“….Paham kedaulatan rakyat (democracy) saatnya diimbangi dengan paham kedaulatan lingkungan (ecocracy)…”
Doni Monardo
Hampir tengah malam, di satu hari di medio tahun 2018, saya masih berada di Gedung Sate Bandung. Saya datang bersama rekan saya almarhum Banu Astono memenuhi undangan Pangdam Siliwangi Mayjen TNI Doni Monardo. Singgah di rumah dinas Pangdam, saya ngobrol dengan Doni, sebelum mengikuti pertemuan di Gedung Sate.
Bagi saya pertemuan itu luar biasa. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan hadir. Kapolda Jawa Barat Irjen Agung Budi Maryoto, Jaksa Tinggi Jawa Barat dan sejumlah bupati di Jawa Barat dan hampir semua pemegang teritorial mulai dari Komandan Korem, Komandan Kodim, komandan batalyon yang dilalui Sungai Citarum hadir di pertemuan malam itu. Pertemuan dibuka Gubernur Jawa Barat dan kemudian diteruskan paparan program Citarum Harum dari Doni Monardo.
Paparannya detil. Apa yang harus dikerjakan. Siapa harus melakukan apa. Siapa harus berbuat apa untuk mengubah predikat Sungai Citarum sebagai sungai terkotor di dunia menjadi terbersih. Membersihkan sungai Citarum yang sudah tercermar zat beracun menjadi lebih aman bagi kesehatan. Pada malam itulah, Doni berkali-kali mengatakan, kelemahan program penanganan Citarum adalah konsistensi, daya tahan, kebersamaan untuk mencapai target.
Politik kekuasaan selalu merusak lingkungan hidup. “Paham kedaulatan rakyat (democracy) saatnya diimbangi dengan paham kedaulatan lingkungan (ecocracy)…” ujar Doni malam itu berulang kali. Ia enggan berbicara soal politik kekuasaan. “Lebih penting politik kesejahteraan,” ujarnya suatu waktu pada saya saat Doni menjadi orang nomor satu di Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat.
Doni telah pergi menghadap Sang Pencipta, Minggu 3 Desember 2023, pukul 17.32 di RS Siloam Jakarta. Usianya 60 tahun. Jazadnya telah bersatu dengan pelukan tanah di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Banyak orang menangis dengan kepergian jenderal yang bagi saya berhati emas, jenderal murah senyum dan penolong. Pegiat lingkungan hidup pun akan menangis karena kehilangan seorang jenderal yang sangat menaruh perhatian pada bumi ini.
Saat dalam perjalanan ke Yogyakarta, saat mendengar kabar Doni dipanggil, saya berdoa, Requiem aeternam dona ei, Domine, et lux perpetua luceat ei. Requiescat in pace. Amen. Berikan perhentian abadi kepadanya, ya, Tuhan, dan semoga cahaya abadi menyinari dia. Semoga ia beristirahat dalam damai. Amin.
Bicara soal Doni adalah bicara soal rekam jejak dan konsistensi. Kariernya lebih banyak di militer. Namun selain karier militer rekam jejak Doni juga moncer di pelestarian lingkungan hidup. Saat menjabat Komandan Paspampres (2012-2014), Doni mengajak sejumlah wartawan untuk meninjau kebon pembibitan pohon di pinggir jalan tol, sedikit di luar Jakarta. Bibit-bibit pohon itu disiapkan bagi siapapun yang ingin terlibat dalam gerakan menanam dan melestarikan lingkungan. Doni mengirimkan pohon Nangkadak (artocarpus integer) ke rumah saya. Dan pohon itu masih tertanam di depan rumah saya.
Doni bukan hanya pandai bicara soal lingkungan hidup, soal pemanasan global. Kalau soal militer pasti dikuasainya. Tapi ia melaksanakan impiannya soal pelestarian lingkungan hidup, dimana pun dia berada. Saat menjadi Pangdam Pattimura Doni memperkenalkan emas biru yakni program perikanan yang menjadi ciri kekuatan Maluku. Ia konsisten memperhatikan kehancuran lingkungan, khususnya kehancuran Gunung Botak akibat penambangan emas illegal dan tercemar mercury. Saya pernah meminta tolong Doni saat ada wartawan yang diancam karena menulis kehancuran Gunung Botak dan memberikan “pengawalan” kepada wartawan untuk sejenak keluar dari Gunung Botak.
Di penghujung kariernya, Doni menjawab Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasonal dan kemudian ditunjuk sebagai “Panglima Perang” bangsa ini menghadapi Covid-19. Totalitas hidupnya diserahkan. Ia tak pernah pulang ke rumah. Ia tidur di velbeld untuk mengendalikan “perang” melawan Covid.
Kepergian Doni adalah kehilangan besar bagi bangsa ini. Kehilangan bagi pihak-pihak yang mencintai bumi dengan segala isinya. Impian Doni soal kelestarian lingkungan sebenarnya masih relevan dengan situasi sekarang. Politik terlalu bergerak pada politik kekuasaan. Hampir tak tersentuh yang nama eco-cracy atau kedaulatan lingkungan.
Kehancuran lingkungan akibat kerakusan manusia terjadi dimana-mana. Data Global Forest Watch menunjukkan luasan hutan primer nasional pada tahun 2021 masih berkisar 93,8 juta hektar. Sayangnya, hingga 2021 luasan hutan primer itu hilang hingga 9,95 juta hektar dan merilis karbon ke atmosfer sebanyak 19,7 miliar ton karbon dioksida. Akibatnya, emisi karbon kian banyak di atmosfer sehingga semakin memanaskan suhu global.(Yosep Budianto, Kompas.id)
Degradasi lingkungan yang terjadi di seluruh dunia dan juga di Tanah Air terjadi pada sejumlah aspek, mulai dari kehutanan, kelautan, polusi udara, hingga sampah plastik. Secara global, Indonesia mengalami deforestasi yang tinggi di dunia. Sepanjang periode 2001-2021, penurunan luas hutan nasional mencapai jutaan hektar.
Fenomena iklim yang kian memanas itu ternyata sangat dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas, 25-28 Juni 2022, mayoritas responden sekitar 61 persen mengaku sangat khawatir dengan fenomena perubahan iklim saat ini. Tingginya kekhawatiran publik terhadap perubahan iklim itu terjadi di semua kelompok usia, terutama para rentang 24-39 tahun. Kelompok usia muda menaruh perhatian besar terhadap fenomena pemanasan global.
Mereka meyakini bahwa pemanasan global menyebabkan kerusakan besar terhadap kualitas lingkungan. Sedikitnya delapan dari 10 responden muda yakin bahwa degradasi lingkungan banyak dipengaruhi krisis iklim.
Namun kenyataannya, hampir tak terdengar gagasan apalagi tindakan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran masa depan bumi. Krisis lingkungan hidup tak bisa dihadapi dengan politik riang gembira atau politik santuy atau sekadar perdebatan soal asam sulfat yang kemudian dikoreksi menjadi asam folat.
sejak tahun 2015, Paus Fransiskus mengeluarkan Ensiklik 24 Mei 2015 berjudul Laudato Si. Paus Fransiskus mengatakan, prediksi malapetaka di bumi tempat kita berpijak tak boleh dianggap sebagai cibiran atau ironi. Kita mungkin akan meninggalkan banyak puing, padang gurun, dan sampah untuk generasi mendatang. Tingkat konsumsi limbah dan kerusakan lingkungan telah melampaui kapasitas planet sedemikian rupa sehingga gaya hidup kita yang tidak berkelanjutan hanya dapat menyebabkan bencana yang sebenarnya sudah terjadi di berbagai belahan dunia.
Merawat ekosistem, mengandalkan pandangan yang jauh ke depan. Sebab, jika kita hanya mencari keuntungan secara cepat dan mudah, tidak akan ada yang peduli dengan pelestarian alam. Tetapi, biaya kerusakan yang disebabkan kelalaian ekologis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang diterima. Kita menjadi saksi bisu atas ketidakadilan yang mengerikan bagi generasi mendatang.
Photo by Ochir-Erdene Oyunmedeg on Unsp
Pandangan Paus itu sejalan dengan apa yang selalu disampaikan Doni. Pandangan jauh ke depan, bukan sekadar masa jabatan politik seorang presiden, seorang gubernur, atau seorang bupati. Paham kedaulatan rakyat (demokrasi) saatnya diimbangi dengan paham kedaulatan lingkungan (eco cracy). Namun suara Doni soal kedaulatan lingkungan boleh jadi menjadi suara penggiran di tengah narasi utama politik yang sengat di permukaan.
Kerakusan manusia telah menjadi keprihatinan dunia. Mahatma Gandhi pernah berucap, dunia ini cukup untuk semua orang, tetapi tidak akan cukup untuk satu orang yang serakah. Keserakahan orang untuk menghancurkan alam, menambang secara membabi buta, jelas akan menghancurkan ekologi dan akan menjadi bencana masa depan. Kerakusan orang membuat perut bumi diaduk-aduk, hulu sungai dibabat. Bumi menjadi lautan sampah plastik.
Situasi itu diperparah dengan kerakusan politik tanpa nilai dan tanpa rasa mau. Kuasa tanpa rasa.
Leave a Reply