Soal Tapera Menteri Basuki Mendengar, Basuki Menyesal

“….Saya menyesal dan saya nggak menyangka kemarahan publik seperti ini…”

Basuki Hadimuljono

Luar biasa! Melegakan! Penuh empati! Begitulah sejumlah respons sejumlah pihak kepada saya menanggapi komentar Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono, selaku Ketua Komite Pengawasan Tapera di Kompleks Parlemen, Kamis 6 Juni 2024. Basuki memimpin dengan hati, bukan semata-mata dengan kekuasaan. Ia mendengarkan jeritan rakyat (buruh dan pengusaha) yang menolak Tapera. Dan, ia menyesal karena tidak menyangka demikian besar kemarahan publik.

Karikatur harian Kompas 6 Juni 2024 halaman 6.

Harian Kompas, 6 Juni 2024 menurunkan karikatur Thomdean, yang mempersoalkan mengapa tabungan menjadi kewajiban. “Mau investasi kok maksa. “ Thomdean pun mempertanyakan, transparansi, tata Kelola, keamanan dari pengelolaan dana Tapera. Atau, malah dikorupsi?

Di tengah arogansi elite politik menanggapi tuntutan publik, Basuki justru memberikan respons yang rendah hati dan mau mendengarkan suara rakyat. Gaya Basuki merespons tuntutan publik, sejalan dengan pemahaman demokrasi yang pernah disampaikan calon Presiden Joko Widodo saat debat kampanye Pemilu Presiden 2014. Kala itu, calon Presiden Jokowi mendefinisikan demokrasi secara sederhana. Pada 9 Juni 2014, dalam debat capres, Joko Widodo di Balai Sarbini, tampil memukau.

Joko Widodo kala itu mengatakan, “Demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya. Demokrasi adalah datang ke pelelangan ikan, datang ke bantaran sungai, karena kami ingin mendengar suara rakyat… Setiap masalah harus diselesaikan dengan dialog, mengundang makan dan mengajak bicara….”

Menteri Basuki tangan kanan Presiden Jokowi dalam pembangunan infrastruktur sepertinya memahami konsep demokrasi yang didalihkan calon Presiden Jokowi pada saat debat kampanye presiden tahun 2014. Menteri Basuki mendengarkan suara rakyat, mengambil sikap merendah Basuki adalah menteri profesional dan meniti karier di kementerian pekerjaan umum. Ia jarang dan hampir tak pernah terdengar merespons isu-isu politik. Ia hanya bekerja dan bekerja. Dan, hasil kerjanya nyata dan dirasakan publik.

Namun ketika dihadapkan pada isu Tapera yang menjadi tanggung jawabnya, Basuki tidak mengelak dari posisinya sebagai Ketua Komite Pengawasan Tapera dengan menyalahkan pihak lain atau mengalihkan tanggung jawab pada pihak lain. Basuki mengambil tanggung jawab dan merasa menyesal dan mengatakan, “Program ini tak perlu buru-buru jika belum siap diterima masyarakat.”

Dalam perspektif komunikasi, Scot Kuldif mengatakan, komunikasi akan efektif jika pengirim pesan dipahami penerima pesan. Ada sejumlah unsur agar komunikasi menjadi efektif. Pertama, kejelasan. Pesan yang disampaikan harus jelas dan tidak ambigu. Basuki mengaku tidak menyangka kemarahan publik atas Tapera, dan “Jika belum siap, tak perlu buru-buru.” Kedua, sederhana. Bahasa Basuki sederhana. Tidak rumit. Tidak ngeles. Ketiga, soal konteks, Basuki memahami kemarahan publik sehingga bahasa yang disampaikannya pun penuh empati, penuh hormat, dan sopan.

Ini berbeda dengan respons sejumlah pejabat yang cenderung gaya komunikasinya arogan. “Pokoknya jalannya terus. Percayakan pengelolaan dana pada kami.” Padahal, justru kepercayaan publik itu sedang ada masalah.
Program Tapera dimana buruh dan majikan wajib menabung untuk mendapatkan rumah memang memicu kemarahan publik. Melalui Tapera, buruh wajib menabung 2,5 persen dari upahnya dan pengusaha mengiur 0,5 persen agar tabungan Tapera menjadi tiga persen.
Tabungan Perumahan Rakyat telah menjadi UU No 4 tahun 2016. UU Tapera disahkan Presiden Jokowi 24 Maret 2016 dan diundangkan pada 24 Maret 2016 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dalam pasal pasal 7 UU No 4/2016 ditulis, “Setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimun wajib menjadi peserta Tapera.” Tapera akan berlaku tahun 2027, di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Kontroversi merebak sejak Presiden Jokowi membuka masalah Tapera ke ruang publik. Presiden Jokowi membenarkan bahwa akan ada pro kontra terkait kebijakan Tapera. Masalah itu juga, kata Presiden Jokowi, sempat terjadi pada saat pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional untuk golongan peserta non penerima bantuan iuran yang dibayari pemerintah.

“Kalau belum memang biasanya ada pro kontra. Seperti dulu BPJS juga ramai. Tapi setelah berjalan dan merasakan manfaatnya, pergi ke rumah sakit tak dipungut biaya, semua berjalan,” kata Presiden Jokowi.

Dalam sejarah pengusaha dan buruh selalu dalam posisi berhadapan. Namun, dalam kasus Tapera, posisi pengusaha dan buruh sama. Baik, pengusaha melalui Apindo dan serikat buruh, menolak Tapera. Dewan Pakar Apindo Anton Supit menegaskan, Apindo menolak Tapera. “Jika dipaksakan langkah hukum bisa saja diambil,” kata Anton dalam siniar dengan saya.

Ada sejumlah masalah yang harus dijawab.

Pertama, buruh telah membayar iuran untuk perumahan melalui mekanisme BPJS Ketenagakerjaan. Mengapa harus ada kewajiban lagi untuk menabung untuk kepemilikan rumah.

Kedua, bagaimana undang-undang bisa memaksa pekerja wajib menabung kepada pemerintah untuk kepemilikan rumah. Bukankah menabung adalah sukarela mengapa menjadi kewajiban?

Ketiga, mengapa buruh yang telah memiliki rumah tetap harus diwajibkan menabung untuk memiliki rumah.

Keempat, dalam pasal 28 H (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dalam perspektif hak asasi manusia, bertempat tinggal merupakan hak asasi manusia.

Kelima, apakah negara menjamin buruh akan mendapatkan rumah setelah buruhn menabung.

Keenam. Bagaimana pemerintah meyakinkan buruh dan pengusaha karena pengumpulan dana lewat Asabri, Jiwasraya, dan Taspen tidak jelas pengelolaannya.

Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang suara publik terkait Tapera. “Kalau tidak ada kebijakan jaminan betul-betul akan mendapat rumah dari pemerintah bagi penabung, maka hitungan matematisnya memang tidak masuk akal,” ujarnya, dikutip Sabtu (1/6/2024).

Mahfud mencontohkan seseorang yang mendapat gaji Rp5 juta per bulan. Jika mereka menabung 30 tahun dengan potongan sekitar tiga prosen per bulan, maka nilainya hanya akan sekitar Rp100 juta. “Untuk sekarang pun Rp100 juta takkan dapat rumah apalagi 30 tahun yang akan datang, ditambah bunganya sekali pun,” kata Mahfud.

Diskursus soal Tapera hadir pada momentum yang tidak tepat. Meski pemilu telah selesai, suasana kebatinan masyarakat belum pulih. Ada masalah ketidakpercayaan publik pada pemerintahan. Sementara ketidakpercayaan publik juga belum pulih saat dana-dana publik yang dikelola Asabri, Taspen, Jiwasraya, lenyap dikorupsi pengurusnya.

Mendengarkan suara rakyat selayaknya menjadi kewajiban elite politik. Suara rakyat telah mengantarkan elite politik menuju pemerintahan, menuju DPR, menuju istana. Jadi, selayaknya janganlah terlalu menyepelekan jeritan-jeritan rakyat. Karena kedaulatan di tangan rakyat.

Menteri Basuki telah memberikan contoh model komunikasi dengan penuh empati, bukan dengan kesombongan atau arogansi. Namun, sebagai pembantu Presiden, Menteri Basuki harus melaporkan kepada Presiden Jokowi soal penolakan publik terhadap Tapera. Dan, keputusannya kembali pada Presiden Jokowi, Presiden terpilih Prabowo Subianto, dan DPR. Apakah jeritan rakyat didengar atau tetap akan diabaikan? Kekuasaan selayaknya mendengar dengan penuh empati.

Budiman Tanuredjo


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *