“…Kekuasaan adalah keistimewaan. Kekuasaan itu memang memesona, mengagumkan (tremendum et fascinosum)…”
Judul itu saya petik dari jawaban spontan Sukidi Mulyadi, PhD saat saya tanya tentang fenomena korupi bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, dalam siniar saya. Melalui media massa dan media sosial, publik menyaksikan bagaimana dana negara yang diperoleh dari pajak rakyat atau penerimaan negara bukan pajak, dipakai untuk urusan domestik. Urusan perawatan kulit cucu, sunatan cucu, renovasi rumah anak, kebutuhan makan keluarga, seakan menjadi beban negara.
“Itulah fenomena power is privilege yang dimaknai secara keliru,” kata Sukidi, peraih gelar Philosopy of Doctor dari Harvard University. Kekuasaan memang punya sejumlah keistimewaan. Kekuasaan itu memang menggentarkan banyak orang. Kekuasaan itu begitu mengagumkan. Karena itulah, sejumlah orang akan terus berburu untuk meraih kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin. Padahal, kekuasaan mempunyai sisi hitam yang bisa memabukkan kekuasaan dan membuat orang terperosok.
Tren itulah yang belakang terjadi. Setelah pemilu presiden selesai, kini elite politik bermanuver untuk masuk dalam barisan kekuasaan. Baik yang menyuarakan kesinambungan, maupun yang menyuarakan perubahan sama-sama ingin berada dalam lingkar kekuasaan. Meski ada rasionalitas soal tantangan global yang dihadapi negeri, sejumlah elite merancang perubahan UU Kementerian Negara. UU Kementerian Negara membatasi pos menteri “hanya” 34 pos. Perubahan untuk membuka pos kementerian menjadi 39 atau 40 pos kementerian.
Kembali dalam kasus SYL, asas praduga tak bersalah memang harus dipegang sampai majelis hakim menjatuhkan putusan. Apakah SYL bersalah atau tidak bersalah? Namun, strategi melacak aliran uang yang dilakukan penyidik KPK, telah memberikan gambaran bagaimana urusan domestik, urusan keluarga telah menjadi beban negara. Publik belum bisa menarik kesimpulan apakah gejala Menteri SYL adalah gejala kekuasaan pada umumnya atau hanya karena SYL sedang “apes” karena perkaranya juga dilatarbelakangi “konfrontasi” antara Polri dan Ketua KPK (mundur) Firli Bahuri sehingga terjadi proses delegitimasi habis-habisan. Sementara status Filri Bahuri belum terdengar kelanjutannya.
Status Firli sendiri tak jelas keberlanjutannya. Ia diberhentikan sebagai Ketua KPK. Berstatus tersangka, namun tak segera maju ke persidangan. Padahal, dalam konstitusi ada pasal, semua orang berkedudukan sama di muka hukum. Ada prinsip equality before the law atau kesamaan di muka hukum.
Wajah kekuasaan memang coreng-moreng. Sejumlah menteri Presiden Jokowi dari lintas partai terjerat kasus korupsi. Ada nama Idrus Marham (Golkar), ada Eddy Prabowo (Gerindra), ada Imam Nahrawi (PKB), ada nama Juliari Batubara (PDIP), ada Johny G Plate (Nasdem). Ada nama Edward Oemar Said Hieriej yang ditersangkakan KPK, namun dibatalkan putusan hakim praperadilan. Dalam wilayah kekuasaan kehakiman ada hakim agung yang sedang diadili.
Mengutip Sukidi, kekuasaan adalah keistimewaan. Kekuasaan itu memang memesona, mengagumkan (tremendum et fascinosum). Namun, dalam kasus SYL, kekuasaan itu membuatnya mabuk dan kemudian terperosok dan mengantarkannya ke dalam penjara. Mengapa korupsi dalam kekuasaan terus saja terjadi? Itu pertanyaan sentral yang selalu dipertanyakan pendiri Kompas Jakob Oetama dalam beberapa kali kesempatan. “Apakah ini karena kultur feodal. Dalam kultur feodal pejabat tak bisa membedakan antara yours and mine (milikmu dan milikku). Semua campur aduk, antara urusan negara dan urusan keluarga. Antara urusan privat atau urusan publik?”
Beberapa kasus korupsi di Tanah Air menggambarkan bagaimana urusan negara, urusan pemerintahan, bercampur aduk dengan urusan keluarga. Ada kasus di mana suami-istri sama-sama memegang jabatan di eksekutif dan legislatif, keduanya kemudian terjerat kasus korupsi, dan keduanya, kemudian mendekam di penjara.
Gejala lain yang menarik, fenomena menteri SYL ini tak jadi bahan perbincangan elite politik paska Pemilu 2024. Hampir tak terdengar tanggapan atau pandangan: mengapa praktik korupsi bekas Menteri SYL bisa terjadi di era pemerintahan yang pernah menggelorakan, “Revolusi Mental”, namun kemudian pudar dan menghilang dalam kamus politik.
Mengapa kini yang lebih sering mengemuka adalah diskursus soal bagi-bagi kursi menteri (power sharing). Penambahan kursi menteri dari 34 kementerian menjadi 39 atau 40 kementerian melalui mekanisme perubahan UU Kementerian Negara. Mengubah undang-undang kementerian negara, membutuhkan persetujuan DPR dan Presiden. Apakah pengubahan melalui revisi UU Kementerian Negara atau melalui mekanisme Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk mengakomodasi kebutuhan politik. Urgensi penambahan pos kementerian selayaknya juga dijelaskan kepada publik dan republik, kajian akademisnya.
Belajar dari kasus SYL, dari sisi kepentingan publik, kontrol terhadap kekuasaan mungkin lebih penting. Mengapa Inspektorat Jenderal tidak bisa mendeteksi kejanggalan? Mengapa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini yang baik terhadap Kementerian Pertanian? Mengapa fungsi pengawasan DPR gagal mendeteksi “penyimpangan” yang dilakukan menteri SYL?
Boleh saja revisi UU Kementerian Negara dilakukan – jika Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka – menghendaki dan kekuatan politik mendukungnya. Namun, dari kepentingan publik, kehadiran RUU Perampasan Aset yang diajukan Presiden Jokowi ke DPR, Februari 2023 segera dibahas dan disahkan. Jajak pendapat Kompas 4-6 April 2023 menunjukkan 82,2 persen menghendaki RUU Perampasan Aset segera disahkan.
Draf RUU Perampasan Aset “dipetieskan” oleh Pimpinan DPR tanpa ada jawaban mau diteruskan atau mau ditolak?
Memang ada pandangan sinikal dari filsuf Trashimacus dalam Republik sebagaimana sering dikutip Haryamoko, “Bahwa hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat.” Mensahkan RUU Perampasan Aset akan menjawab bahwa pemerintahan baru Prabowo-Gibran punya keberpihakan bukan hanya pada mereka yang kuat tetapi juga kepentingan publik dan republik dan keberpihakan pada pemberantasan korupsi.
Ketika korupsi di kekuasaan terus merajalela, ketika gejala nepotisme merambah kemana-mana, diperlukan langkah-langkah besar dari pemerintahan baru untuk menghentikan semuanya. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menggolkan RUU Perampasan Aset. RUU Perampasan Aset yang lebih progresif untuk mengatasi dampak dari praktik korupsi. Menurut perhitungan saksi ahli yang menghitung kerugian sosial, lingkungan dan ekonomi, akibat korupsi penambangan timah di Bangka, bisa mencapai Rp 271 triliun. Terakhir, Kejaksaan Agung mengumumkan kerugian mencapai Rp 300 triliun.
Sebagaimana dipidatokan semua presiden di republik ini, bahwa korupsi adalah musuh terbesar bangsa ini. Korupsi adalah musuh terhadap demokrasi. Korupsi mengurangi hak orang miskin atas hak sosial, ekonomi dan budaya. Namun korupsi tak bisa diperangi hanya dengan pidato dan retorika belaka. Butuh tindaknya nyata dan konkret, semisal mensahkan RUU Perampasan Aset. Aset hasil korupsi harus bisa dirampas untuk kepentingan rakyat karena tujuan para koruptor yang tamak dan rakus adalah mengakumulasi kekayaan.
Sukidi kembali mengutip, pesan dari Paus Fransiskus (2013), “ketamakan” adalah sumber dari segala kejahatan. “Ketamakan” telah merobek inti republik untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kekuasaan bukanlah untuk kepentingan keluarga dan kelompok karena kekuasaan itu datangnya dari rakyat. Sebagaimana pernah dikatakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, “Tahta untuk Rakyat”, “Kekuasaan untuk rakyat”. (Artikel ini sudah dimuat di Harian Kompas 28 Mei 2024 dengan sedikit update dan perubahan).
Leave a Reply