“…Dari mulai pelemahan KPK, putusan Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Agung, revisi UU Penyiaran, revisi UU Mahkamah Konstitusi sampai Sulis berkesimpulan bahwa jalan hukum dan politik telah buntu akibat kolaborasi dan oligarki...”
Guru besar antropologi hukum Universitas Indonesia Prof Dr Dra Sulistyowati Irianto MA boleh jadi merupakan sosok langka. Ia guru besar (bukan kehormatan) yang tidak hanya berada di kampus melainkan juga berada di jalanan. Hampir tiada petisi keprihatinan atau amicus curiae (sahabat peradilan) yang luput dari perhatian Sulis, demikian ia minta dipanggil.
Daya tarik dan pesonanya, tampak saat Sulis, kelahiran 1 Desember 1960, menjadi pembicara kunci di Koentjaraningrat Memorial Lecturer di Kampus Fisipol Univeritas Indonesia, Depok, Senin 3 Juni 2024. Ia membawakan makalah berjudul, “Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi: Tawaran Jalan Kebudayaan dengan moderator Suraya A Affif, PhD, dosen departemen antropologi Fisip UI.” Sulis meraih gelar Master Antropologi Hukum dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1989.
Kuliah umumnya dihadiri sejumlah aktivis dari berbagai spektrum. Ada Bambang Widjojanto (mantan Pimpinan KPK dan Tim Hukum Anies Baswedan), ada mantan penyidik KPK yang disingkirkan Novel Baswedan, Giri Supradiono. Ada pula Sekjen PDIP Hasto Kristianto, Rocky Gerung, ekonom Faisal Basri dan advokat Todung Mulya Lubis, Usman Hamid. Dan, ada juga Sumarsih, ibunda Norma Imawan, mahasiswa korban penembakan Tragedi Semanggi, November 1998. Sejumlah dosen dan mahasiswa memenuhi auditorium Mochtar Riady.
Tema Jalan gelap demokrasi adalah isu panas untuk dibicarakan di kampus. Benarkah demokrasi dalam lorong kegelapan. Sejumlah fakta dan data dibeberkan Sulis. Dari mulai pelemahan KPK, putusan Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Agung, revisi UU Penyiaran, revisi UU Mahkamah Konstitusi sampai Sulis berkesimpulan bahwa jalan hukum dan politik telah buntu akibat kolaborasi dan oligarki. Ajaran Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial untuk tujuan perubahan dan keadilan telah mendapatkan tafsiran baru. Hukum telah dijadikan alat rekayasa politik untuk kepentingan kekuasaan.
Pada tahap inilah, Sulis menyuarakan pentingnya intelektual, penjaga pintu gerbang kebenaran melalui produksi ilmu pengetahuan yang dihasilkannya. Karena itulah secara etika moral, ia harus terbebas dari kepentingan kekuasaan dan uang. Intelektual harus punya integritas sebagaimana dikatakan Mohammad Hatta dalam acara Dies Natalis ke-57 Universitas Indonesia: “Apabila membentuk manusia susila dan demokratis menjadi tujuan yang terutama dari perguruan tinggi maka titik berat pendidikannya terletak pada pembentukan watak. Pangkal pada setiap pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran, dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar.”
Sulis menawarkan jalan kebudayaan untuk menembus kebuntuan jalur hukum dan politik. Ia mengajukan dua rekomendasi. Pertama, diperlukan akses sejarah, politik dan hukum dan karakter cinta pada ilmu pengetahuan terutama dan khususnya pada kaum muda lintas golongan. Langkah ini perlu karena banyak generasi muda tak paham akan sejarah bangsanya.
Kedua, diperlukan upaya membangkitkan kesadaran kaum intelektual agar ilmuwan tidak hanya menjadi gerakan moral melainkan gerakan sosial. Dengan cara itu akan muncul Salemba School of Thought, Bulaksumur School of Thought dan mazhab pemikiran yang lain.
Tawaran jalan kebudayaan versi Sulis perlu dipikirkan meski tetap penuh tantangan ketika berhadapan dengan kekuasaan yang tak lagi mau mendengar suara-suara pinggiran.
Leave a Reply