MK yang Mulai, MK yang Mengakhiri

… Kau yang mulai, kau yang mengakhiri
Kau yang berjanji, Kau yang mengingkari….

Sebait lirik lagu ”Kegagalan Cinta” karya Rhoma Irama terasa pas dengan suasana kebatinan politik kontemporer belakangan ini. Pemilu Presiden 2024 diwarnai dengan berbagai janji politik, tetapi juga diakhiri dengan pengingkaran politik.

Politik sangat kental dengan berbagai kontradiksi dan paradoks. Berkomitmen memerangi korupsi dan nepotisme, tetapi secara terbuka justru mempraktikkan korupsi dan juga nepotisme.

Putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 menjadi putusan pembuka kontroversi di Pilpres 2024. Putusan MK itu tak bulat. Empat hakim konstitusi—Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams—berbeda pendapat (dissenting opinion).

Keempat hakim konstitusi itu menolak permohonan uji materi mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, karena itu bagian dari open legal policy. Ada banyak alasan disampaikan.

Adapun dua hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh, melakukan concurring opinion. Enny dalam concurring opinion-nya mengatakan, berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur, yang persyaratannya ditentukan oleh pembuat UU.

Pandangan senada dinyatakan Daniel yang dalam concurring opinion menyatakan, ”berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi.” Kedua hakim konstitusi itu berpendapat, jika syarat pencalonan capres dan cawapres mau dibuka, syaratnya adalah gubernur.

Meskipun ada perbedaan pandangan, dissenting opinion dan concurring opinion rasa dissenting opinion, MK mengambil kesimpulan dan mengubah syarat pencalonan presiden dan wapres menjadi, ”berusia paling rendah 40 tahun dan atau pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”.

Putusan MK di tengah jalan itu membuka peluang pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres. Dan hasilnya, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendapatkan 58 persen suara.

Hanya tiga hakim konstitusi, Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompoel, menerima uji materi soal syarat pencalonan presiden dengan menambahkan syarat pernah atau sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada.

Akibat dari putusan itu, Ketua MK Anwar Usman dicopot sebagai Ketua MK dan dijadikan hakim nonpalu. Anwar dinyatakan melanggar etik berat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin Jimly Asshiddiqie, Wahiduddin Adams, dan Bintan Saragih. Atas putusan MKMK itu, Anwar Usman melawan dan merasa menjadi korban pembunuhan karakter.

Anwar menggugat pemberhentian dirinya ke PTUN. Untuk kedua kalinya, ia disidang etik dan dinyatakan melanggar etik dengan sanksi teguran tertulis. MKMK kedua dilakukan I Gede Dewa Palguna, Ridwan Mansyur, dan Yuliandri.

Majunya Gibran menjadi calon wapres ternyata terus dipersoalkan bahkan didalilkan dalam persidangan perselisihan hasil pemilu di MK. Tim hukum pasangan calon 01 dan 03 mendalilkan ikut sertanya putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat Presiden berpihak dan menggunakan berbagai perangkat untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.

Membaca arah putusan MK

Image by fabrikasimf on Freepik

Persidangan MK sudah mendengarkan keterangan saksi, ahli, dan pengajuan bukti telah selesai dilakukan. Empat menteri Presiden Jokowi diminta hadir ke MK. Keempat menteri itu adalah Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.

Pemeriksaan saksi, ahli, dan pengajuan bukti telah selesai. Setiap pihak menyampaikan kesimpulan dan majelis hakim segera melakukan musyawarah untuk menjatuhkan putusan atas sengketa hasil Pemilu 2024. Putusan akan dibacakan pada 22 April 2024, setelah Idul Fitri.

Putusan MK 22 April 2024 akan mengakhiri kontroversi Pilpres 2024. MK yang memulai membuka kontroversi, MK pula yang akan mengakhiri kontroversi. MK yang memulai, MK yang mengakhiri.

Bagaimana MK akan mengakhiri kontroversi Pemilu 2024 ditunggu bangsa ini. Peran MK betul-betul diharapkan menjadi penjaga konstitusi (the guardian of constitution).

Tren menarik dari sidang sengketa pemilu kali ini adalah muncul berbagai Amicus Curiae atau sahabat pengadilan yang diajukan sejumlah akademisi dan kelompok masyarakat. Mereka menyampaikan semacam petisi atau kegelisahannya menyangkut nasib negeri kepada MK.

Amicus Curiae disampaikan oleh pengajar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pengajar Universitas Indonesia, dan berbagai kelompok. UU Kekuasaan Kehakiman memang mewajibkan hakim menggali rasa keadilan masyarakat.

Sejumlah analis di harian Kompas menawarkan berbagai sudut pandang.

Sulistyowati Irianto dalam artikel ”Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural Formal” (Kompas, 5/4/2024), menulis, ”Sengketa pemilu bersifat khusus dan menyangkut kelangsungan nasib bangsa dan keberadaan Indonesia sebagai negara hukum. Hakim diharap tak sekadar menjadi corong UU, tetapi keadilan substantif, seturut hakikat sebagai penjaga konstitusi.”

Denny Indrayana dalam atikel ”Mencari Keadilan Pilpres 2024” (Kompas, 4/4/2024) menulis, ”Ada persoalan paradigmatik yang mengemuka, yakni pendekatan kuantitatif dan argumen kualitatif.” Pandangan senada disampaikan Bivitri Susanti dalam artikel ”MK dan Kerangkeng Keadilan Pemilu” (Kompas, 4/4/2024).

