Kamis pagi, 29 Februari 2024, saya meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Inilah perjalanan pertama saya sebagai pensiunan. Secara administratif, saya pensiun sebagai karyawan di Harian Kompas.
Guru jurnalistik saya di Yogyakarta mengirim pesan. “Bung BDM. Pensiun istilah administratif, proses bagi jurnalis sekaligus pemikir sepenuhnya tergantung pada energi diri. Saya yakin energi Anda masih tetap penuh. Selamat berjalan bebas, tanpa kaki dibebani brand korporasi,” tulisnya. “Too early to pension,” pesan seorang politisi kepada Whats App.
Saya meresapi pesan tersebut. Saya memang pensiun secara administratif. Namun, kegiatan saya sebagai Manusia Merdeka – meminjam istilah Said Didu – tidak jauh dari aktivitas jurnalistik. Tetap menjadi host di Satu Meja The Forum KompasTV dan tetap menulis. Kalau dahulu, saya menulis esai tetap tiap Sabtu di Harian Kompas. Kini, saya menjajal platform, Kompas.com.
Di atas kereta Argo Dwipangga yang membawa saya ke Yogya, seorang doktor ilmu hukum yang sering saya wawancarai, ternyata berada di kereta meski gerbong berbeda. Meski tak sempat bercakap langsung, ia mengirim pesan WhatsApp, “Perasaan saya sangat galau tidak karuan. Kondisi negeri ini karut marut. Prihatin,” tulisnya.
Saya menjawabnya pendek. “Saya juga prihatin.” Ia menjawab, “Kok mereka tidak mikir bagaimana pandangan negara lain pada Indonesia. Tidak ingat tujuan bernegara sebagaimana ada di Pembukaan UUD 1945.”
Saya tak menyangka kegalauan begitu dalam. Saya berjumpa sejumlah rekan di Yogya mengungkap keresahan yang sama.Tapi dalam ranah berbeda, suasana kegelisahan itu tak terekam dengan baik. Sejumlah elite politik yang menjadi penopang pemerintahan Presiden Jokowi, merasa tidak ada masalah dengan kondisi negeri ini.
Leave a Reply