Kompas Moral

“…Saya tidak menyesal menjadi orang Indonesia, bahkan dengan penuh kebanggaan perasaan syukur tetap menyertai kehidupan saya. Namun, mengapa jiwa saya tetap saja berontak mengamati perkembangan Tanah Air yang jauh dari cita-cita kemerdekaan…”

Buya Syafii Maarif

Judul itu saya petik dari respons spontan aktivis muda Nahdlatul Ulama, Syafiq Ali, tentang sosok Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif. ”Buya adalah kompas moral bagi bangsa ini,” ujarnya. Buya ialah panggilan ulama-intelektual kelahiran Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, tersebut.

Jaringan Intelektual Berkemajuan menggelar perayaan 85 tahun Buya secara virtual. Seri peringatan dimulai pada Sabtu, 30 Mei 2020. Acara milad bertajuk ”Mencari Negarawan” dengan tuan rumah David Krisna Alka. Diawali dengan pembukaan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Bagi Haedar, salah satu ciri negarawan adalah kejujuran serta satunya kata dan perbuatan. Negarawan punya komitmen melayani masyarakat tanpa ada kepentingan pribadi yang menyelinap.

Di tengah kebangkitan populisme, Haedar menyebut banyak pemimpin terjebak pada populisme simbolik atau populisme parsial. Corak pemimpin seperti itu hanya menyelesaikan masalah secara ad hoc, tapi tidak melahirkan kebijakan afirmatif yang mengangkat kehidupan masyarakat. Kesenjangan sosial adalah isu strategis yang dihadapi bangsa. Dominasi ekonomi membuat kesenjangan sosial tetap jadi tantangan. Pandemi kian memperlebar kesenjangan. Masalah itulah yang harus ditangani negarawan.

Bagi Syafiq, Buya adalah kompas moral bagi bangsa ini. Buya menjadi nurani keprihatinan bangsa. Sebagai muazin moralitas bangsa, meminjam istilah Alois A Nugroho dalam buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat (2015), Buya berteriak untuk kepentingan bangsa. Muazin adalah sang pengingat yang berseru-seru menyuarakan kebaikan. Berseru bukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan golongan, melainkan kepentingan bangsa. Kepribadiannya yang kokoh dan sikapnya yang independen membuat Buya begitu disegani.

Amiruddin Al Rahab, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, memandang ketika ada diskusi bertema mencari negarawan, menandakan bangsa ini sedang mencari yang tiada. Dunia sedang krisis negarawan. Wartawan Saur Hutabarat menyebut, ”Setelah Bung Hatta, tiada lagi negarawan.” Bangsa ini telah kehilangan Mohammad Hatta, KH Abdurrahman Wahid, dan Nurcholish Madjid.

Krisis negarawan memang sedang terjadi di negeri ini. James Freeman Clarke, intelektual Amerika Serikat abad ke-19, menyebut, ”Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa depan.”

Kegalauan Buya merupakan kegalauan bangsa. Ketika primordialisme menguat, ketika penggunaan simbol agama untuk politik menggejala, Buya mengingatkan. Buya berteriak. Artikel Buya di Kompas, 17 Oktober 2011, menggambarkan imajinasi Buya ke depan. Bukan pemilu terdekat, melainkan Indonesia 2050.

Dalam ”Indonesia 2050 seperti Apa?”, Buya antara lain menulis: Dengan jumlah penduduk sekian miliar pada 2050, pertanyaan mencekam yang mendera saya adalah: dengan tingkat korupsi dan perusakan hutan seperti yang sekarang, sementara pemerintah setengah lumpuh menghadapinya, apakah Indonesia tercinta ini masih memberikan kenyamanan untuk dihuni?Dengan semakin dalam cakaran kuku asing di dunia perbankan, di pertambangan migas, di tengah sistem perpajakan yang kumuh, kondisi bea cukai yang semrawut, dan perilaku korup politisi dan pengusaha hitam, apakah wajah bangsa ini pada tahun itu masih ceria atau sudah kusam sama sekali? Atau kita sudah menjadi budak di rumah kita sendiri? Pertanyaan semacam ini tak pernah hilang dari ingatan saya, seperti jutaan warga lain yang seperasaan.

”Saya tidak menyesal menjadi orang Indonesia, bahkan dengan penuh kebanggaan perasaan syukur tetap menyertai kehidupan saya. Namun, mengapa jiwa saya tetap saja berontak mengamati perkembangan Tanah Air yang jauh dari cita-cita kemerdekaan. Sebut misalnya keadilan untuk semua warga, kondisinya jelas semakin memburuk dari hari ke hari, sementara mereka yang berada di puncak piramida adalah penikmat kemerdekaan yang hampir tanpa batas. Lalu, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini? Biarlah publik yang menilai, apakah lontaran kegemasan saya didasarkan pada ketulusan atau ada agenda tersembunyi yang ingin diraih, saya tidak hirau. Monggo ke mawon, kulo mboten kesah”.

Sinyalemen Buya tahun 2011 tentu sudah ada yang berubah saat ini, tapi masih banyak yang tetap. Kegelisahan Buya adalah kegelisahan bangsa. Sikap dan pilihan kata Buya lugas dan keras, tetapi ia tak pernah menganjurkan kekerasan.

Era demokrasi dol tinuku (jual beli) memunculkan pemburu kekuasaan. Ajaran politik Harold Lasswell, siapa mendapat apa dan kapan, menjadi kredo politik kontemporer, tanpa menghiraukan etika. Kekuasaan yang diburu karena menggetarkan (tremendum), kekuasaan yang diburu karena memesona (fascinosum) belum sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Padahal, sejatinya, kekuasaan itu digunakan untuk kemaslahatan umum (bonum commune).

Ketika bangsa terjebak dalam polarisasi biner dan elite memahami posisi politik sebagai pembagian pekerjaan semata, bangsa ini membutuhkan Buya-buya baru. Buya yang bisa menjadi payung kebangsaan dan perajut tenun kemajemukan serta penyuara Ibu Pertiwi. Buya baru yang bisa membangun kekuatan tengah yang menjadi jembatan antara masyarakat dan negara, bukan sekadar membangun para pendengung. Kekuatan tengah adalah kekuatan yang harus terus dibangun.

(Artikel ini telah dimuat Kompas 6 Juni 2020)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *