sampai mengarah mengambil keputusan atau apa begitu. Kalau hanya gurau-gurau saja banyak. Hampir tiap hari ketemu ya bicara. Tapi enggak bicara tentang itu.
Tapi kalau posisi moral Anda sendiri, apa yang akan dilakukan setelah kemudian kalah dalam Pilpres?
Banyak dong yang bisa dilakukan. Pilpres itu kan hanya salah satu, memang yang terpenting dari perubahan politik. Tapi di masyarakat sendiri, jabatan presiden yang terpenting itu pun terbukti berkali-kali itu bisa diubah, bisa digeser oleh kekuatan masyarakat. Misalnya Bung Karno, Pak Harto, kan sama saja itu. Gus Dur, bisa itu.
Jadi kita bisa ambil peran yang banyak asal rasional saja. Lho kita dulu juga memulainya di luar.
Dan sekarang akan berada di luar kekuasaan?
Ya, sekarang saya sedang melakukan langkah-langkah seperti itu. Tetapi saya harus katakan, konfigurasi politik, dinamika politik mungkin akan berkembang dalam waktu yang tidak kita lihat. Tetapi sekarang saja saya sudah masuk di posisi itu.
Akan membersamai masyarakat sipil?
Akan bersama masyarakat sipil, bersama kampus-kampus, karena sebenarnya dari kampus kesadaran itu selalu menjadi pemula yang efektif sejak dulu. Sejak 1928, 1945, 1966, 1998, kan mulainya dari situ.
Gimana sih kondisi masyarakat sipil hari ini sebetulnya?
Masih berserakan. Itu yang saya katakan perlu berkonsolidasi lagi. Kembali ke akar filosofinya masyarakat sipil itu apa sih? Itu kan menjadi kekuatan demokrasi di tengah-tengah masyarakat. Bukan ke negara. Sekarang kan banyak yang ikut ke negara. Harusnya kuat masyarakat sipil ini, sehingga ada keseimbangan. Tetapi memang perlu waktu.
Banyak aktivis dan juga masyarakat sipil yang rindu dengan kepemimpinan, termasuk kepemimpinan Anda untuk bersama dengan masyarakat sipil agar langkah masyarakat sipil menjadi penyeimbang terhadap eksekutif dan legislatif.
Iya. Itu yang sekarang saya lakukan. Saya banyak bertemu dengan tokoh masyarakat sipil, mendiskusikan kegundahan mereka, mendiskusikan kegundahan kami tentang masa depan negara ini jika diatur oleh penjahat dan pejabat korup, itu kan berbahaya. Saya kira itu hipotesis. Tapi kalau menyebut kasus per kasus, tidak sulit untuk sampai pada hipotesis seperti itu.
Kita datang saja ke penjara, kita lihat saja tertulisnya. Pejabatnya si ini, penjahatnya si ini. Enggak usah sebut nama, kan tertulis semua di situ. Enggak sebut yang sekarang biar enggak ditangkap. Itu fenomenanya kan sudah beberapa waktu lalu. Sekarang contoh-contohnya itu sudah ada.
Ada yang mendorong Anda untuk masuk dalam kuasi kekuasaan, menjadi Ketua KPK?
Ada, saya baca itu. Tapi saya belum berpikir, bahkan tidak berpikir ke arah itu. kalau konfigurasi politiknya seperti sekarang, ingin masuk ke satu tempat yang sifatnya kontestasi, dipilih, itu susah.
Anda masih ingat Pak Jimly itu ya? Pak Jimly itu mendaftar ke KPK karena apa, karena diminta, resmi. Negara ini butuh Anda, tolong daftar. Sudah mendaftar, tidak lulus. Malah diungkit-ungkit masalah yang sudah lalu. Ini kan bisa saja begitu. Sehingga saya tidak berpikir ke situ. Buang-buang waktu. Jadi UU-nya diubah dulu.
UU fit and proper test masuk di DPR, semuanya serba di DPR.
Ya. Kita lihat mau seperti apa UU KPK ini. Kalau masih seperti sekarang enggak ada gunanya juga.
Enggak ada gunanya?
Enggak ada.
Tapi KPK masih dibutuhkan?
Menurut saya masih dibutuhkan lahirnya, hadirnya KPK yang seperti dulu.
Yang seperti dulu?
Yang dulu sampai dua-tiga periode. Kalau yang sekarang ini saya melihat kok sudah jauh ya dari Kejaksaan Agung.
Sudah jauh?
Kayaknya.
Itu juga didesain ya?
Iya, mungkin. Bisa jadi. Bisa jadi desain.
Jadi sudah firm, Anda akan bersama masyarakat sipil dan menjadi balance terhadap pemerintah maupun legislatif?
Ya sampai sekarang, saya sudah bersama masyarakat sipil. Sampai sekarang. Dan selama saya ada di jabatan pemerintah pun kan saya selalu bersama masyarakat sipil. Saya undang semua ke kantor. Saya tanya, Anda mau apa? Saya undang, sehingga tidak bocor di jalan apa maunya Anda. Ayo kita jalan sama-sama. Nah sekarang malah lebih mudah lagi saya membersamai masyarakat sipil?
Lebih leluasa bersama dengan masyarakat sipil?
Iya.
(Budiman Tanuredjo, bersambung)
Leave a Reply