Megawati Soekarnoputri, dalam kapasitasnya sebagai seorang warga negara Indonesia, menulis esai di Kompas, 8 April 2024, berjudul ”Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi.” Megawati menulis, ”Ketukan palu hakim konstitusi akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan dan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara.”

Putusan MK, 22 April 2024, sangat ditunggu bangsa ini. Putusan MK—apa pun itu—akan mengakhiri semua kontroversi keabsahan Pemilu 2024. MK yang memulai membuka kotak pandora kontroversi, MK pula yang harus menutup kotak pandora kontroversi. Karena itulah MK betul-betul diharapkan untuk menjadi lembaga pemutus.

Bukan hanya sekadar Mahkamah Kalkulator, melainkan juga memeriksa dan memberikan penilaian kelembagaan semacam constitutional address atau pesan yang tegas dalam pertimbangan putusannya kelak.

Permusyawaratan delapan hakim konstitusi—karena Anwar Usman tak ikut bermusyawarah—akan menjadi kunci. Dalam permusyawaratan terakhir, ada hakim konstitusi baru, yakni Ridwan Mansyur dari Mahkamah Agung dan Arsul Sani dari DPR. Posisi Ridwan dan Arsul akan ikut menentukan arah putusan MK.

Trio hakim konstitusi—Suhartoyo (ketua), Saldi Isra (wakil) dan Arief Hidayat—punya posisi awal untuk menolak uji materi soal syarat umur. ”Koalisi” tiga hakim konstitusi ini, dalam beberapa putusan kompak dan kerap melakukan dissenting opinion.

Dua hakim lain, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic, dalam posisi awal concurring opinionberasa dissenting opinion, juga akan dilihat konsistensi dalam putusannya.

Interaksi atau saling memengaruhi antarhakim akan menjadi sangat menarik. Posisi Guntur Hamzah—yang pengusulannya di DPR juga menimbulkan kontroversi dan sejak awal sudah dalam posisi mengabulkan uji materi—akan sendirian karena Anwar Usman tak terlibat.

Dua hakim baru, Ridwan Mansyur dan Arsul Sani, belum terbaca posisi politiknya. Kedua hakim itu pun tidak punya posisi dengan putusan Nomor 90, tentunya akan merdeka berinteraksi dengan hakim-hakim konstitusi lain, yang sudah punya relasi emosional dengan putusan Nomor 90.

Pertaruhan MK

Interaksi antara hakim konstitusi bermazhab judicial activism, judicial restraint, dan judicial heroic akan menjadi penentu arah putusan MK yang akan disampaikan pada 22 April 2024. Namun, apa pun putusannya ada beberapa faktor internal dan eksternal yang seharusnya ikut memengaruhi alam berpikir hakim konstitusi.

Pertama, citra lembaga MK sedang di titik nadir. Survei longitudinal Litbang Kompas, Desember 2023, menunjukkan, hanya 50 persen responden memandang citra MK positif. Itu terendah sejak Januari 2015 yang di angka 75,1 persen.

Secara kualitatif, empat putusan MK terakhir—putusan MK soal ambang batas parlemen, putusan MK soal Kejaksaan, putusan MK soal pilkada tetap November, dan putusan MK soal penghapusan pasal pembuat onar—menunjukkan sinyal pembalikan. Apakah tren pembalikan ini akan berlanjut?

Kedua, delapan hakim MK berada di bawah ”tekanan”. Tekanan dari opini publik maupun tekanan dari yang tidak tampak. Tekanan antara hanya mengadili sengketa hasil pemilu dan mengadili sengketa proses. Tekanan untuk mengadili sisi formal atau sisi substansial.

Apa pun putusannya ada banyak aspek lain yang perlu jadi pertimbangan, khususnya kalender konstitusional, yakni berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2024 dan tahapan menuju ke arah itu.

Memusyawarahkan rasa keadilan sebagian masyarakat yang tecemin dalam Amicus Curiae dan berbagai kesaksian di persidangan dalam dokumen MK menjadi bagian dari interaksi permusyawaratan hakim konstitusi. Momentum pembacaan putusan MK, 22 April 2024, bisa dipakai MK sebagai ”pengakuan dosa” untuk melakukan reposisi politik-konstitusional setelah putusan Nomor 90.

Perlu ada constitutional address atau pesan dari MK soal karut-marutnya pelaksanaan Pemilu 2024 akibat putusan MK Nomor 90.

Pesan konstitusional MK itu harus keras, lugas, agar berbagai anomali dalam Pemilu 2024 tidak dinormalisasi dan dijadikan ”kebijakan” dalam perburuan kekuasaan berikutnya, termasuk Pilkada 2024.

Jangan sampai pola pembelian suara rakyat dalam bentuk politik uang akan menjadi pola membeli Indonesia.

Karena MK yang memulai kontroversi, biarkanlah MK mengakhiri dan menutup kontroversi dengan constitutional address dan pesan kebangsaan untuk menyelamatkan konstitusi dan demokrasi. Jangan sampai MK yang bertugas menjaga konstitusi, kemudian malah mengingkari konstitusi.

Inilah simpang jalan….

(Artikel ini sudah dimuat di Harian Kompas, 15 April 2024)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *