Menyelamatkan KPK dari Titik Nadir

“…Kalau ada yang masih membandel, niat untuk korupsi, ada mens rea, silakan bapak ibu gigit dengan keras. Uang negara harus diselamatkan, kepercayaan rakyat harus terus dijaga…”

Joko Widodo

Sehari menjelang ulang tahun ke-55 harian Kompas, saya membuka kembali arsip harian Kompas. Arsip itu masih tersimpan rapi di Pusat Informasi Kompas. Pelacakan arsip dilakukan untuk mencari diskursus soal korupsi di harian ini. Pencarian dilakukan untuk mencari jawab soal fenomena merosotnya kepercayaan publik pada KPK. Melacak jejak korupsi di Indonesia sudah bisa ditemukan jauh sebelum koran ini terbit, 28 Juni 1965. Bahkan, dalam jejak pemberitaan korupsi di harian Kompas ditemukan sejak 16 Juli 1965.

Jika mau dilacak lebih jauh, tulisan Dukut Imam Widodo dalam artikel berjudul Soerabaja Tempo Doloe menggambarkan betapa akar korupsi tertanam dalam di Indonesia. Dukut menuliskan pengalaman Nicolas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Jawa. Berdasarkan pengalaman yang ditulisnya, 15 April 1805, Engelhard mengakui, dirinya menjadi kaya raya karena sogokan orang pribumi yang ingin mendapatkan jabatan.

Pengalaman Engelhard terjadi tahun 1805. Artinya, korupsi sudah berakar 215 tahun lalu di Indonesia. Apakah situasi itu sudah berubah di Indonesia? Jawabannya jelas tidak! Bahkan mungkin lebih parah. Ketika reformasi belum dikorupsi, bahasa lain dari ketika KPK masih asli, praktik jual-beli jabatan terungkap. Untuk jadi kanwil perlu nyogok. Untuk dapat proyek butuh uang semir. Untuk keluar dari sel tahanan butuh uang pelicin. Untuk menggeser caleg tertentu butuh dana operasi. Tangkapan KPK di sejumlah sel menunjukkan budaya sogok masih ada!

KPK didesakkan oleh gerakan mahasiswa pada Mei 1998. Revolusi Mei 1998 telah menyadarkan bangsa ini betapa bahayanya korupsi. Korupsi dikonstruksikan sebagai kejahatan luar biasa yang harus diperangi secara luar biasa pula. KPK dilahirkan tahun 2002. Komitmennya memberantas korupsi luar biasa. Tanpa pandang bulu, siapa pun yang korupsi akan dibabat KPK.
Namun, bangsa ini tampaknya harus kalah dalam perang melawan korupsi. Bangsa ini kelelahan berperang melawan korupsi. Narasi pun dikembangkan bahwa pemberantasan korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi. KPK disusupi kekuatan politik tertentu. Runyam. Padahal, itu semua hanyalah prakondisi untuk mengamputasi KPK. Dan, sukses. UU KPK direvisi. Kekuatan KPK dilemahkan.

Hasil jajak pendapat Kompas, 22 Juni 2020, mempertontonkan citra KPK berada titik nadir. Ini menyedihkan. Seorang yang ikut menggagas lahirnya KPK mengirim pesan kepada saya, ”KPK ibaratnya oase sekaligus last resort. Arus bawahnya masih terjaga. Menunggu momentum,” tulisnya. Dari hasil survei, hanya 44,6 responden yang menganggap citra KPK baik. Padahal, pada Januari 2015, masih 78,5 responden menganggap citra KPK baik. Pada Juni 2020, 56,9 persen responden tidak puas dengan kinerja KPK. Namun, 54,9 persen responden masih yakin KPK bisa diandalkan memberantas korupsi. Inilah yang harus diselamatkan.

Situasi merisaukan. KPK memang dipaksa mengubah strategi pemberantasan korupsi. Dari penindakan menjadi pencegahan. KPK bertranformasi menjadi lembaga konsultan pencegahan korupsi. Pimpinan KPK beranjangsana ke sana-kemari dan menasihati agar kepala daerah tidak korupsi. Sejarah mengajarkan, korupsi berurat berakar dan tak mungkin bisa diatasi dengan nasihat.

Tajuk Rencana Kompas 14 September 1965 barangkali bisa dibaca ulang. Masih relevan. Judulnya ”Pentjolengan Ekonomi”. Kompas menulis demikian, ”Soal pentjoleng ekonomi sekarang ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu rakjat sekarang bukanlah pembitjaraan lagi tapi tindakan konktrit: tangkap mereka, periksa, adilli, hukum, gantung, tembak!

Itu sikap Kompas tahun 1965 soal korupsi. Jika pesan itu mau diberi konteks sekarang ini, bukan berarti harus digantung karena itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Namun, perlu tindakan konkret untuk membersihkan korupsi dari negeri ini. Seperti diingatkan Presiden Jokowi ”gigit keras” yang akan mempermainkan dana korona Rp 677 triliun. ”Kalau ada yang masih membandel, niat untuk korupsi, ada mens rea, silakan bapak ibu gigit dengan keras. Uang negara harus diselamatkan, kepercayaan rakyat harus terus dijaga,” kata Presiden. Perintah Presiden itu keras dan menjadi sinyal bagi penegak hukum, termasuk KPK, untuk ”menggigit”. Sebelumnya, sinyal adanya mafia sudah terungkap. Menteri BUMN Eric Thohir pernah mengungkap soal mafia pengadaan alat kesehatan.

Jika masih ada keinginan, pimpinan KPK bisa merespons rendahnya kepercayaan publik. Wakil pimpinan KPK yang lain perlu tampil ke publik dan menunjukkan komitmen lembaga memberantas korupsi. Sentimen negatif kerap terjadi pada KPK karena langkah pimpinannya. Sosok berintegritas di Dewan Pengawas KPK, seperti Hakim Agung Artidjo Alkostar, perlu muncul berperan menyelamatkan KPK dari tren turunnya ketidakpercayaan publik.

(Artikel ini dimuat Kompas, 27 Juni 2020)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *